Mohon tunggu...
No Name
No Name Mohon Tunggu... -

Seorang pria

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

2xLove (I) 9: Janji Hati

5 April 2012   03:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:01 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sambungan dari: Julia Felicia

Saat Jerry sedang menikmati menatap langit malam di jerambah rumahnya, dia mendegar suara Mitha yang baru pulang dari jalan-jalan bersama dua temannya yang terkenal di sekolah mereka. Cindy dan Christy. Beberapa orang lainnya sering mengekor ke mana pun mereka pergi. Jadinya suara motor yang mereka timbulkan begitu berisik.

Jerry menatap lagi langit yang membentang luas di atas kepalanya. Rembulan bersinar dengan gemilang. Bentuknya yang bulat sempurna di tanggal tiga belas malam ini seolah bersuka cita untuknya hari ini. Wajah Julia seolah terpantul pada permukaan bulan itu. Kata orang-orang dulu, bila memperhatikan bulan purnama mungkin saja bisa beruntung melihat putri bulan. Jerry tersenyum sendiri. Ternyata dewi bulan memang ada. Dan dewi itu adalah Julia sendiri. Dia bisa melihatnya karena Julia sudah ada dalam hati.

"Jer ...!"

Suara Mitha memanggil namanya mengalihkan lamunan indahnya. Dia berjalan masuk ke dalam ruang keluarga dan tersenyum begitu bahagia.

"Kau sedang apa di tempat jemuran?"

"Lagi menatap langit," ujar Jerry tersenyum.

"Kau begitu ceria hari ini. Tadi berjalan dengan lancar?"

Jerry menggeleng lalu duduk di sofa.

"Tak lancar. Hampir saja gagal."

Kemudian Mitha duduk di samping menyimak cerita Jerry. Dia jadi berpikir setelah Jerry mengakhiri ceritanya.

"Ya, aku mengerti kenapa Julia begitu. Tapi untung kau bisa membuat dia percaya sama kau. Kalau tidak, kau pasti ditolaknya dan sekarang kau tak mungkin senyum-senyum. Ada satu sifat misterius perempuan. Dia bisa saja menolak kau meskipun sebenarnya dia suka sama kau. Tapi bisa saja menerima kau walaupun dia tidak suka sama kau."

Jerry mengernyitkan keningnya mendengar penuturan Mitha yang memang hampir terjadi padanya.

"Kenapa bisa begitu?"

"Banyak sebabnya. Aku tak bisa kasih tahu secara pasti. Biasanya karena tak yakin laki-laki yang disukainya menyukai dia sepenuh hati. Atau tak yakin mereka akan cocok. Tidak merasa nyaman dengan sikap laki-laki itu selama ini. Gengsi dan sebagainya."

Jerry memikirkan kata-kata Mitha barusan. Terasa sangat mungkin itu terjadi dalam kehidupan ini. Teman-temannya mungkin banyak yang seperti ini.

"Terus, bagaimana bisa menerima orang yang tak disukai?"

"Ah, perempuan yang keras pada akhirnya juga bisa luluh. Asal ada laki-laki yang begitu tulus, perhatian dan baik padanya, dan dia yakin dengan sikap tulus laki-laki itu, dia akan menerimanya. Cinta itu terkadang bisa tumbuh seiring waktu. Bisa juga karena laki-laki itu memang populer. Siapa coba yang tak ingin popularitas? Kekayaan atau gengsi?"

Mendengar keterangan Mitha, Jerry mengeleng-geleng prihatin.

"Kau sendiri bagaimana?" ujar Jerry pada Mitha yang hendak beranjak dari tempatnya.

"Aku tak berani memastikannya. Banyak kejutan-kejutan dalam hidup ini yang belum kulalui. Jadi aku tak bisa mengatakan aku tak akan seperti itu."

"Berarti semua perempuan seperti itu?"

"Tidak, tidak. Maksudku kalau dihadapkan pada situasi yang sulit ditolak, maka bisa terjadi seperti itu. Tapi jangan sekali-sekali kau berpikir semua perempuan seperti itu. Itu artinya kau melecehkan perempuan."

Tak usah diingatkan seperti itu pun Jerry tak pernah berpikir demikian terhadap perempuan. Laki-laki menurutnya juga akan berlaku serupa. Hanya saja, selama ini yang lebih dominan mengalaminya adalah perempuan. Tapi dia tetap menganggap masih banyak perempuan yang baik. Tak usah jauh-jauh. Ibunya baginya adalah perempuan terbaik di dunia ini. Kemudian Mitha yang begitu rajin dan giat selama ini. Dia adalah kakak yang sangat baik pula. Kemudian setelah bertemu dengan Julia, dia tahu orang akan sulit tidak jatuh cinta pada orang semanis dirinya. Penuh perhatian dan kelembutan.

