Dengan sopannya, Bibi menyilahkan Tu Aji untuk menikmati hidangan yang telah disediakan.
"Tu Aji, Inggih durusang unggahang dumun wedange." demikian Bibi menyapa menyilahkan Tu Aji Mangku dengan bahasa Bali yang sangat kental.
"Inggih..,matur suksma Memenne!" Tu Aji menimpali. Kemudian kopi pun  di seruput oleh beliau.
Tak seberapa lama kemudian dengan wajah tenang, Tu Aji Mangku menghapiri cucu Kakekku, yang tergolek lemas di tempat tidurnya. Ayahnya duduk berhadap-hadapan di samping istrinya.
Wajah istrinya kelihatan sendu karena ngantuk. Semalaman gak bisa tidur pulas. Aku sepupu dari suaminya. Merasa iba melihat keponakanku. Tidak mau membuka mata, Ia menggigil kedinginan karena panas badannya cukup tinggi. Kemudian Tu Aji Mangku mendekat. Meraba dahi, leher, dada, dan perut sampai telapak kaki keponakanku.Beliaupun lantas berkata dengan pelan.
"Nak...!, tolong ambilkan Aji segelas air putih".
Aku segera ke dapur ngambil segelas air. Tu Aji memusatkan pikirannya memohon pada sesuhunannya yang berstana di pajenengan taksu beliau. Agar berkenan menjiwai air itu menjadi suci. Air suci itu kemudian dipercikan pada pasien ponakanku serta disuruh meminumnya.
Tu Aji berkata tenang dengan suara yang dalam.
"Ya, cucu Bapanne gak pa pa,cuman panas dikit, kok, Besok aja sembuh!".
Begitu Tu Aji Mangku memberi sugesti pada ayah-ibunya serta kakekku.
Sambil mengunyah sirih beliau keluar, dimana ponakanku dibaringkan. Dan malam itu suhu badannya agak mendingan turun. Hati kakek, dan ayah-ibunya merasa lega. Akupun menghela nafas panjang,