Suasana sedikit mereda setelah kedatangan sup itu. Mereka makan bersama-sama.
Setelah makan. Ayahnya menasehati kedua putrinya dengan membolehkan mereka mengerjakan yang mereka suka, tetapi dia juga mengingatkan kalau yang mereka hadapi setelah ini bukan Ayah mereka seorang, tetapi dunia yang lebih kejam dari kelihatannya. Ayah Ersa dan Risa hanya bisa berharap mereka tak terlena atau bahkan tertipu karena dia tak bisa selamanya mengawasi mereka.
“Memang Papa bisa apa, Aku lulus sabuk hitam lho pa!” Jawab Ersa terlalu percaya diri.
“Dasar kau!” Ayah Ersa tahu kalau keterampilan bela dirinya kalah dibanding Ersa yang lulus sabuk hitam tetapi tetap mengingatkan kalau diluar sana ayah Ersa merasa masih banyak yang lebih hebat dari Ersa, kata pepatah, diatas langit masih ada langit.
“Bagaimana kalau mereka kuhajar Pa? Puas belum??”
“Eh, e e ya jangan dihajar semua nak, populasi cowok semakin sedikit nanti malah makin memprihatinkan bagaimana? Lagipula kamu juga belum benar-benar tahu kan cowok yang benar-benar cowok itu seperti apa?”
“Seperti apa Pa?”
Papa Ersa seraya membusungkan dada dan menepuk-nepuk dadanya sendiri. Hal itu disambut tawa oleh lainnya. Suasana keluarga menjadi cair setelah itu, gurauan-gurauan mewarnai dan keluarga itu mencapai ketentramannya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H