"Abdullah...., jadilah Abdullah...." bergetar bibir Rio mengucapkan itu. Dipandangnya sekali lagi kalimat itu. "Aku harus kembali menjadi hamba Allah, mesti menjadi Abdullah." Bisiknya lagi. Lalu Rio membuka lembar terakhir.
25 Desember 1990
Aku pernah mendengar syair dinyanyikan ustaz ternama, buah karya pujangga tersohor, Abu Nawas namanya. Syair ini paling kusuka, meresap di sukma paling terdalam. Namanya Al-i'tiraf. Sebuah pengakuan akan dosa. Kelak aku berharap, selain menyucikan Allah dan shalawat pada nabinya, syair ini menggantung di bibirmu. Begini syairnya:
"Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa 'alaa naaril jahiimi.
Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil 'azhiimi.
Dzunuubii mitslu a'daadir rimaali fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali.
Wa 'umrii naaqishun fii kulli yaumi wa dzambii zaa-idun kaifah timaali.
Ilaahii 'abdukal 'aashii ataaka muqirran bidzdzunuubi wa qad da'aaka
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun wa in tathrud faman narjuu siwaaka"
"(Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim.
Maka berilah aku ampunan dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun atas dosa yang besar.)
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!