Beberapa orang berucap. "Oh....Badollahi...!"
Belakangan Rio baru tahu istilah Badollahi itu adalah cara orang kampung ini melokalkan nama yang berbahasa Arab. Abdullah diganti menjadi Badollahi. Rio tak pernah mempermasalahkannya. Nama itu rasanya juga bersahaja.
***
Semua masih dicengkau pesona dari cerita doja Badollahi. Saya dan Ustaz Abu Jaropi saling berpandangan. Kami semua tidak menyangka doja Badollahi punya riwayat yang luar biasa. Doja Badollahi yang tidak pernah alpa ke mesjid itu, bahkan dalam hujan badai sekali pun ternyata adalah seorang yang pernah hidup dalam dunia kelam. Dia adalah Rio, bromocorah yang suka mabuk-mabukan,  beristrikan seorang pelacur. Tapi siapa sangka istrinya di akhir hidupnya meninggal dalam damai. Siapa yang mengira  pula, si Rio itu sekarang telah berubah menjadi Badollahi, orang yang dalam pandanganku, salah satu yang paling saleh di kampung ini. Ia pun seperti itu, karena cinta istrinya.
"Ternyata Rahmat Allah diturunkan pada siapa pun yang dikehendakinya, tidak peduli Ia pendosa atau orang baik. Tak ada yang pernah tahu akhir dari kehidupan kita. Hari ini kita saleh, siapa yang tahu esok kita tidak akan jadi bajingan. Siapa yang mengira yang punya travel itu kelak akan menipu umat, bukankah sebelumnya Ia dikenal orang yang rajin ibadah? Siapa pula yang sangka, Rio akan menjadi Badollahi seperti yang kita kenal sekarang ini?" Akhirnya Ustaz Abu Jaropi yang pertama mengeluarkan suara. Â Ucapannya memecah kesunyian.
"Benar ustaz, sambung pak Imam. "Saya merasa semakin kecil dan tidak punya amal apa-apa. Sepertinya kita tidak boleh merasa paling saleh dan paling ahli ibadah. Kasih sayang Tuhalah yang menentukan semuanya"
"Ya...! Walau tentu saja, Â kita juga tidak boleh membiarkan diri kita terjerumus dosa terus-menerus karena merasa semua sudah ditentukan Allah. Kita tetap berusaha menjadi orang baik, selanjutnya kita serahkan pada hidayah dari Allah." Sambung Ustaz Jaropi. Setelah berkata demikian Ustaz Jaropi berbalik kepadaku.
"Semakin banyak pelajaran berharga yang aku dapatkan dari kampung ini." Bisik Abu Jaropi padaku. Saya tergeremap, soalnya saat itu saya lagi memperhatikan doja Badollahi. Abu Jaropi juga mengikuti arah pandangan saya. Kemudian bergeser mendekati doja Badollahi. Beberapa yang lain juga mendekat.
Doja Badollahi masih menunduk dalam. Matanya yang kini  terlihat muram itu jatuh ke lantai. Ia seperti tak menyadari bahwa kami ada di sekitarnya. Seperti berbicara pada dirinya sendiri Ia berucap.Â
"Rupanya harapan Lastri agar kelak aku menjadi imam salat takkan pernah kesampaian. Oh...Lastri mungkin engkau tak paham, bagaimana pun diriku saat ini, aku tak pernah pantas jadi imam."