Begitu Mitha masuk ke dalam kamarnya, Jerry menggeser duduknya ke pinggir sofa. Dia meraih telepon dan mulai menekan tombol.

"Halo, Julia ada?"

"Dari siapa ini?"

"Dari Jerry."

"Tunggu sebentar!"

Jerry tidak lagi grogi seperti saat pertama dia menelpon Julia. Sekarang dia menunggu dengan tenang.

"Halo! Ada apa Jer?"

"Tak ada apa-apa. Cuma rindu dengan suara kamu saja."

"Oh. Kamu sedang apa sekarang?"

"Lagi telpon kamu kan? Hehehe!"

"Dasar ...."

"Kamu sendiri sedang apa?"

"Lagi baca San Pek Eng Tay."

"Oh begitu. Sudah sampai mereka berpisah?"

"Sudah," Julia berhenti sebentar, "Jer, terima kasih tadi siang ...," lanjutnya tapi belum selesai sudah terlanjur dipotong Jerry.

"Sudah, sudah. Hari ini kamu sudah berapa kali berterima kasih?"

"Tapi, tetap saja ini begitu berkesan bagiku. Ini pertama kalinya ada orang yang membuat kejutan untukku."

"Aku akan menyiapkan kejutan lain buatmu."

Mereka saling terdiam sebentar. Saling menyelami perasaan yang timbul di hati mereka kini.

"Jer, masih mau bicara apa?"

"Ehm, tak ada. Memangnya kamu tak ada yang mau dibicarakan?"

"Saat ini tak ada. Aku mau melanjutkan baca San Pek Eng Tay."

"Oh, ya sudah."

"Jer ...," ujar Julia lalu terdiam sebentar, " aku sayang kamu," lanjutnya kemudian.

"Aku juga sayang kamu," balas Jerry dengan hati sekembang bibirnya.

"Sampai ketemu besok."

"OK."

Jerry meletakkan telepon lalu kemudian turun ke bawah. Ibunya sedang menonton televisi. Dia menoleh saat Jerry duduk di sofa sebelahnya. Dan tampak tersenyum melihat wajah Jerry yang cerah sepanjang hari ini. Tak berapa lama kemudian Mitha bergabung bersama mereka. Duduk di sebelah Jerry.

"Ma, mama sudah tau kabar gembira belum?"

"Kabar gembira apa?" ujar Ibunya mengalihkan perhatiannya dari televisi.

"Jerry, Ma. Jerry sudah punya pacar."

Mendengar perkataan Mitha, Jerry spontan mencubit lengannya. Mitha menepis tangan Jerry lalu mengelus-ngelus mengusir rasa sakitnya. Ibunya hanya tersenyum.

"Mama tau dengan siapa tidak?"

"Ehm ...," gumam Ibunya lalu memejamkan matanya. Mencoba mencari sebuah nama, "Julia ya?" ujarnya kemudian.

"Ya, benar. Ya, Jer? Bagaimana Mama tau?"

Jerry pun tak kalah heran. Dia hanya tersenyum tak menanggapi penegasan Mitha barusan.

"Tau tidak bagaimana mereka bertemu, Mit? Mama waktu pertama bertemu Julia punya kesan yang baik. Waktu itu dia dan mamanya datang ke toko. Tapi Jerry yang tiba-tiba datang sepertinya tak melihatnya. Sebenarnya mama sengaja mengajaknya ke acara waktu itu supaya dia bertemu Julia. Tapi dia malah tak mau masuk. Terus waktu jemput Mama, Jerry bertemu dengan Julia. Dan mama sudah menebak mereka sama-sama punya rasa waktu itu. Makanya sekarang mama bisa menebaknya."

"Wah, hebat Ma! Mama bisa tau sebanyak itu."

"Anak laki-laki mama ini memang paling sulit dimengerti. Cuma soal Julia saja yang bisa Mama tebak," ujar Ibunya sambil tersenyum.

Mitha kembali menggoda Jerry. Dan Jerry lagi-lagi tersipu sambil pura-pura menoleh ke arah lain. Dia jadi berpikir, apa benar dia sebelumnya sudah pernah melihat Julia di toko? Memang betul, waktu itu dia ke toko dan sedang ada orang. Aha, jadi begitu. Rambut Julia masih dicat pirang, sama seperti waktu dia pertama kali melihatnya di gerbang sekolah. Pantas saja dia tak menyadarinya selama ini.

"Eh, Jer. Sering-sering ajak Julia ke sini. Ya, ma?"

