Suara Vera begitu pelan. Hingga Jerry ragu apakah dia benar-benar minta maaf atau hanya pura-pura saja. Tapi Jerry begitu terkejut untuk bereaksi saat Vera menatapnya. Tampak garis kemerahan di kelopak matanya. Tapi, tatapan itu sulit dijelaskan maknanya. Yang jelas, tidak ada kesan marah atau benci yang terpantul di sana. Karena itu, Jerry menjadi semakin merasa bersalah.
Mereka berjalan keluar dari ruang itu beriringan. Dan segera saja mereka akan terpisah karena letak tangga yang berlawanan.
"Jangan menangis lagi. Aku benar-benar minta maaf ...."
Vera tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan. Tatapannya kembali membuat Jerry kebingungan dan dengan langkah perlahan berjalan menuju tangga laki-laki.
Seluruh mata tertuju pada Jerry saat mengetuk pintu kelas. Seolah dia bintang film tenar yang entah karena suatu hal, tersesat di sekolah mereka. Begitu dia duduk di kursinya, dia merasakan suatu kediaman yang aneh. Seolah bicara atau mungkin bisikan menjadi hal terlarang di kelas ini. Julia mungkin menyalahkannya. Atau mungkin dia malah membencinya. Sudah lama dia melihat ke arah gadis itu. Tapi, tidak seperti biasanya, Julia tidak menoleh-noleh padanya. Dia merasa napasnya semakin berat. Hangat seperti hidungnya sedang mimisan. Dan merasa letih seluruh tubuhnya. Bel pelajaran berikutnya sekaligus pelajaran terakhir berbunyi. Jerry merasa seluruh tubuhnya begitu payah. Begitu lunglai dan tak bertenaga.
****
Panas, seru Jerry pada dirinya sendiri. Entah alasan apa dia di sini. Berdiri seorang diri menghormat bendera merah putih yang berkibar tanpa gairah karena angin yang mungkin malas berembus di cuaca seterik ini. Apa ya kesalahannya kini? Dia benar-benar tidak ingat penyebabnya. Ehm, apakah hari ini hari Senin dan dia terlambat datang ikut upacara bendera? Entahlah, dia tidak jelas juga. Tapi, dia berada di sini sekarang. Kepanasan dengan peluh di dahi dan punggungnya. Beberapa murid berlari tampak mendekat ke arahnya dan menjauh lagi. Mereka menuju kantin yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Aduh, sungguh bikin iri hati. Belum lagi tangan ini mulai pegal sekarang. Dia mulai melirik-lirik ada atau tidak guru yang mengawasi. Tidak ada. Dia pun menurunkan tangannya. Dan, Julia terlihat berjalan dengan murid lainnya. Aneh, wajah murid yang lain buram, tak jelas terlihat mata. Tiba-tiba dia dikejutkan sebuah suara. Menyuruhnya tetap menghormat. Dia menoleh dan .... Astaga! Itu Vera. Tapi kenapa dia memakai pakaian guru? Keringatnya kini membasahi sekujur tubuh.
"Jer..., bangun Jer ...."
Wajah orang di depannya tampak kabur pada mulanya. Baru setelah dia membuka mata sepenuhnya, dia tahu Ibunya kini mencemaskannya.
"Kamu sakit, Jer. Mama bantu kamu pindah ke kamar ya?"
Jerry tidak mengangguk atau menjawab. Dia hanya menurut saja saat Ibunya memapah tubuhnya. Willy ikut membantu saat dia melihat Ibunya kewalahan. Dia masih ingat saat kecil dulu. Ibunya dengan gampang bisa menggendongnya ke dalam kamar sadar dia tertidur menonton tv. Tapi kini, tubuhnya yang membesar sangat sulit diurus. Dia sendiri merasa payah. Rasanya tak ada energi yang mengaliri tubuhnya. Lemas tak berdaya.