Mohon tunggu...
I MadeSuardika
I MadeSuardika Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar

Guru Sekolah Dasar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri di Hari Kajeng Kliwon

25 Januari 2022   20:11 Diperbarui: 25 Januari 2022   20:14 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Misteri di Hari Kajeng Kliwon 

"Hauuung ......,hauuuuuung!"

Lolongan suara anjing malam. Seperti seekor srigala dikejahuan. Keringat dingin pun mulai membasahi tubuh. Malam pun bertambah gelap. Binatang malam di semak belukar berisik mencari mangsa. Bulu kudukku mulai terasa merinding.

Tetiba rasa takut  muncul seketika. Langkah kakiku terasa semakin berat. Niat bersama kakek menemui Tu Aji Mangku hampir pupus. Namun kakek berusaha menghiburku. Kakek memegangi tanganku yang mulai berkeringatan dingin.

Sesekali terdengar kakekku terbatuk-batuk. Kali ini perjalananku. Melintasi jalan setapak bertambah gelap. Pandanganku terhalang oleh rimbunnya pohon beringin yang berdaun lebat.Tak kusangka tetiba dikejutkan ucapan kakek yang nyeleneh.

"Nak..., perjalanan kita melintasi kuburan desa Wukirsari. Wilayah desa Tu Aji Mangku.Kuburan yang usianya sangat tua. Sungguh terkenal  keangkerannya". 

Aku pun terperangah dengan ucapan kakekku. Sambil mengunyah sirihnya kakek bercerita berada dekat dibelakangku.

"Wah..! ini, ku..kuburan, ya..., Kek?" Bisikku setengah tak percaya.

Sambil Aku memelototi wajah Kakek. Belum habis kuberkata. Aku dikejutkan bayangan putih berkelebat menyilaukan seperti melambai-lambai dekat di atas pepohonan. Tak salah penglihatanku, dari atas sebatang pohon randu tua. Akupun menghela nafas panjang, menenangkan hati. Bulu kudukku mulai merinding. Keringat dingin membasahi tubuhku. Kakek pun mengamati peristiwa tadi.

Oh,ternyata sehelai daun randu kering jatuh  diterpa cahaya sinar rembulan. Ditiup angin malam mendesir dingin. Jantungku terasa hampir copot.

"Bedebah", ada-ada saja bisikku dalam hati.

Kualihkan pandanganku ke kiri-kanan jalan setapak yang gelap, namun dengan rasa was-was. Tetiba, lagi-lagi aku dikejutkan oleh suara benda jatuh.

 "Gedebuk....", 

Kedengarannya sungguh keras sekali. Seakan dekat disampingku. Suasana terasa amat mencekam. Kupegangi tangan kakek erat-erat.

"Gak pa pa nak...!" Tenanglah..! perasaanmu jangan panik. Kita mohon perlindungan Hyang Widhi/Tuhan Yang Esa. Agar perjalanan kita selamat sampai tujuan!".

Kakek nyambi menghiburku.

"Keeek, Aku takuut, kek!" Aku menjerit ketakutan. "Pingin lari dari tempat ini", pikirku.

Kakek pun tetap aja meneruskan langkahnya. Tanpa menghiraukan apa yang  terjadi.

" Ya..!, nak mari kita teruskan perjalanan ini, biar  kita segera ketemu Tu Aji Mangku". begitu ujar kakek.

 "Guk....! Guk...,Guk!"

Terdengar suara burung hantu sayup-sayup di keremangan malam yang gelap. Hatiku tambah ngeri. Cahaya kunang-kunang berkedip-kedip hinggap di dedaunan perdu. Menambah seramnya  suasana malam yang sepi.

"Waduuh, kakek kita balik, kita pulang aja kek, besok  kita ketemu Tu Aji Mangku". Suaraku  agak gemetar.

"Jangan berkata begitu, Nak!". Ponakanmu kan sakit keras, harus segera dapat pertolongan. Kalo ndak...,! gemana nasibnya nanti!". Kakek tampak geram.

Aku pikir-pikir."Ya,ya, Aku ikut saran kakek aja... eh!". Jawabku walau sedikit memaksakan diri.

"Tapi.....!".

"Tapi, gemana Nak?" kakek jangan tinggalkan aku jauh-jauh ya...., tetap jalan di belakangku". 

"Baiklah...!, Kakek akan berjanji menepati permintaanmu".

