"Jangan berkata begitu, Nak!". Ponakanmu kan sakit keras, harus segera dapat pertolongan. Kalo ndak...,! gemana nasibnya nanti!". Kakek tampak geram.
Aku pikir-pikir."Ya,ya, Aku ikut saran kakek aja... eh!". Jawabku walau sedikit memaksakan diri.
"Tapi.....!".
"Tapi, gemana Nak?" kakek jangan tinggalkan aku jauh-jauh ya...., tetap jalan di belakangku".Â
"Baiklah...!, Kakek akan berjanji menepati permintaanmu".
Kemudian aku berjalan di depan kakek. Walau kaki terasa berat untuk melangkah. Keringat dinginku terasa mengalir di punggungku. Kupandangi disekitaranku, rumah-rumah penduduk  jarang kutemui. Pondok-pondok mereka jauh di tengah perkebunan kopi. Tak tampak, hanya remang-remang diselimuti gelapnya malam.
"Sungguh sepi kampung ini", bisikku.
Suatu ketika Aku menuruni jalan setapak sedikit licin. Nyaris Aku terpeleset. Langkah kakiku gemetaran. Kulangkahkan kaki dengan hati-hati. Udara dingin malam hari. Membuat tubuh ini menggigil kedinginan. Dalam keheningan malam. Entah berapakah. Tidak terhitung langkah kakiku melangkah jauh ke depan.
Peristiwa tadinya telah kulewati bersama Kakek. Hatipun sedikit lega. Namun detak jantungku masih berdegup cepat sekali. Â Nafasku terengah-engah. Kali ini Aku coba beranikan diri nanyak kakekku.
"Keek..! masih jauhkah rumah Tu Aji Mangku dari sini, kek?" suaraku terbata-bata.
Kakek menjawab dengan pelan dan tenang.