Ibunya tersenyum dan mengangguk menanggapi perkataan Mitha. Kemudian mereka kembali menatap layar televisi. Willy pulang tak lama setelah itu. Dia baru dari tetangga sebelah. Dan Mitha lagi-lagi menggulang cerita yang sama pada Willy. Tapi kali ini Jerry sudah tidak malu-malu lagi. Dia tetap memperhatikan layar televisi sepanjang Mitha mengulang ceritanya.

*****

Mitha melambaikan tangan saat mereka berjalan mendekati kantin. Lini paling cepat menghampiri. Ada Cindy dan Christy serta beberapa alumni lainnya. Jerry menahan rasa kesalnya. CMC ke sekolah mereka hari ini buat apa? Mau tebar pesona atau sekedar melepaskan rindu? Tiba-tiba Mitha berdiri dan mengajak Julia duduk di sampingnya. Jerry ingin sekali protes, tapi tak jadi lantaran teman-temannya juga ikut duduk bersama mereka.

"Kalian sudah tau ini siapa?" ujar Mitha pada kawan-kawannya.

"Aku baru pertama kali lihat, Mit. Siapa namanya?" ujar Christy.

"Cantik ya," ujar Cindy menambahkan.

"Julia Felicia. Dia sekarang jadi adikku," ujar Mitha dengan senyum lebar.

Teman-temannya yang mendengarnya agak sedikit tak mengerti. Mereka saling pandang dan tersenyum. Tapi yang paling terkejut tentu saja Vera. Dia terus memperhatikan Julia yang kini semakin tersipu. Lini, Adrian, Wennendy dan Andre sudah tahu sejak kemarin. Jadi mereka hanya diam dan tersenyum seperti Mitha. Tapi Jerry memerah wajahnya. Dia mulai kesal juga mendengar Mitha yang terus saja bicara.

"Oh, kenapa bisa?" ujar Chisty.

"Sebentar. Aku tau jawabannya. Aku lihat Jerry memerah wajahnya dan jadi salah tingkah. Julia juga tersipu malu. Menurutku mereka pacaran. Jadi Mitha otomatis menganggap Julia adiknya. Begitu, Mit?"

"Seratus buat kamu, Cin. Jul, ini Cindy dan Ini Christy."

"Halo!" ujar Julia pada mereka berdua.

"Mereka dulu populer di sekolah kita. Kamu sudah pernah dengar CMC kan?" ujar Lini sambil mengerling pada yang lain.

Julia mengangguk dan tersenyum. Dia jelas sekali sudah pernah mendengarnya. Lini sendiri pernah menceritakannya padanya.

"Wah, Lin. Kamu sudah kasih tau apa sama Julia? Jangan terlalu dipercaya, Jul. Lini memang suka berlebihan kalau cerita," ujar Christy sambil tersenyum pada dua sahabatnya.

"Iya. Nama CMC juga bukan dari kita. Tiba-tiba saja ada yang menyebut begitu. Kalau mengingatnya, kita jadi malu. Betul tidak?" ujar Cindy pada Mitha dan Christy.

"Betul!" sahut Mitha dan Christy bersamaan.

Pembicaraan mereka pun beralih lagi. Tidak terfokus pada Julia dan Jerry. Jerry menarik napas lega dan melihat ke arah Julia. Mereka saling terseyum lega. Vera memperhatikan mereka. Dan dia tahu dirinya sudah kalah. Perasaan kecewa menyelimutinya. Tapi dia tak beranjak dari tempatnya. Dia pura-pura mengikuti suasana di sekelilingnya dengan perasaan kacau balau yang sulit dijelaskan. Tak ada nyala berkilat lagi di matanya. Tak ingin lagi dia menyapa Jerry. Tak perlu lagi dia terlalu memperhatikan Jerry. Melihatnya saja, dia merasa sungguh menyesal. Atau mungkin sayang. Beginilah sikap orang yang memendam cinta sepihak. Pahit. Tapi tak bisa menyalahkan orang lain.