Kemudian aku berjalan di depan kakek. Walau kaki terasa berat untuk melangkah. Keringat dinginku terasa mengalir di punggungku. Kupandangi disekitaranku, rumah-rumah penduduk  jarang kutemui. Pondok-pondok mereka jauh di tengah perkebunan kopi. Tak tampak, hanya remang-remang diselimuti gelapnya malam.

"Sungguh sepi kampung ini", bisikku.

Suatu ketika Aku menuruni jalan setapak sedikit licin. Nyaris Aku terpeleset. Langkah kakiku gemetaran. Kulangkahkan kaki dengan hati-hati. Udara dingin malam hari. Membuat tubuh ini menggigil kedinginan. Dalam keheningan malam. Entah berapakah. Tidak terhitung langkah kakiku melangkah jauh ke depan.

Peristiwa tadinya telah kulewati bersama Kakek. Hatipun sedikit lega. Namun detak jantungku masih berdegup cepat sekali.  Nafasku terengah-engah. Kali ini Aku coba beranikan diri nanyak kakekku.

"Keek..! masih jauhkah rumah Tu Aji Mangku dari sini, kek?" suaraku terbata-bata.

Kakek menjawab dengan pelan dan tenang.

"Sudah dekat nak, sebentar lagi kita nyampai!" kata kakek.

Aku sedikit lega mendengar jawaban kakek. Sambil mengunyah-ngunyah sirihnya, ia meyakinkan langkahku.

Kuterangi pandangan kakek dengan senter ke kiri-kanan jalan. Seikat perakpak(obor) dari daun kelapa kering dikibas-kibaskan kakek di jalan setapak yang gelap. Terkadang naik turun, dengan gundukan kecil di sana sini. Jalan setapak berupa tanah liat. Terkesan kurang terawat. Memang jalan lengang jauh dari perkampungan. Malam pun semakin larut. Suasana kampung bertambah sepi dan mencekam.

Kusempatkan diri melirik arloji tanganku. Waktu menunjukkan pukul 12.00 malam.   Kuusap keringat dingin di mukaku. Perjalanan cukup melelahkan.Batang tenggorokanku terasa kering. Aku pun diam sejenak sambil meneguk air mineral yang terselip disaku bajuku.

Sambil menyekat keringat.

"Nak kita sudah tiba di rumah Aji Mangku yang kita cari".

"Benar, Kek?" Hatiku lega.

Sambil duduk-duduk di sebuah gundukan tanah, kuamati keadaan sekitarnya.

Kelihatan halaman rumah beliau tertata apik. Pohon puring, cempaka, kenanga jawa, dan palem merah, tumbuh subur dan tampak asri. Kemudian kakek memanggil-manggil Tu Aji Mangku, dengan suara sedikit parau. Namun masih cukup jelas terdengar.

"Tu Aji...!Tu Aji Mangku! saya Pak Pageh, mau bertemu Tu Aji malam ini!" begitu kakek memanggil-manggil.

Sesekali terdengar batuk kakek olehku.Tampak seseorang keluar rumah. Sambil nyalain lampu templok.

" Pikirku, mungkin itu Tu Aji Mangku". Tak berselang lama Tu Aji membukakan pintu pagar rumahnya.

"Braaaak...!" suara pintu pagar.

Hatiku terkesima. Sungguh baru kali ini aku mengenali wajah Tu Aji Mangku. Dikatakan, beliau balian yang cukup mumpuni di desa Wukirsari, begitu cerita orang. Dengan mengenakan kain sarung putih serta kaos, jenggotnya  terurai panjang memutih.Terkesan aura wajahnya tampak berwibawa, sambil mengunyah sirih. Tu Aji Mangku menyapa kakek.

"Oh, Bapa Pageh, Aku kira siapa, memanggil-manggilku. Silahkan masuk,Bapa. Ada apa gerangan. Malam-malam gini Bapa?" tanya Tu Aji dengan suara pelan dan meyakinkan.

Kakek dan Akupun memasuki jero(rumah) Tu Aji Mangku. Di beranda sebuah Gedong Gunungrata Kakek dan Aku disambutnya. Setelah dipersilahkan duduk. Kakekpun mengutarakan maksud kedatangannya.

"Begini Tu Aji...!"  kakek memulai pembicaraannya.

"Saya mengganggu Tu Aji. Sudi kiranya Tu Aji, malam ini bersedia datang ke pondokku".Cucuku sedang sakit. Sejak tiga hari kemaren panas badannya gak mau turun,Tu Aji!" kakek menceritakan keadaan cucunya.

"Sudah diperiksakan ke Dokter Bapane?" Tu Aji Mangku pun balik nanya kakek.

"Su..sudah...Tu Aji! Setelah dicek, Dokter bilang, cuma demam. Dan dikasi obat penurun panas". Namun panas badannya tetap gak mau turun juga. Saya jadi bingung Tu Aji!" Begitu kakek meyakinkan, sembari membetulkan sikap duduknya.

Tu Aji Mangku memandangi wajah kakek dengan fokus.Tu Aji diam sejenak.  Beliau mikir-mikir sebentar, dan menenangkan hatinya.

"Ya, Bapa, Aku bersedia berangkat ke rumah Bapa malam ini juga!"

Sembari membetulkan ikat pinggangnya, beliau beranjak dari tempat duduknya, kemudian menuju kamar suci untuk mengambil sesuatu.

Begitu beliau keluar dan berkata," Bapane, tolong bawain keben ini, Bapa!" 

Tu Aji Mangku menyerahkan keben kecil itu, kemudian Aku dan Kakek mengikuti Tu Aji Mangku, menuruni anak tangga  bangunan Gedongrata yang megah. Berukir berlapiskan perade gede. Sungguh tampak anggun.

Memegang sebuah tongkat berhiaskan kepala naga. Serta lidah api menjulur dari mulutnya. Tu Aji Mangku dengan langkah pasti menuju Mrajannya.

Juga Kakek dan Aku menyertainya. Berdoa di depan Pajenengan Taksu beliau. Mrajan yang juga dihiasi ukiran bali. Selesai beliau berdoa. Tak lupa aku mohon pamit pada Tu Biyang, istri Tu Aji Mangku dan keluarga lainnya. Mengantar Tu Aji Mangku untuk menuju pondokku.

Seikat perakpak ( obor ) dari daun kelapa kering, dinyalain Kakek, pun sebuah senter untuk penerang jalanku bertiga dikegelapan malam. Kepergianku sekarang bertiga. Kembali pulang kepondok bersama Tu Aji Mangku. Melewati jalan setapak,yang tadinya telah kulintasi. Langkah kakiku kali ini lebih ringan.

Tu Aji Mangku jalan di depanku, sedang Aku berada ditengah. Tak ketinggalan kakek membututi di belakangku. Aku merasa lebih PD malam ini. Sepanjang perjalanan, Aku sembari bercakap-cakap sama Kakek. Untuk menghalau rasa ngantukku.

Tetiba, kudengar lolongan anjing malam di kejauhan. Kakek pun berusaha menghibur rasa takutku. Suasana malam ini kurasakan mengerikan. Namun rasa takutku terasa hilang. Karena Aku bersama Tu Aji Mangku.

Malam pun semakin larut. Suasana kampung yang gelap. Tanpa penerangan listrik. Hal ini tak menyurutkan niat Kakek dan Aku. Agar sesegera tiba, menemui keluarga yang mungkin was-was, kelamaan menunggu kedatanganku di pondok.

Tak seberapa lama perjalananku bertiga. Tu Aji Mangku, Aku dan Kakek tiba di pemondokanku. Paman dan Bibi menyambut kedatanganku bertiga dengan rasa lega. Bibi menyilahkan Tu Aji Mangku untuk rehat sebentar. Beliau duduk dekat kakek.

Bibi pun segera ke dapur nyiapin hidangan kopi hangat beserta penganan ala kadarnya. Tak berapa lama Bibi telah siap membawakan kopi, untuk menyambut tamunya tak lain Tu Aji Mangku.

Dengan sopannya, Bibi menyilahkan Tu Aji untuk menikmati hidangan yang telah disediakan.

"Tu Aji, Inggih durusang unggahang dumun wedange." demikian Bibi menyapa menyilahkan Tu Aji Mangku dengan bahasa Bali yang sangat kental.

"Inggih..,matur suksma Memenne!" Tu Aji menimpali. Kemudian kopi pun  di seruput oleh beliau.

Tak seberapa lama kemudian dengan wajah tenang, Tu Aji Mangku menghapiri cucu Kakekku, yang tergolek lemas di tempat tidurnya. Ayahnya duduk berhadap-hadapan di samping istrinya.

Wajah istrinya kelihatan sendu karena ngantuk. Semalaman gak bisa tidur pulas. Aku sepupu dari suaminya. Merasa iba melihat keponakanku. Tidak mau membuka mata, Ia menggigil kedinginan karena panas badannya cukup tinggi. Kemudian Tu Aji Mangku mendekat. Meraba dahi, leher, dada, dan perut sampai telapak kaki keponakanku.Beliaupun lantas berkata dengan pelan.

"Nak...!, tolong ambilkan Aji segelas air putih".

Aku segera ke dapur ngambil segelas air. Tu Aji memusatkan pikirannya memohon pada sesuhunannya yang berstana di pajenengan taksu beliau. Agar berkenan menjiwai air itu menjadi suci. Air suci itu kemudian dipercikan pada pasien ponakanku serta disuruh meminumnya.

Tu Aji berkata tenang dengan suara yang dalam.

"Ya, cucu Bapanne gak pa pa,cuman panas dikit, kok, Besok aja sembuh!".

Begitu Tu Aji Mangku memberi sugesti pada ayah-ibunya serta kakekku.

Sambil mengunyah sirih beliau keluar, dimana ponakanku dibaringkan. Dan malam itu suhu badannya agak mendingan turun. Hati kakek, dan ayah-ibunya merasa lega. Akupun menghela nafas panjang,

" Usssst...! Oh,Hyang Widhi, hamba berterimakasih atas ridho-Mu, ponakanku sudah siuman malam ini!" bisikku dalam hati.

Malam itu Tu Aji minta dibuatkan sesajen berupa segehan kepelan hitam, putih, merah dan kuning, serta dagingnya bawang- jahe untuk disuguhkan kepada Butha Kala.

Sehabis menghaturkan segehan, kemudian sedikit bersenda gurau ngalor ngidul serta minum kopi hangat yang terhidang. Suasana terasa akrab. Diikuti tawa canda riang memecah suasana malam yang sepi.

Tidak terasa malam mendekati dini hari. Tu Aji Mangku bincang-bincang sebentar sama kakek. Sejenak beliau membisikkan sesuatu ke telinga kakekku. Entah apalah yang dibicarakannya. Aku kurang jelas mendengarnya. Karena memang Aku duduk berjauhan. Sambil beliau dan Aku sesekali minum hidangan kopi hangat serta penganan, beliau berpesan kepada kakekku.

"Jaga cucumu baik-baik, ya, Bapa!", pesan Tu Aji Mangku.

Kakek menganggukkan kepala, mengiyakan pesan beliau. Setelah hidangan kopi terminum. Tu Aji minta pamit pada keluargaku.Tak berlama-lama, beliau pun pamitan untuk kembali ke jeronya(rumah) ke desa Wukirsari.

"Tu Aji, mari tiang antar ke Jero, ya!" Kakek menawarkan diri untuk nganternya.

"Gak usah Bapane, Aku sendirian aja!" begitu kata beliau singkat. "Kasihan kali Bapa jauh-jauh jemput Tu Aji. Yang penting jaga dan rawat cucu Bapane di pondok baik-baik!

Sebelum beliau beranjak dari tempat duduknya, kakek berkata."Tu Aji...!" kakek menyela. " Terimakasih, atas pertolongan Tu Aji. Kalau dak Tu Aji bersedia datang, gemana pula nasib cucuku yang semata wayang ini. Saya gak tahu harus berbuat apa, lagi pula tak mampu berbuat banyak,Tu Aji!" ujar Kakek merendah.

Belum  selesai perkataan kakekku, Tu Aji Mangku pun segera memotong ucapan Kakek.

"Jangan berkata begitu,Bapa. Berterimakasihlah kepada Hyang Widhi/Tuhan Mahakuasa, karena atas ridho-Nya cucumu bisa siuman malam ini!". Sambil menepuk-nepuk bahu Kakekku.

"Plak.. plak!" 

Suara alas kaki Tu Aji Mangku menuruni anak tangga pondokku dengan pelan.Tak ketinggalan sebuah tongkat berhiaskan kepala naga ditangannya. Kemudian Tu Aji Mangku pun pergi meninggalkan pondokku. Semakin menjauh suara itu tak kedengaran lagi dengan jelas. Begitu pula bayangan beliau segera lenyap ditelan gelapnya malam.

Pondokku kembali sepi dari senda gurau Tu Aji Mangku yang suka nyeleneh itu. Pesannya selalu terngiang ditelingaku.Kakek pun segera beranjak dari tempat duduknya. Kembali  menemui cucunya di kamar lagi sedang tidur lelap. Hati kakek sungguh lega.

"Oh,Hyang Widhi/Ya.., Tuhan, hamba bersyukur atas kemurahan-MU"

Sambil berbisik, kami pun sekeluarga menuju kamar tidur masing-masing, karena hari sudah larut malam.

Diceritakan perjalanan Tu Aji Mangku pulang ke jeronya(rumah) ke desa Wukirsari. Beliau seorang diri tanpa ada yang menemani.   Tu Aji Mangku memang sudah terbiasa sebagai balian usada (dukun) pulang-pergi di malam hari. Melayani orang yang kena musibah.  Sebagai balian usada beliau pun siap menerima panggilan pasien yang memerlukan pengobatan.

Kewajiban sebagai balian usada dijalaninya sudah hampir 35 tahun. Sejak diwinten (disucikan) di jeronya sendiri, desa Wukirsari. Sambil mengunyah-ngunyah sirih, beliau menapaki jalan setapak yang tadinya beliau lintasi bertiga. Ketika menuju pondok Pak Pageh di dusun Manggisari.

Ketika  perjalanan Tu Aji mendekati setra (kuburan) wilayah desa Wukirsari. Beliau dikejutkan oleh sinar berkelebat di tengah jalan, rasanya kurang lebih tujuh ratus langkah  dari tempat beliau berdiri. Sinar redup berkelebatan sebegitu lincahnya. Menghadang di tengah jalan. Kadang bertengger di ranting pohon randu tua yang lebat ditumbuhi semak belukar.  Terkadang lagi melayang di atas tumbuhan perdu yang rimbun.

Lolongan anjing malam pun terdengar dikejauhan seperti srigala kelaparan. Tak henti-hentinya. Suasana sungguh mencekam. Angin dingin mendesir, membikin bulu kuduk merinding.

Tetiba beliau dikejutkan lagi oleh sinar putih berkelebat dari atas pohon pinang, seperti kain melambai-lambai.  Tu Aji Mangku pun mendekat.Ternyata ....! Sebatang daun pinang kering jatuh, terkelupas dari pohonnya, diterpa sinar rembulan. Suasana malam terasa  mencekam.

"Be...bedebah ...!" bisik Tu Aji Mangku dalam hati.

Tu Aji Mangku diam sejenak.Beliau menenangkan pikirannya

" Apa gerangan sinar berkelebat di depan pandanganku,tadi. Seperti rasanya ada yang membututi perjalananku ini!" gumamnya dalam hati.

Ketika itu suasana jalan setapak sangat gelap, dan sepi. Tak seorang manusiapun, lewat ketika peristiwanya terjadi. Tetiba terdengar suara.

"Gedebuk ...!" keras sekali.

Kayak sebutir buah jatuh dari pohonnya. Lagi-lagi membuat rasa takut tak karuan. Tu Aji Mangku tetap tenang.

"Guk..guk...!" 

Suara burung hantu kembali kedengaran sayup-sayup di malam yang gelap. Direrimbunan semak-semak belukar cukup lebat. Pondok-pondok penduduk sungguh sepi. Malam pun semakin mencekam.

"Hauuuuung.....!"

Kembali terdengar  lolongan anjing malam dikejauhan.

"Malam KajengKliwon"

Bisik Tu Aji Mangku dalam hati. Beliau mengheningkan cipta. Melapalkan do'a dalam hati. Memuja sesuhunan (Dewa) beliau yang berstana di Pamerajannya (tempat suci). Baru selesai berdo'a. Seketika tubuhnya merasa ringan, tiada rasa takut, untuk melanjutkan perjalanannya.

Tak terpikirkan, sinar redup itu pun seketika menghilang tanpa meninggalkan jejak. Tu Aji Mangku lantas kembali melanjutkan perjalanan. Pulang menuju jeronya (rumahnya) ke desa Wukirsari.

Wukirsari sebuah desa yang damai. Pepohonan tumbuh menghijau sungguh sedap dipandang mata. Memberi rasa adem kepada semua penghuninya.

Di desa inilah Tu Aji Mangku kesehariannya menjalani titah yang digariskan leluhurnya sebagai balian usada(dukun). Desa yang agak jauh dari hiruk-pikuk keramaian ibukota. Namun rumah-rumah penduduk cukup padat  dan tertata asri.

Peristiwa yang sempat dialaminya dini hari tadi, beliau pun tidak lupa memanjatkan puji syukur kehadapan Hyang Widhi /Tuhan Mahakuasa. Karena berkat ridhonyalah, keadaan dapat diatasinya dengan tenang. Berkat keteguhan beliau memegang amanat leluhurnya. Beliau menolong orang sakit tanpa pamerih, dan memegang prinsip tetap menjalin hubungan  menyama braya (silaturrahmi). Tanpa disadari sepanjang perjalanan, pada akhirnya Tu Aji Mangku tiba dengan selamat di jeronya(rumah), berkumpul bersama istri dan sanak keluarga tercinta.Selesai.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun