"Sikap yang mana tata? Selama ini, menurut kami, tata berperilaku sangat baik. Kalau tidak ada tata, siapa yang akan merawat dengan telaten masjid mungil kita ini." Kata pak Imam menimpali. Kami semua mengangguk membenarkan.Â
"Perihal kebiasaan saya menggunakan kopiah usang dan sarung  lusuh ini." katanya sambil memegang kopiahnya yang sudah usang kekuningan itu.  Saat  berucap seperti itu, setitik air bening mengembang di pelupuk matanya.
Saya dan yang lainnya saling berpandangan, tapi tak seorang pun yang bersuara. Â Ikhwal kopiah usang dan sarung lusuh itu telah lama menjadi misteri bagi kami. Yang membuat saya pribadi tercekat karena begitu tata Badollahi ingin menceritakan soal kopiah dan sarung itu, parasnya berubah menjadi muram. Tanpa sadar kami semua bergerak mendekat. Menunggu kalimat berikutnya dari doja Badollahi ini.
"Pak Imam dan pak Dusun mungkin tahu, bahwa saya datang ke kampung ini baru 20 tahun yang lalu. Saat itu saya  datang ke sini hanya berbekal satu tenteng tas berisi pakaian beserta kopiah, sarung dan juga ini...." Doja Badollahi mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Kemudian memperlihatkan pada kami.
'Sebuah Buku!' Tepatnya semacam buku diari yang sudah agak kusut. Kami memperhatikan buku diari itu dengan seksama. Â "Karena kemurahan pak Imam, pak Dusun dan bapak-ibu semua, saya bisa hidup di sini, mendapat sepetak tanah dan sebuah rumah mungil." Doja Badollahi kembali berbicara dengan suara parau.
Pak Imam dan pak Dusun serta beberapa orang tua yang ikut berjejal di tempat itu hanya mengangguk-anggukkan kepala, tetap tak ada yang mengeluarkan suara.
"Satu hal yang mungkin mengecewakan bapak-ibu sekalian, saban hari saya hanya menggunakan kopiah usang dan sarung lusuh ini. Â Â Padahal bapak-ibu telah berbuat baik memberikan kopiah dan sarung baru kepada saya."
Tidak ada yang bersuara. Kami hanya menatap doja Badollahi, menunggu kalimat-kalimat berikutnya yang akan keluar dari mulutnya. Maka dengan terbata-bata dan dengan suara serak, mengalirlah cerita doja Badollahi.
                                                                               ***
Kali ini akibat jatuhnya menimpa pintu rumah, maka terdengar bunyi berderak derak. Bunyi itu cukup keras. Dari dalam rumah terdengar derap kaki yang bergegas. Lelaki mabuk itu meski kesadarannya sudah hilang timbul, masih sempat mendengarnya. Â Pintu rumah terpentang. Seorang perempuan berteriak lirih.