*****

Vera memasukkan buku terakhir ke dalam tasnya. Lalu dia berjalan menyusul teman-temannya keluar kelas. Yenni dan Melvi diam saja. Pun saat mereka berpapasan dengan Lini dan Julia di tangga. Vera seolah enggan menoleh. Dia berjalan dengan langkah cepat menuruni tangga. Dan berjalan terus ke arah gerbang. Melvi dan Yenni terpaksa menyusulnya dengan langkah terburu-buru. Kemudian Yenni menunggu hingga Vera dan Melvi naik ke becak dia baru mulai berjalan pulang. Rumahnya cukup dekat dari sekolah. Di atas becak Vera melihat Jerry yang berada di atas motor menepi di pinggir jalan, sedang bicara dengan Adrian. Dia menarik napas dalam lalu membuangnya tiba-tiba. Melvi pura-pura tak mengetahuinya. Dia tahu perasaan temannya kini sedang kacau. Orang yang selama ini paling disukai Vera ternyata tak menyukainya. Padahal beberapa hari ini Vera begitu gembira bercerita kalau dia dan Jerry semakin dekat. Selalu ada semangat dalam setiap kata dia menyebutkan nama Jerry. Dan dia juga berpikir Jerry mulai memperhatikannya. Lalu dengan percaya diri dia pernah berkata, " Sebentar lagi, Jerry akan menjadi pacarku". Ternyata semua hal tidak selalu seperti yang kelihatan. Julia yang beberapa hari ini terlihat menjauh dari Jerry tiba-tiba saja kembali begitu dekat. Bahkan mereka sudah pacaran. Dan ini membuat bingung beberapa orang. Termasuk dirinya. Kalau sama-sama suka, kenapa mereka sempat saling menjauh, hingga membuat Vera berpikir dia punya peluang? Dia merasa kasihan melihat Vera kini. Kalau dulu dia mungkin sudah teriak-teriak dan marah-marah. Tapi, sejak dia mengatakan dia kembali menyukai Jerry, dia bilang mau berubah. Apa yang kurang dari Vera kalau dipikir-pikir? Dia cantik dan juga pintar. Sejak kelas satu dia tahu betul temannya sangat menyukai Jerry. Meskipun saat itu dia suka membentak Jerry karena Jerry begitu tak mempedulikannya. Hingga akhirnya dia capek dengan sikap Jerry dan tak lagi terlalu peduli padanya. Tapi bagaimanapun, dia tahu, Vera masih tetap menyukai Jerry.

Melvi menoleh pada Vera. Dia sebentar lagi akan turun. Dia cukup berjalan beberapa langkah saja dari simpang yang tinggal beberapa meter lagi. Tapi dia tertegun melihat pantulan kilauan air mata pada garis bawah mata Vera yang sedikit merah. Dia terdiam sebentar lalu berseru pada tukang becak.

"Berhenti di simpang, Bang! Ver, aku duluan ya," ujarnya sambil memegang tangan Vera. Vera hanya mengangguk saja.

Becaknya kembali berjalan. Panas matahari yang tak berubah sepanjang tahun membuat tubuh tukang becaknya hitam legam. Saat matanya kembali melihat lurus ke depannya. Dia melihat Jerry berbelok dari tikungan. Dadanya terasa terhimpit melihatnya. Jerry baru dari jalan Imam Bonjol tentulah baru mengantar Julia. Motor Jerry bergerak terlalu cepat sehingga dia tak menyadari keberadaan Vera. Dalam hati Vera cemas juga melihat Jerry yang membawa motor dengan kecepatan seperti itu. Bagaimanapun, dia masih memiliki perasaan pada Jerry.

*****

Jerry terus saja tersenyum. Biasanya dia paling hemat dengan senyumnya. Mungkin dia jadi begitu bahagia setelah jadian dengan Julia. Makanya dia mengekspresikan dengan senyum manisnya. Tapi dia sendiri agak heran juga. Kenapa tiba-tiba banyak anak kelas satu yang mengajaknya bicara. Sering menyapanya kalau kebetulan lewat. Dan itu murid perempuan semuanya. Julia yang berada di sampingnya lama-lama kesal juga. Mukanya menjadi muram dan tak menjawab bila Jerry mengajaknya bicara.

"Hey, ayolah. Kenapa lagi?"

Julia diam saja. Pura-pura terpikat pada pemandangan laut yang hampir dilihatnya setiap hari.

Jerry kemudian tersenyum-senyum sendiri hingga Julia menoleh keheranan padanya.

"Kamu cemburu ya?" ujar Jerry

Senyum kecut tersungging di bibir Julia. Dia memang cemburu. Itu sudah pasti. Tapi dia tak mau mengakuinya.

"Aduh, masa begitu saja cemburu. Aku cuma membalas membalas senyum mereka saja."

Julia menoleh pada Jerry. Menatapnya dalam-dalam. Laki-laki ini benar-benar tak tahu atau bodoh, pikirnya dalam hati. Kalau senyum kecil dan singkat tentu saja tak masalah. Tapi senyum semanis itu bisa membuat perempuan salah tingkah dan terbawa mimpi tentu saja.

"Kamu mau menebar pesona?" ujarnya menanggapi perkataan Jerry.

Kini kerutan muncul di dahi Jerry. Dia tak mengerti perkataan Julia barusan.

"Menebar pesona? Memangnya aku kenapa?"

"Untuk apa kau senyum-senyum begitu manis? Nanti kalau mereka suka bagaimana?"

"Tapi kan kalau aku tak senyum nanti dibilang sombong. Kamu mau aku dibilang sombong?"

Julia mengatupkan giginya rapat-rapat dan kerutan dia antara kedua matanya bermunculan. Dia lalu menepuk dahinya sendiri. Tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan pada laki-laki yang dicintainya.

"Bukan begitu ...," belum selesai Julia bicara, dia sudah disapa para senior yang muncul di sampingnya.

"Hai, Jul!"

"Eh, Hai juga!"

"Sedang apa?"

"Biasa," ujar Julia menganggukkan kepala ke arah laut sambil tersenyum.

Para senior tidak berkata apa-apa lagi. Terlebih setelah mata mereka bertemu dengan mata Jerry yang tak ramah.

"Ya sudah. Kita ke bawah dulu ya!"

"OK," ujar Julia membalas gerakan tangan mereka.

Julia menoleh lagi pada Jerry. Dia jadi malu karena Jerry tersenyum sinis menggodanya.

"Oh, begitu ya. Bisanya bilang aku. Kamu sendiri juga senyum-senyum sama mereka."

"Hehehe. Kamu cemburu ya?"

"Tentu saja."

"Ya sudah. Kamu juga tadi membuatku cemburu. Mulai sekarang aku takkan membuatmu cemburu lagi."

Jerry tersenyum mendengar penuturan Julia yang begitu manis.

"Dan kamu," ujar Julia lalu berhenti sebentar. "Kamu jangan menebar pesona di mana-mana."

Mulut Jerry ternganga hendak protes. Tapi dia tak jadi bersuara karena melihat Julia kini menatap tajam padanya. Kedua bibir tipisnya dirapatkan, menegas kata-katanya. Julia tetap kelihatan cantik dan manis dengan wajah galaknya. Akhirnya Jerry tersenyum. Lalu mirip seorang prajurit, dia mengangkat tangannya dan menghormat pada Julia.

"Siap, Bu!"

Julia tersenyum melihat tingkah Jerry. Kemudian saat dia menoleh ke belakang Jerry, dia baru sadar dari tadi bukan hanya mereka berdua yang ada di sana. Beberapa murid yang kebetulan mendengar pembicaran mereka tersenyum geli. Julia pun tak bisa menutupi rasa malunya. Wajahnya memerah dan dia pura-pura melihat lagi ke arah laut. Jerry lebih santai. Dia malah melambai dan tersenyum pada orang di sebelahnya.

*****

"Di sini, di sini!" ujar Julia menunjuk-nunjuk sudut halaman rumah Jerry.

Jerry bernapas terengah-engah setelah meletakkan seember penuh air di sudut yang ditunjuk Julia. Dia lalu berdiri diam dan memijit otot lengannya. Dia kelihatan capek sekali.

"Capek ya?" ujar Julia lalu membantu memijat lengan Jerry.

Darah di tubuh Jerry tiba-tiba mendesir. Perhatian Julia membuatnya jadi salah tingkah dan tak tahu berbuat apa. Julia perempuan pertama yang menyentuh tubuhnya.

"Sudah lebih enak?" tanya Julia padanya.

Jerry mengangguk dan tersenyum. Dia mengajak Julia duduk di kursi yang sengaja mereka taruh di halaman rumahnya malam ini. Sebentar lagi rumahnya akan ramai seperti pasar malam. Mitha dan kedua temannya, Cindy dan Christy akan berpisah untuk waktu yang cukup lama. Jadi mereka membuat acara perpisahan malam ini. Tapi malah Jerry yang direpotkan. Sebenarnya Jerry tak mau. Tapi Julia mau. Makanya dia ikut-ikutan. Lini dan Adrian yang mengurus minuman. Andre dan Wandy serta Wennendy mencari ikan segar di dermaga-dermaga kapal ikan. Sementara dia, karena acaranya di rumahnya, dan juga paling tak mau susah, hanya menyiapkan tempat panggang ikan, kursi dan sebagainya.

"Lama betul Mitha ini," gerutu Jerry pada diri sendiri.

"Tak apa-apalah. Sebentar lagi dia sudah mau berangkat ke Jakarta. Berpisah dengan teman-temannya. Jadi dia mungkin mau menyenangkan diri dulu."

"Iya sih ...," ujar Jerry tak melanjutkan bantahannya. Dia selalu mengalah bila Julia yang bicara. Tapi kalau orang lain, sampai kepala botak dia belum tentu berhenti bicara.

"Jer, coba lihat!" ujar Julia sambil menunjuk ke atas.

Jerry mendongakkan saja kepalanya. Dia sebetulnya tak ada keinginan melihat langit malam ini. Karena itu dia tak tahu apa yang di tunjuk Julia. Dia menoleh bingung pada Julia.

"Tak kelihatan?" tanya Julia padanya. "itu di sana," lanjut Julia.

