Mohon tunggu...
No Name
No Name Mohon Tunggu... -

Seorang pria

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

2XLove (I) 3: Sakit

23 Maret 2012   06:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:35 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sambungan dari: Gadis Cantik

Beberapa orang percaya kalau bersin-bersin berulang kali berarti ada orang yang sedang membicarakan mereka. Sudah beberapa jam yang lalu terus begitu. Yang jelas, Jerry merasa tubuhnya memang sedang lemah. Jadi, bukan karena ada yang membicarakannya, makanya bersin-bersin. Dengan hidung mapetnya yang tampak memerah, dia mulai mengucek-ngucek matanya. Dia baru akan menutup buku akuntansinya saat didengarnya suara hujan menimbulkan keributan di atap-atap rumah. Hujan deras. Semoga besok pagi tidak hujan lagi, ujarnya dalam hati. Lampu meja belajar dimatikan dan dia berjalan menuju kamarnya.

Pada jam-jam begini rumahnya sudah sepi. Dulu, saat Ayahnya masih ada, mungkin masih terdengar suara televisi di ruang tamu. Ternyata dua tahun cepat sekali berlalu. Dia ingat jelasl saat kelulusannya dari SLTP dulu. Ayahnya meninggal karena masalah jantung. Sejak saat itu, dia merasa hidupnya sepi. Atau dia yang menjadikan hidupnya sepi. Tiada sosok untuk menyandarkan diri. Satu-satunya hal yang menggembirakannya hanyalah keluarganya. Kakaknya yang menurutnya sedikit cerewet dan usil turut meramaikan seluruh rumah. Atau adiknya yang suka ikut-ikutan mengerjainya karena ada kakaknya sebagai tameng. Tapi kini, saat dia dalam proses pengenalan diri, kakaknya pun turut pergi. Dua bulan berlalu sudah sejak dia memutuskan kuliah di Jakarta.

Kepalanya terasa nyut-nyutan. Dan kamarnya kini gelap. Seharusnya dia sudah tertidur sekarang. Tapi sial, kepala nyut-nyutan ditambah hidung tersumbat membuatnya gelisah.

Hujan terus mengguyur dengan deras. Suaranya yang berisik bisa terdengar oleh setiap orang di dalam rumah. Air telah menggenangi halaman-halaman seluruh rumah di deretan jalan berujung buntu ini. Alirannya, membawa pasir dan debu masuk ke dalam parit di ujung jalan. Dan di ujung jalan, cahaya lampu di setiap teras rumah tampak semakin redup dibawah tirai hujan. Kini terlihat jalanan besar yang setiap pagi dilalui berbagai kendaraan. Kecuali suara berisik hujan yang mengguyur, hampir tak ada apa-apa lagi. Di perempatan terlihat gelap sekali. Entah lampu jalannya tidak berfungsi, atau tidak ada sama sekali.

****

Pagi-pagi suasana kota ini sudah tidak menyenangkan. Hujan turun dengan deras. Entah sejak tadi malam tak henti-henti atau sudah istirahat, Jerry tak tahu. Meski tidak terlalu deras tapi membuat Jerry harus berangkat ke sekolah dengan becak, salah satu kendaraan yang tidak disukainya. Dingin juga kalau hujan di pagi hari. Dan itu membuatnya nyaris terlambat karena tukang becak mengayuh pedalnya dengan lambat. Begitu tiba di depan gerbang memang masih ada beberapa murid yang melangkah masuk. Saat hujan, sekolah lebih toleran kalau ada murid yang terlambat.

Julia yang kini duduk di depan kelas karena Wennendy sudah masuk, tersenyum geli melihat tingkah kikuk Jerry saat harus menguntit guru yang masuk ke dalam kelas. Rambutnya dan sedikit bagian depan bajunya tampak basah terkena rintik hujan. Jerry membalas senyum itu malu-malu. Dan saat dia sudah berdiri di tempat duduknya untuk melakukan penghormatan pagi, mereka masih saling lirik.

Hidung mapetnya cukup mengganggunya. Dan yang membuatnya jengkel, ini sudah dari tadi malam. Wennendy yang sebelumnya dikeluhkan tidak datang beberapa hari, malah diharap sakit benaran supaya Julia bisa tetap duduk di tempatnya. Setelah pengalaman sehari yang begitu menyenangkan, Jerry semakin tak bisa mengalihkan pandangan darinya.

Hujan pun tampak enggan berhenti meski jam istirahat sudah berbunyi. Banyak murid diam meringkuk di dalam kelas. Tidak ada yang berjejar di lorong kelas seperti yang biasa mereka lakukan di saat jam istirahat. Paling, beberapa murid menyisip keluar untuk sekedar ke wc. Suara ribut murid di dalam kelas terdengar seperti beradu dengan berisiknya hujan. Yang satu terputus-putus, yang satu lagi terus berkelanjutan. Karena memang hujan deras terus mengguyur, dan suara orang bicara terbatas sesuai tarikan napas. Sebagian lagi hanya duduk atau tidur di tengah-tengah suasana kelas yang galau.

Julia berada di tempat duduknya. Dengan Lini yang tampak senang menemaninya. Hujan ternyata mengurungkan niat murid-murid dari lain kelas untuk mengunjunginya. Dan entah kenapa, ini membuat Jerry gembira. Meskipun dia tidak berani menyapanya di tengah-tengah teman sekelasnya, dia masih terhibur karena Julia sesekali berpaling dan tersenyum padanya.

Wennendy, Wandy dan Hendrik menelungkupkan kepala di atas meja. Entah sedang tidur atau menghayal yang tidak-tidak. Hanya Andre yang tampak tidak tenang. Dia belum sarapan pagi ini. Dan, menurutnya hujan sialan ini telah mengganggu jadwal sarapannya. Jerry hanya bisa tersenyum menanggapi keluhan Andre. Lama-lama dia bosan dan menyandarkan kepalanya di atas lengannya. Pandangannya terjaga ke arah Julia. Merekam gambar Julia dari posisi belakang. Untuk siap selalu tersenyum bila sewaktu-waktu Julia menoleh ke arahnya.

Seorang guru masuk ke kelas tak lama setelah bel tanda masuk berselang. Dan siang itu, seluruh murid di dalam kelas terlihat lesu. Gurunya punya tampak kurang bersemangat. Suaranya menerangkan pelajaran tidak bisa ditangkap dengan baik akibat suara hujan yang tak mau mengalah. Hampir sepanjang jam perjalanan mereka habiskan dengan mencatat di papan tulis.

Hujan baru benar-benar berhenti sekitar setengah dua belas siang. Jerry mulai merasa panas tubuhnya meningkat dan semakin lemas. Hidungnya mulai dipenuhi lendir-lendir kental dan membuatnya tersiksa saat bernapas. Terkadang terikut keluar saat dia menghembuskan napas. Tepat pukul dua belas dan bel istirahat kedua berbunyi. Kali ini tanpa kompromi lagi seluruh murid di dalam kelas berhamburan keluar. Lini pun segera keluar bersama Julia. Jerry perlahan beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah wc, di mana banyak murid-murid yang berdiri menghadap ke arah laut. Jerry melihat sekilas ke arah kantin. Penuh luar biasa. Rupanya banyak murid yang melampiaskan hasrat jajan mereka akibat tertahan hujan pada istirahat pertama tadi. Jerry masuk ke dalam wc setelah seorang murid perempuan keluar. Senior kelas tiga. Tatapan murid perempuan itu seperti tampak kesal. Mungkin dalam pikirannya murid itu berkata, 'tak bisa baca ya di atas pintu ditulis wc perempuan?'. Jerry menutup pintu wc dan sekuat tenaga membuang hingus dari hidungnya. Setelah lendir pekat berwarna kehijau-hijauan itu keluar dari hidungnya, Jerrry merasa lebih lega. Tapi badannya tetap saja lemas.

Jerry menemukan Adrian di antara murid-murid yang sedang menatap laut. Adrian memperlihatkan senyum khasnya begitu menyadari keberadaan Jerry.

"Ehem-ehem! Kemarin sepertinya kau begitu berbunga-bunga. Kata Lini hampir sepagian kalian ...."

Sttt! Jerry tiba-tiba menempelkan jari telunjuknya di bibir. Mencegah Adrian berkata lebih lanjut.

"Oh ...!" sahut Adrian mengerti.

Mereka kemudian hanya tersenyum saja. Memang harus hati-hati kalau mau bicara. Sekolah ini, bahkan kota ini terkenal sebagai kota gosip. Bukannya kenapa, kota sekecil ini, informasi akan tersebar seratus kali lebih cepat dibandingkan kota-kota besar. Apalagi penduduk di kota ini kurang kerjaan, kurang hiburan. Makanya membicarakan orang menjadi kebiasaan.

Tiba-tiba muncul dua orang murid berkejaran. Satu murid laki-laki dan satu murid perempuan. Entah karena persoalan apa. Biasanya murid laki-laki suka mengusili murid perempuan yang juga kebetulan keras kepala. Ups! Suara jatuh terjengkang murid laki-laki menarik perhatian dan menimbulkan gelak tawa murid-murid yang menyaksikannya. Jauh dari simpatik, murid perempuan itu malah memaki-maki meski murid laki-laki itu sudah jatuh tak berdaya. Bajunya kotor karena becek yang ditimbulkan hujan belum lama ini. Wajahnya memerah menahan malu akibat ledakan tawa teman-temannya. Hujan memang sudah berhenti. Tapi cereboh betul mereka berlari. Berjalan saja mungkin bisa terpeleset menginjak genangan air. Jerry dan Adrian turut tertawa menyaksikan kejadian barusan. Tapi tidak mengakak dan mengentak-ngentakkan kaki seperti beberapa orang yang sengaja mengekor kedua murid itu dari dalam kelas.

Beberapa murid perempuan naik ke atas. Julia bersama mereka. Tidak mengherankan kalau dia dekat dengan Lini. Tapi, dengan Vera dan Melvi dan Yenni? Sejak kapan? Memang Lini dekat dengan kedua gadis kasar itu, juga satu lagi gadis genit dan manjanya luar biasa. Apakah Julia juga ikut-ikutan jadi akrab?

Kertas-kertas putih berada dalam genggaman tangan Vera. Rupanya hasil ujian minggu lalu. Jerry berjalan diikuti Adrian menuju tempat yang mulai dikerumuni murid-murid lainnya.

"Punyaku mana?"

"Sabar!"

"Tunggu, oiii!"

Ternyata pengambilan kertas ujian berjalan barbar. Mereka berdesakan. Beberapa orang dibelakang Jerry mendorongnya. Ups! Dia hilang keseimbangan karena genangan air dibawah kakinya. Murid-murid di sekitarnya ikut limbung dan segera memisah. Sebagian ada yang jatuh terjerembab. Tangan Jerry sendiri bergerak liar dan cepat menerobos keras-kertas putih dalam genggaman Vera. Kyut! Rasa hangat menjalari tangannya. Dia hampir jatuh kalau saja tak ada yang menahannya. Tapi, apa itu yang dipegangnya barusan? Kenyal? Lembut? Astaga! Wajah Vera sungguh tidak enak dilihat. Dan Jerry tahu apa yang terjadi.

"Dasar babi kurang ajar! Cari kesempatan pegang-pegang. Anjing! Najis!"

Suhu tubuh Jerry tiba-tiba melonjak lebih tinggi. Saat ini tubuhnya memang lemas, tapi suaranya tidak. Dia meludahi tangannya sendiri.

"Puih! Siapa yang mau pegang-pegang. Bisa sial selamanya tahu! Lagi pula, siapa suruh kau sok ikut campur bagikan kertas ujian yang bukan urusan kau?"

Kerutan di dahi Vera bertambah satu garis. Membuatnya semakin buruk rupa. Dia mencampakkan kertas itu ke samping. Lalu berlari masuk ke kelasnya di sebelah. Di belakangnya mengekor Melvi dan Yenni seperti pengawal yang selalu mengikutinya. Murid yang lain tampak menggerutu karena tingkah Vera yang seenaknya. Memang benar kata Jerry, kenapa dia mengurus pembagian hasil ujian kelas lain yang bukan urusannya. Seharusnya Lini yang datang bersamanya yang membagikannya. Lini jadi merasa tak enak karenanya. Kejadian ini benar-benar buruk. Adrian segera menarik Jerry.

"Kenapa kau meladeninya? Masa kau tak tahu dia seperti apa?"

Jerry terdiam. Matanya tampak dipejam erat-erat, begitu dipaksakan. Dia terdiam selama beberapa saat. Lalu bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Dan dia berjalan dengan letih ke dalam kelasnya. Dia berusaha menyusup di antara murid-murid lain, agar tak terlihat Julia.

****

Suara tangisnya kecil. Lebih mirip isakan. Tubuhnya bergetar dari tadi. Dan ini, sebenarnya tidak membuat guru Matematika, Pak Sihotang peduli. Hanya saja, dia jadi sulit mengajar. Apalagi usianya yang sudah memasuki kepala enam, sungguh suara isakan ini begitu mengusik telinga.

"Kenapa kau ini? Melvi, kenapa dia?"

Beberapa murid ikut menajamkan pendengaran mereka saat Melvi menjelaskan kepada guru itu. Kebanyakan dari mereka memang tidak tahu secara jelas, kenapa Vera, gadis yang begitu keras kepala, pemarah dan kasar seperti dia bisa menangis begitu menyedihkan.

Pak Sihotang kembali melirik ke arah Vera, lalu katanya,"Pergilah urus masalahmu di kantor BP. Melvi, kau temani dia."

Adrian menghela napas saat kedua teman sekelasnya itu berjalan keluar kelas. Dia sempat melihat wajah Vera yang memerah karena tangis. Meski tertutup kertas tissue yang sedari tadi digenggamnya, Adrian tahu, wajahnya benar-benar menyedihkan. Entah dia harus memuji Jerry atau bagaimana. Selama ini, gadis yang menurut mereka berdua -bahkan mungkin banyak murid lainnya- kasar dan tak terbantahkan dalam segala hal, akhirnya menangis begitu menyedihkan.

Seluruh kelas terdiam saat terdengar suara ketukan pada pintu. Melvi dengan senyum dibuat-buat segera masuk ke dalam begitu dipersilahkan Pak Saragih, guru mata pelajaran fisika.

"Jerry, kau disuruh ke ruang BP. Kalau sudah selesai, cepat masuk. Jangan pula kau main-main lagi," ujar guru itu setelah mendengar sesuatu dari Melvi.

Bukunya terjatuh saat palang kayu mejanya terangkat. Beberapa murid mulai berbisik karenanya. Bahkan saat dia berjalan keluar pun, suara bisikan itu masih terdengar di telinganya. Dia tidak tahu bagaimana reaksi Julia. Sebisa mungkin dia menghindari tatapannya.

Jalan di sepanjang kelas sepi melompong. Jerry menuruni tangga dan melewati beberapa kelas yang mulai lesu karena sekarang hampir jam setengah satu. Jam di mana rasa lelah dan mungkin malas terakumulasi jadi satu. Dia berjalan beberapa langkah menyeberang dari gedung sekolah menuju bangunan di sebelahnya. Ruang guru juga tampak sepi. Beberapa yang ada tampak sibuk dengan tumpukan tugas yang belum dinilai. Jerry membelok ke kiri dan mengetuk pintunya dua kali.

"Masuk!"

Jerry berjalan masuk sementara Melvi keluar. Kilatan mata Melvi menunjukkan kalau dia menyalahkan Jerry. Tapi Jerry tak peduli. Dia menyadari tubuh Vera yang masih tampak bergetar. Masih terisak. Tapi suaranya sangat kecil. Dia juga sempat melihat wajahnya yang kini memerah. Mungkin kelopak matanya juga bertambah tebal. Bengkak karena kebanyakan mengeluarkan air mata. Dan itu membuatnya merasa sedikit bersalah.

"Duduklah."

Dia pun duduk. Dan ajaib, suara isakan Vera seperti menguap entah kemana. Hanya tersisa suara dia menarik, atau mungkin, mengeluarkan hingusnya.

"Kamu ini ...," ujar guru itu kemudian. Dia memperhatikan Vera sebentar lalu melanjutkan, "Lihat, dari tadi dia menangis terus. Kenapa jadi laki-laki tidak bisa mengalah."

Jerry masih tertunduk. Sedikit malu, juga sedikit merasa bersalah. Dia juga merasa, tubuhnya lemah sekali. Jadi dia tidak berniat menjawab pertanyaan guru yang kini berada tepat di depannya.

"Kenapa kamu bisa berkata sekasar itu?"

"Aku tak bermaksud begitu. Tapi dia yang memulainya."

"Tunggu dulu. Maksudmu dia berkata kasar?"

Jerry tidak menjawab. Tapi dia menganggukkan kepalanya dengan penuh kemantapan.

"Memangnya apa yang dia katakan?"

"Tidak pantas saya ulangi di depan Ibu. Dan seharusnya kami tidak saling bicara kasar seperti itu."

"Pintar sekali kamu bicara. Seharusnya kamu ingat kata-katamu ini sewaktu kamu membentaknya tadi ...."

"Maaf, bu. Tapi saya tidak membentaknya.."

"Kamu..., masih banyak bicara. Jadi, kamu sebenarnya merasa bersalah atau tidak?"

"Bersalah. Sedikit ...."

Terasa betul Jerry ini keras kepala. Ibu Kartini, guru BP yang kini di hadapannya dibuat menghela napas berulang kali. Dia menatap Jerry begitu lama, kemudian kepada Vera. Cukup lama juga dia menimbang-nimbang.

"Kamu memang jarang buat masalah. Karena itu, Ibu tidak akan menghukummu. Tapi, apakah kamu tahu perbuatanmu sudah keterlaluan? Apa kamu tidak menyesal membuat teman kamu menangis?"

"Saya tahu saya keterlaluan. Dan saya tidak mengira dia akan menangis."

"Wajar kan dia menangis. Gadis mana coba yang tidak terpukul dengan kata-kata seperti itu?"

'Kata-kata seperti itu' apa maksudnya? Tiba-tiba Jerry teringat pada Melvi. Bumbu apa yang sudah dia masukkan dalam ceritanya? Memang, kata-katanya kasar. Tapi, apa tidak mungkin Melvi membuatnya terdengar lebih kasar lagi? Bukankah seperti gadis di sebelahnya kini, Melvi juga sangat vulgar dengan kata-kata? Tapi meski banyak pertanyaan di kepalanya, Jerry hanya bisa mengangguk dan menyetujui perkataan guru di depannya. Dia, selain berharap urusan ini cepat selesai, juga memang merasa bersalah. Entah kenapa, dan ini aneh. Duduk begitu dekat dengan Vera, dia baru menyadarinya sebagai seorang perempuan. Pewangi badan yang dikenakannya membuat perasaannya sedikit melunak. Meski tengah hari begini, wangi yang dihirupnya masih begitu segar. Hal ini juga yang membuatnya heran. Kenapa teman-teman sesama laki-lakinya punya bau yang begitu parah menjelang siang?

"Sekarang kalian salaman dan saling minta maaf. Ayo cepat!" ujar bu Kartini kemudian.

"Maaf ya ...," ujar Jerry mengulurkan tangannya.

"Aku juga ...."

Suara Vera begitu pelan. Hingga Jerry ragu apakah dia benar-benar minta maaf atau hanya pura-pura saja. Tapi Jerry begitu terkejut untuk bereaksi saat Vera menatapnya. Tampak garis kemerahan di kelopak matanya. Tapi, tatapan itu sulit dijelaskan maknanya. Yang jelas, tidak ada kesan marah atau benci yang terpantul di sana. Karena itu, Jerry menjadi semakin merasa bersalah.

Mereka berjalan keluar dari ruang itu beriringan. Dan segera saja mereka akan terpisah karena letak tangga yang berlawanan.

"Jangan menangis lagi. Aku benar-benar minta maaf ...."

Vera tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan. Tatapannya kembali membuat Jerry kebingungan dan dengan langkah perlahan berjalan menuju tangga laki-laki.

Seluruh mata tertuju pada Jerry saat mengetuk pintu kelas. Seolah dia bintang film tenar yang entah karena suatu hal, tersesat di sekolah mereka. Begitu dia duduk di kursinya, dia merasakan suatu kediaman yang aneh. Seolah bicara atau mungkin bisikan menjadi hal terlarang di kelas ini. Julia mungkin menyalahkannya. Atau mungkin dia malah membencinya. Sudah lama dia melihat ke arah gadis itu. Tapi, tidak seperti biasanya, Julia tidak menoleh-noleh padanya. Dia merasa napasnya semakin berat. Hangat seperti hidungnya sedang mimisan. Dan merasa letih seluruh tubuhnya. Bel pelajaran berikutnya sekaligus pelajaran terakhir berbunyi. Jerry merasa seluruh tubuhnya begitu payah. Begitu lunglai dan tak bertenaga.

****

Panas, seru Jerry pada dirinya sendiri. Entah alasan apa dia di sini. Berdiri seorang diri menghormat bendera merah putih yang berkibar tanpa gairah karena angin yang mungkin malas berembus di cuaca seterik ini. Apa ya kesalahannya kini? Dia benar-benar tidak ingat penyebabnya. Ehm, apakah hari ini hari Senin dan dia terlambat datang ikut upacara bendera? Entahlah, dia tidak jelas juga. Tapi, dia berada di sini sekarang. Kepanasan dengan peluh di dahi dan punggungnya. Beberapa murid berlari tampak mendekat ke arahnya dan menjauh lagi. Mereka menuju kantin yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Aduh, sungguh bikin iri hati. Belum lagi tangan ini mulai pegal sekarang. Dia mulai melirik-lirik ada atau tidak guru yang mengawasi. Tidak ada. Dia pun menurunkan tangannya. Dan, Julia terlihat berjalan dengan murid lainnya. Aneh, wajah murid yang lain buram, tak jelas terlihat mata. Tiba-tiba dia dikejutkan sebuah suara. Menyuruhnya tetap menghormat. Dia menoleh dan .... Astaga! Itu Vera. Tapi kenapa dia memakai pakaian guru? Keringatnya kini membasahi sekujur tubuh.

"Jer..., bangun Jer ...."

Wajah orang di depannya tampak kabur pada mulanya. Baru setelah dia membuka mata sepenuhnya, dia tahu Ibunya kini mencemaskannya.

"Kamu sakit, Jer. Mama bantu kamu pindah ke kamar ya?"

Jerry tidak mengangguk atau menjawab. Dia hanya menurut saja saat Ibunya memapah tubuhnya. Willy ikut membantu saat dia melihat Ibunya kewalahan. Dia masih ingat saat kecil dulu. Ibunya dengan gampang bisa menggendongnya ke dalam kamar sadar dia tertidur menonton tv. Tapi kini, tubuhnya yang membesar sangat sulit diurus. Dia sendiri merasa payah. Rasanya tak ada energi yang mengaliri tubuhnya. Lemas tak berdaya.

Ibunya terengah-engah setelah berhasil membaringkan dirinya di atas ranjang. Willy menyeka keringat yang tidak seberapa di dahinya dengan lengan bajunya.

"Kamu jangan banyak bergerak dulu. Mama ambil obat dulu."

Willy masih tetap di dalam ruangan saat Ibunya berlalu. Dia tidak berkata apa-apa menyaksikan Jerry yang tampak tak berdaya di depannya. Kemudian dia keluar juga. Tak tahu mau berbuat apa.

Masih tak sadar sepenuhnya, Jerry menarik napasnya yang terasa begitu berat. Lampu kamar yang menyala beberapa saat yang lalu sedikit menyilaukan matanya yang sulit terbuka sepenuhnya. Sekarang sudah jam enam lebih. Langit masih cukup terang di luar. Tubuhnya terasa lengket-lengket karena dari siang belum mandi. Seragamnya yang basah karena keringat beberapa menit yang lalu mulai terasa sedikit dingin sekarang ini. Dia menoleh saat Ibunya masuk dengan nampan di tangannya. Segelas air putih dan beberapa tablet obat bersama semangkuk bubur. Rasanya semua makanan yang masuk ke mulutnya memiliki rasa yang aneh. Begitu sulit masuk ke tenggorokannya. Bahkan saat di dalam perut pun, rasa-rasanya masih ingin menghambur keluar. Jerry mengunyah hingga mulutnya tampak penuh dan menggembung.

"Cepat habiskan buburnya. Sudah itu minum obatnya." Berkata begitu, Ibunya segera menuju lemari pakaiannya. Mengeluarkan pakaian tidur dan meletakkannya di pinggir ranjang. Entah sendok yang ke berapa, tapi Jerry sudah menolak memasukkan bubur itu ke mulutnya lagi. Dan bubur itu tampak tak berkurang sedikit pun. Dia terburu-buru meraih gelas berisi air putih. Menegaknya untuk mendorong bubur di mulutnya masuk melalui tenggorokan. Ibunya diam saja melihat Jerry. Namun wajahnya tampak khawatir sekali. Dia segera menyerahkan dua tablet obat dan segera ditelan Jerry.

"Pahit!" ujar Jerry menjulurkan lidahnya keluar

"Mana ada obat manjur yang manis. Ayo, ganti bajumu."

Baju seragamnya sudah begitu kusut. Warnanya pun tidak benar-benar putih lagi. Ibunya menggulung pakaian kotor Jerry dan dibawanya keluar bersama nampan makanan tadi.

Jerry berbaring sendiri lagi. AC sudah dinyalakan dan dia tidak merasa kepanasan seperti tadi. Pikirannya masih melayang-layang. Entah apa yang ada dipikirannya, dia sendiri juga kurang mengerti. Hawa dingin yang keluar dari mesin pendingin di kamarnya menetralisir napas yang dirasakannya panas sejak tadi siang. Perlahan dia mulai memejamkan mata. Lama. Kesadaran dan alam khayalnya tampaknya menghilang pergi. Dia tertidur beberapa saat.

Jerry mendadak terbangun dan merasa perutnya tidak enak sekali. Di dalam seperti memberontak. Sedikit perih dan menendang-nendang. Tiba-tiba dia merasakan suatu tekanan luar biasa dari dalam. Bergegas dia mendobrak pintu kamar mandi hingga terbuka. Dan cairan kekuningan menghambur dari mulutnya. Huek! Suaranya tampak menderita sekali. Willy kini berdiri di depan kamarnya dan menatap dalam diam. Lalu dia segera lari turun ke bawah. Setelah muntah, Jerry merasa lebih lega. Perutnya sudah tidak menendang-nendang seperti tadi. Ibunya kemudian masuk ke dalam kamarnya bersama Willy.

"Kamu muntah? Sudah lebih baik sekarang?"

Jerry hanya mengangguk pelan. Dia masih lemas dan ingin tidur lagi. Ibunya segera keluar, dan tak lama kemudian masuk lagi ke kamarnya dengan segelas susu hangat. Jerry meneguk susu itu sedikit. Ibunya terus mendesak agar dia segera menghabiskannya. Tapi, ternyata butuh bermenit-menit untuk mengosongkan gelas itu.

Begitu Ibunya keluar dari kamarnya, dia memejamkan matanya kembali. Tak lama kemudian dia tertidur lagi. Dengan wajah penuh kelelahan. Dan keringat di dahinya perlahan bermunculan.

Bersambung ke: Perasaaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun