"Sudah dekat nak, sebentar lagi kita nyampai!" kata kakek.
Aku sedikit lega mendengar jawaban kakek. Sambil mengunyah-ngunyah sirihnya, ia meyakinkan langkahku.
Kuterangi pandangan kakek dengan senter ke kiri-kanan jalan. Seikat perakpak(obor) dari daun kelapa kering dikibas-kibaskan kakek di jalan setapak yang gelap. Terkadang naik turun, dengan gundukan kecil di sana sini. Jalan setapak berupa tanah liat. Terkesan kurang terawat. Memang jalan lengang jauh dari perkampungan. Malam pun semakin larut. Suasana kampung bertambah sepi dan mencekam.
Kusempatkan diri melirik arloji tanganku. Waktu menunjukkan pukul 12.00 malam. Â Kuusap keringat dingin di mukaku. Perjalanan cukup melelahkan.Batang tenggorokanku terasa kering. Aku pun diam sejenak sambil meneguk air mineral yang terselip disaku bajuku.
Sambil menyekat keringat.
"Nak kita sudah tiba di rumah Aji Mangku yang kita cari".
"Benar, Kek?" Hatiku lega.
Sambil duduk-duduk di sebuah gundukan tanah, kuamati keadaan sekitarnya.
Kelihatan halaman rumah beliau tertata apik. Pohon puring, cempaka, kenanga jawa, dan palem merah, tumbuh subur dan tampak asri. Kemudian kakek memanggil-manggil Tu Aji Mangku, dengan suara sedikit parau. Namun masih cukup jelas terdengar.
"Tu Aji...!Tu Aji Mangku! saya Pak Pageh, mau bertemu Tu Aji malam ini!" begitu kakek memanggil-manggil.
Sesekali terdengar batuk kakek olehku.Tampak seseorang keluar rumah. Sambil nyalain lampu templok.