Oh, ya. Bintang di sebelah kanan bulan sabit begitu cemerlang. Sekarang hampir akhir bulan. Jadi bulan tak begitu cemerlang. Tiba-tiba dia berdiri. Dan dia menganggukkan kepalanya ke arah atas. Tempat jemuran baju. Julia berjalan mengikutinya.

"Wow, bagus sekali!" ujar Julia begitu mereka tiba di tempat jemuran yang bisa langsung bebas menjelajahi langit dengan pandangan mata.

Jerry masuk ke dalam lalu kembali lagi membawa kursi. Mereka duduk bersebelahan. Julia bersandar begitu mesra di dadanya. Tiba-tiba Julia menoleh dan bertanya padanya.

"Kamu tahu kenapa ada banyak bintang di langit?"

"Tidak tahu. Mungkin karena ada banyak galaksi di jagat raya ini."

"Aduh, jangan telalu ilmiah. Romantis sedikitlah."

"Kenapa ya? Ehm .... Tak tau. Memangnya kenapa?"

"Kebayang tidak ada berapa pasang kekasih di dunia ini? Hal apa yang paling atau setidaknya cukup romantis untuk dilakukan? Tentunya menatap langit kan? Nah, kalau langitnya sepi bintang, tentunya kurang menarik. Tapi ceritanya bukan begitu. Konon, saat orang kasmaran, mereka cenderung memiliki banyak harapan. Waktu itu banyak sekali pasangan yang mengamati bintang. Ada satu pasangan yang melihat bintang jatuh dan secara spontan mengutarakan keinginan mereka. Ternyata di luar perkiraan mereka, permintaan mereka terkabulkan. Mulai saat itu, banyak sekali pasangan yang memandang langit dan berharap bintang jatuh. Coba pikir, kalau jumlah bintang sedikit, bagaimana mereka bisa mengabulkan permintaan begitu banyak pasang kekasih di dunia ini?"

"Oh ya? Kalau kamu, apa yang kamu lakukan saat menatap langit?"

"Aku? Aku tak berharap ada bintang jatuh."

"Kenapa? Kamu tidak punya permintaan atau harapan?"

"Bukan begitu. Kalau ada bintang jatuh, aku takut bintang itu akan menubruk orang yang paling aku sayangi," ujar Julia sambil tersenyum nakal.

"Lalu, siapa orang yang paling kamu sayangi itu?" ujar Jerry menggodanya.

"Siapa lagi. Dia orang paling kejam sedunia."

"Kenapa bisa begitu?"

"Dia paling kejam karena membuatku sering susah makan. Setiap malam sulit memejamkan mata."

"Lho, kenapa susah makan? Masa harus disuapi? Kalau mau tidur kamu ingin dibacakan dongeng?"

"Uuh! Bukannya ingin disuapi. Tapi, setiap kali mau makan selalu takut jadi gendut. Apalagi mau makan makanan favorit, sungguh menyiksa."

"Oh ya? Kan tak ada yang melarang kamu makan. Terus, makanan favorit kamu kan cokelat. Kamu juga suka rebutan cokelat denganku."

"Iih .... Habis itu aku harus diet ketat. Makanya, itu sangat menyiksa."

"Diet? Kenapa harus diet?"

"Kenapa? Kalau aku jadi gendut bagaimana?"

"Memangnya kenapa kalau gendut? Ada yang protes?"

"lho, memangnya kamu tidak keberatan aku jadi gendut?"

"Kata siapa?"

"Nah kan. Itu, kamu kejam."

"Eh, maksudku, kata siapa aku keberatan? Memangnya aku pernah bilang begitu?"

"Tidak pernah," ujar Julia menggelengkan kepalanya.

"Justru itu. Kalau waktunya makan ya makan. Lagipula, kalau kamu tambah gendut sedikit kan jadi lucu. Hehehe."

Suara tawa Jerry menggodanya terdengar menyebalkan. Julia tiba-tiba menggelitik Jerry.

"Eh, eh. Awas ya. Kubalas ...," Jerry protes. Tapi Julia tetap menggelitiknya.

"Kamu takut geli ya. Hahaha."

"Semua orang kalau digelitik juga akan kegelian."

"Enggak," ujar Julia menggelengkan kepalanya.

"Oh, mau coba," ujar Jerry lalu menangkap tubuh Julia. Tapi Julia mengepalkan tangannya dan matanya menatap Jerry nakal.

"Coba saja," hardik Julia.

"Nah kan. Kamu juga takut geli. Wandy yang gendut seperti sapi saja bisa kegelian."

"Oh ya? Kamu tau dari mana?"

"Aku sering gelitikin dia. Makanya tau."

"Berarti dia sayang wanita."

"Sayang wanita? Maksudnya?"

"Kalau laki-laki digelitik merasa geli, artinya dia sayang wanita."

"Berarti kami sama. Aku juga penyayang wanita. Wah, jangan-jangan kamu sengaja menggelitik aku biar tau ya?"

Julia tak menjawab tapi tersenyum. Dia menggelitik Jerry hanya spontan saja. Tapi dia memang merasa senang karena Jerry menggodanya.

"Tapi tak apa-apa kok. Aku memang sayang sama kamu, Jul."

Berkata begitu Jerry menatap Julia yang kini memainkan kedua kakinya. Julia lalu menoleh padanya.

"Aku juga sayang kamu, Jer," ujarnya tersenyum penuh arti.

Jerry tiba-tiba menarik bahu Julia mendekat padanya. Dia merangkul Julia di dadanya. Kemudian menarik dan menghembuskan napasnya dengan penuh perasaan. Mereka terbuai selama beberapa saat sebelum akhirnya bergegas turun karena mendengar suara motor yang mendekat. Julia tiba-tiba mengecup pipi Jerry lalu berlari turun. Tinggal Jerry yang mematung karena jantungnya bekerja berlebihan. Seluruh energinya seperkian detik tersedot menuju hati dan dia hampir tak bisa berdiri. Kemudian begitu energinya menyebar kembali, bibirnya mengembang dan hatinya berbunga-bunga.

Jerry menyirami sisa-sisa bara hingga padam dan mengeluarkan asap. Kemudian dia membuangnya ke dalam tong sampah. Wandy sudah membereskan meja dan kursi. Lini dan Julia mencuci piring dan gelas kotor di dapur. Ke mana Andre dan Adrian? Tanyanya dalam hati. Dia kemudian masuk ke dalam. Menutup pintu dengan pelan. Takut membangunkan Ibunya yang kini sedang tidur. Dia segera menuju dapur. Rupanya Lini dan Julia pun sudah tak ada. Dia segera menaiki tangga. Tak ada orang di kamar tentu saja. Suara-suara kecil terdengar dari ruang keluarga. Mereka sedang nonton rupanya. Sengaja mereka nonton di lantai dua, supaya tak terlalu berisik dan membangunkan Ibunya. Willy ternyata belum tidur juga. Dia bergabung begitu nyaman bersama teman-teman Mitha. Lini, Julia berada cukup belakang dari televisi. Mereka ikut tersenyum karena memang yang mereka nonton itu film komedi. Jerry kemudian duduk di belakang Julia. Julia tersenyum padanya dan sedikit bersandar padanya. Jerry menatap jam dinding. Rupanya sudah jam setengah tiga subuh. Baru kali ini dia bergadang bersama teman-temannya. Karena itu sekarang dia tak tahu mau berbuat apa. Jelas dia bosan duduk dan ikut nonton bersama mereka. Kemudian dia berbisik kecil di telinga Julia.

"Kita lihat-lihat bintang lagi yuk!"

Julia menoleh, tersenyum sambil mengangguk. Lini yang melihat Julia dan Jerry berjalan menuju tempat jemuran menarik lengan Adrian. Kemudian mereka juga menyusul Jerry dan Julia.

"Wah, wah! Maunya berdua terus. Kita malah tak diajak."

"Mana ku tau kalian mau ke sini," sahut Jerry.

"Taulah yang lagi pacaran. Dunia serasa milik berdua. Ya, Rian?"

"Hahaha. Kita juga kan? Sudahlah, kau jangan ganggu mereka terus."

Mereka duduk di atas tembok yang berbeda. Membentuk sudut sembilan puluh derajat. Bisa saling curi-curi pandang. Tak hal itu tak mereka lakukan. Masing-masing larut dalam perasaan mereka sendiri.

"Jer, aku sudah selesai baca San Pek Eng Tay. Akhir ceritanya sedih. aku sampai menangis."

"Ya. Sayang sekali mereka tak bisa bersatu. Tapi, itu benar-benar kisah yang indah."

"Aku benar-benar salut dengan Eng Tay. Dia begitu setia pada San Pek. Mati pun rela."

"Itu karena mereka saling mencintai seluruh hati. Jujur dari lubuk hati."

Julia mengangguk dan tampak mencermati kata-kata Jerry. Dia menengadah ke langit. Bintang-bintang tampak bertaburan di latar langit yang bersih dari awan.

"Jul ...," ujar Jerry dan Julia menoleh padanya. "Kamu masih ingat apa yang kukatakan sewaktu aku mengungkapkan isi hatiku padamu?"

Julia menatap Jerry dengan lembut lalu mengangguk.

"Aku ingat berkata, 'selama kamu menyukaiku, aku tak peduli dengan masa lalumu'. Sekarang aku ingin menambahkan. Bahkan untuk selanjutnya, bila kamu tetap menyukaiku sepenuh hati, maka tak peduli apa yang terjadi, aku akan mencintaimu seluruh hatiku."

Tubuh Julia mendadak diselimuti suatu kehangatan luar biasa. Jantungnya yang mulai terbiasa tetap tenang bila bersama Jerry mendadak bereaksi seperti kali pertama mereka bertatap muka. Ada kebahagiaan berlebihan yang mendesak dadanya sehingga membuatnya sulit bernapas. Dia menggulum bibirnya dan tersenyum.

"Sekarang dan seterusnya, aku hanya akan menyukai kamu seorang, Jer. Tak ada yang bisa menggantikanmu di hatiku."

Sinar mata Jerry menjadi seterang bintang di angkasa begitu mendengar pernyataan Julia. Dia menggeser posisi duduknya, lalu menyandarkan kepala Julia ke dadanya. Dia berusaha meredam gejolak dalam dadanya. Perlahan dia menarik napas dalam-dalam. Aroma tubuh Julia yang khas masuk melalui rongga dadanya. Mendekam selamanya dalam hatinya. Julia tampak tenang dalam dekapannya. Jari-jari tangan Jerry perlahan membelai lembut rambut hitam Julia.

"Rambutmu bagus, Jul. Halus dan lembut."

Julia masih tetap menyandarkan kepalanya di dada Jerry. Cuma bergerak sedikit sewaktu menanggapi perkataan Jerry.

"Oh ya? Eh, kamu tau tidak sebelumnya rambutku dicat pirang?"

"Ya. Aku ingat pernah melihatmu di gerbang sekolah. Waktu itu rambutmu memang pirang."

"Cuma itu saja? Tak pernah lihat sebelum itu?"

"Ehm .... Oh ya, waktu itu aku mampir ke toko. Aku ingat ada orang rambutnya dicat pirang. Itu kamu?" ujar Jerry pura-pura tak tau. Padahal dia sudah pernah mendengar cerita Ibunya sewaktu Mitha menggodanya.

"Iya. Kamu tak tau itu aku?"

"Tidak. Aku tak begitu memperhatikan."

"Oh ya? Kenapa? Tau tidak, seumur hidupku, baru kali itu aku tak diperhatikan laki-laki. Dan aku jadi bertanya-tanya. Siapa sih laki-laki tadi? Masa tak menyadari aku yang cantik begini. Hehehe."

"Oh! Hehehe. Iya, iya. Kamu memang cantik. Tapi, aku tak memperhatikan kamu karena rambutmu pirang. Aku kurang suka lihat orang mengecat rambutnya."

"Oh ya? Tapi kan bagus."

"Kamu orang Asia, Jul. Maka cantiklah sebagai orang Asia. Orang terkadang berpikir mengecat rambutnya akan membuat mereka seolah menjadi orang bule. Dan sepertinya mereka bangga dianggap orang bule."

"Tapi kan orang mencat rambutnya biar terlihat lebih cantik."

"Kalau pada dasarnya cantik, ya akan cantik. Tapi kalau jelek, tetap saja jelek."

"Berarti tak boleh cat rambut?"

"Orang Asia memang rambutnya hitam. Buat apa merusak ciri khas dengan hal-hal seperti itu. Apa kamu pikir orang bule bertemu kamu lantas mengatakan kamu cantik? Tidak kan? Mungkin dalam hati mereka mengatakan kamu bodoh."

"Iih, jahat. Masa begitu?"

"Siapa tau? Belum pernah ada yang menanyakan langsung pada orang bule kan?"

"Sudah ah. Kamu meledekku terus. Aku tak mau lagi cat rambut."

"Aku tak meledek kamu. Kalau kamu mau cat rambut juga terserah kamu. Tapi buat apa? Menurutku kamu jauh lebih cantik dengan rambut hitam."

"Oh ya? Benar begitu?"

"Benar. Buat apa aku bohong. Buktinya waktu kamu masih cat pirang, aku tak memperhatikanmu. Tapi waktu melihatmu dengan rambut hitam, terus terang jantungku berdebar-debar."

"Benar nih?"

Jerry mengangguk dengan wajah serius.

"OK! Aku sudah tak ingin lagi mencat rambutku. Biar kamu selalu memperhatikanku. Aku tak mau kalau cat rambut tapi kamu tak memperhatikanku."

"Dasar bodoh!" ujar Jerry sambil menekan pelan kepala Julia. "Aku kan sudah bilang, selama kamu menyukaiku sepenuh hati, maka apapun yang terjadi, aku akan mencintaimu setulus hati."

Bersambung ke: Semua Berakhir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun