ditulis untuk diri sendiri
      Sesuatu telah mengubahnya.
Ryshaka tahu itu lima menit setelah gadis itu menyibak penutup hoodie yang dikenakannya, lalu menatap Ryshaka dengan pandangan terkejut. Ryshaka juga. bertemu kembali dengan seseorang---sebut saja teman lama---setelah hampir lima tahun bukanlah sesuatu yang bisa disikapinya dengan mudah.Â
Terlebih karena mereka bertemu di bangku kereta, menuju pulang. Laki-laki dua puluh tiga tahun itu awalnya, bahkan merasa kesulitan untuk mengangkat tangan dan menyapa.
Tidak sebelum tatapan terkejut itu berubah cengiran kikuk. "Kebetulan banget ya, kita ketemu di sini," katanya. Kental dengan nada basa-basi.
Namanya, Renjana.
Entah bagaimana awal Ryshaka mengenalnya. Pria itu lupa. Dia hanya ingat Renjana pernah satu sekolah dengannya, di saat dia berada di tahun terakhir sedangkan gadis itu baru masuk sebagai siswa baru. Pertemuan mereka tak lama. Namun, gadis itu terlalu kentara dan mudah dibaca.
Renjana tentu bukan pusat dunia. Dia tidak populer. Tidak juga siswa tercantik atau terpintar. Alih-alih terlihat, Ryshaka malah kerap menemukannya di tempat-tempat tersembunyi---pojok perpustakaan dan balkon lantai dua, misalnya. Dia jarang bicara. Hampir tak pernah bicara jika tidak diajak bicara. Yang paling Ryshaka ingat tentangnya hanyalah iris cokelat dengan sorot tegas, kontras dengan wajah yang seolah tak mengenal dunia itu.
Berangkat dari sana, Ryshaka beberapa kali bersinggungan dengannya. Ryshaka bahkan menemukan id sosial medianya dan terlibat percakapan dengannya---meski tak seberapa, setidaknya Ryshaka memiliki gambaran tentangnya.
Dan, di ingatan Ryshaka masih tertinggal Renjana yang lama. Renjana yang manis dengan sorot matanya. Renjana yang tak banyak bicara, tetapi tak pernah sungkan menebar senyumnya. Barangkali, karena itulah Ryshaka merasa sesuatu telah mengubah Renjana.Â
Tidak ada sorot yang seolah mengatakan "aku-ingin-melihat-dunia-lebih-luas". Tidak ada senyuman ramah. Sorot matanya berubah jadi sebait kata "aku-benci-dunia-dan-seisinya". Bosan, jengah, seolah jika bunuh diri tidak ditentang agama, dia akan melakukannya.
Usai basa-basi menyapa, gadis itu kembali memasang penutup hoodienya, menyumpal telinga dengan headphone sebelum menyandarkan kepala ke arah jendela kereta. Padahal selain gelap, tidak ada yang menarik dari pemandangan kereta di malam hari---kecuali gadis itu ingin melihat pantulan wajahnya sendiri.
"Nana." Ryshaka memanggil. Renjana menoleh. Dalam hati, Ryshaka berdecak girang. Volume dari ponselnya pasti kelewat rendah.
"Bagaimana kabar kekasihmu?" tanyanya. Itu pertanyaan paling tidak sopan yang pernah dia utarakan, terlebih mereka baru bertemu kembali setelah sekian lama.
Renjana menjauhkan kepala dari jendela. Melepas headphone-nya dengan kening berkerut. Wajah Renjana yang lama terlihat. "Apa wajahku tampak seperti orang yang punya kekasih?"
Sontak, Ryshaka tergelak. Tidak sulit tetap menjadi dirinya di depan Renjana. Meski lama tak bertemu, beberapa kali Ryshaka masih menanyakan kabarnya via sosial media. Lalu, agak mustahil memang jika pertanyaan yang dilempar pada gadis itu akan kembali dalam bentuk jawaban. Selalunya akan kembali dengan bentuk pertanyaan baru.
"Entahlah," sahut Ryshaka sekenanya. Pria itu menaikkan kacamatanya yang melorot. "Aku hanya penasaran. Apa si bodoh masih berhasil membuat si penipu jatuh hati atau tidak?"
Renjana berdecak. Gambaran lama dirinya lenyap. Sorot matanya kembali ke mode "aku-benci-dunia-dan-seisinya". "Nama penipu terlalu baik untuknya," sahutnya bergumam.
"Apa dia sejahat itu? Selain menduakanmu, memangnya apa yang dia lakukan?" Ryshaka menggali lebih dalam, penasaran.
"Kalau kau sangat ingin tahu jawabannya, temui temanmu itu dan tanya." Renjana berujar ketus, bersidekap dengan tatapan jengah. Dalam hati, Ryshaka membenarkan. Sesuatu telah mengubahnya, dan hanya ada satu tersangka yang terpikirkannya---setidaknya itu yang Ryshaka tahu.
"Baiklah, lupakan!" kata pria itu. Dia mengikuti pandangan Renjana, luar jendela yang gelap dengan satu dua cahaya mungil. "Suatu saat, laramu akan sembuh, Nana. Kau akan bertemu dengan laki-laki yang cintanya lebih besar darimu."
Meski tak banyak, Ryshaka tahu kisah cintanya yang tak seberapa pelik---tetapi barangkali, luka yang disisakannya teramat dalam. Tak hanya dari cerita-cerita Renjana via telepon, Ryshaka juga mendengarnya dari teman-temannya semasa sekolah.
"Aku tidak ingin berharap banyak," sahut gadis itu. Dilepaskannya tatapannya dari jendela, lalu diarahkan pada Ryshaka sepenuhnya. Selain sorot matanya, Ryshaka juga baru menyadari garis wajahnya yang mendewasa.
      "Kau benci pria?"
      "Tidak."
      "Lalu apa kau benci cinta?"
      "Tidak juga."
      "Lalu?"
      "Aku tidak benci keduanya. Aku hanya tidak percaya bisa dicintai oleh pria."
      Meski cerita yang ditawarkan Renjana tidak mengandung lelucon, Ryshaka tertawa. "Jangan berpikir sesempit itu. Kau tidak pernah tahu ke mana hatimu akan membawamu, Nana."
      "Aku tahu. Tapi sialnya, sejauh ini, ke jalan mana pun aku dibawanya, aku selalu tersesat."
      "Dan terluka?"
      "Memangnya apa kabar yang lebih baik dari itu?"
Ryshaka tertawa pendek. "Kalau begitu, belajar sajalah! Kau harus mengejar gelar sarjanamu."
Renjana tak menyahut. Ryshaka mengunci mata di pandangan gadis itu, mengikutinya. Melihat pria tambun yang duduk di kursi sebelah mereka tengah tertidur pulas sembari mendengkur, juga balita di bangku depannya yang memencet-mencet perut pria itu sembari terkekeh geli. Tidak ada ekspresi berarti di wajah Renjana. Padahal dalam ingatan Ryshaka, Renjana yang lama akan tersenyum geli melihat momen sederhana itu.
Sesuatu benar-benar telah mengubahnya.
"Kurasa ada banyak hal yang tidak kau percayai lagi di dunia ini, Nana," celetuk Ryshaka. Renjana mengangguk tanpa menatapnya.
"Ada banyak sekali," katanya bergumam. Usai melepaskan pandangannya dari pria tambun dan balita di sebelah mereka, gadis itu melepas sepatunya, lalu duduk bersila di bangku kereta yang tak seberapa luas.
Ryshaka masih jadi pengamat setianya. Menggali-gali ingatan masa lampau sembari membandingkannya dengan sosok yang ada di depannya. Benar-benar berubah. Bukan garis wajahnya yang mendewasa, tetapi tulang pipinya yang menonjol. Urat-urat tangannya menyembul, kontras dengan warna kulitnya yang pucat dan rapuh. Lalu, saat Ryshaka menatap wajahnya lagi, pria itu sulit menemukan adanya nyawa di sana.
Ryshaka berdehem. Mendadak merasa ada atmosfir sendu di atas kepala Renjana yang tengah mengintainya---melarang Ryshaka untuk tertawa lagi. "Di antara banyak hal yang sudah tidak kau percaya, apa yang masih kau percaya."
      "Rasa sup buatan Ibuku, kue mata ikannya, telur dadar di pagi hari, dan... suaranya. Aku masih percaya semua itu tidak akan berubah. Ah, ya, aku juga masih percaya Tuhan dan diriku."
      "Itu berarti kau tidak terluka sebanyak itu."
      "Luka tidak boleh diukur dari kuantitas atau kualitas lukanya, tapi dari kuantitas dan kualitas hati penerimanya," sahutnya terlalu cepat. Kentara sekali tidak terima.
      "Baiklah. Kalau begitu, percayalah padaku."
      "Untuk apa?"
"Aku masih ingat mimpi-mimpimu yang kau ceritakan. Kalaupun aku tidak ada, percayalah dukunganku selalu ada. Aku mungkin tidak punya sesuatu yang bisa mengantarkannya padamu, tapi aku punya doa. Itu saja cukup, bukan?"
Renjana mengangguk. Gadis itu menggumamkan terima kasih sebelum merapat kembali ke arah jendela. Matanya terpejam. Namun, Ryshaka tak terima. Terlalu dini untuk mengakhiri percakapan mereka, setelah selama ini mereka hanya bisa mengobrol via telepon. Lagipula, mereka bahkan belum menempuh seperempat perjalanan.
      Maka,
      "Nana." Ryshaka memanggilnya lagi.
      Gadis itu membuka matanya. "Ada apa?" tanyanya.
      "Apa sup buatan Ibumu yang membawamu pulang?"
Sayangnya, pertanyaan itu tidak dijawab. Renjana hanya menatapnya kosong, lalu memejam kembali. Tepat di seperempat perjalanan, Ryshaka melihat gerak bahunya yang teratur. Dia tertidur. Maka sisa perjalanan pulang itu dihabiskan Ryshaka untuk mengikuti Renjana, berbaur dengan mimpi.
      ***
Hampir tengah malam, kereta tiba di stasiun terakhir. Isinya telah menyepi, dan Nana masih bergelut dengan mimpi. Pulas sekali. Ryshaka yakin, jika dia tidak menepuk bahu gadis itu dan menyeru namanya, mungkin dia tidak akan terbangun hingga kereta kembali ke stasiun awal.
      "Mimpimu sudah sampai mana?" ledek Ryshaka begitu gadis itu membuka mata. Gerbong yang ditempati mereka benar-benar sudah kosong.
      "Hampir tercapai," sahut Renjana sembari mencangklongkan ransel abunya. "Kalau saja kamu tidak membangunkanku. Tapi ya, terima kasih sudah membangunkanku."
Renjana berjalan lebih dulu. Harus Ryshaka akui, kemampuan tidurnya cukup layak diapresiasi, apalagi di dalam kereta. Sementara Renjana sudah mendahuluinya, Ryshaka terpaku pada lipatan kertas di tempat duduk Renjana. Tulisan "laboratorium" menyembul dari sana. Lekas Ryshaka mengantonginya. Tanpa sempat membaca karena titah petuga kereta yang memintanya segera turun.
Di luar hujan. Ryshaka mendapati Renjana masih berdiri di pintu kereta, dengan tangan bersembunyi di kantong hoodie dan telinga tersumpal headphone. Mendadak, laki-laki itu penasaran apa yang didengarkan Renjana begitu lama.
 "Kupikir kau suka hujan, Nana," celetuk Ryshaka setibanya di sebelah gadis itu. Renjana diam saja, meski Ryshaka tahu gadis itu mendengarnya. "Petugas kereta api mungkin akan mengusir kita kalau hanya berdiri di sini menunggu hujannya reda."
Lalu, sekonyong-konyong Renjana berbalik. Ryshaka terkunci sesaat di iris cokelat dengan sorot "aku-benci-dunia-dan-seisinya-itu". Melepas headphonenya, gadis itu bertanya, "Kau menyesal sudah mengambil gerbong pertama, Ryshaka?"
 Ryshaka menggeleng. Sebelah sudut bibirnya tertarik. Meniru Renjana, pria itu menyelipkan tangan ke saku jaketnya. "Gerbong pertama akan berhenti di peron tanpa atap. Di saat-saat hujan seperti ini, gerbong pertama mungkin bukan pilihan yang baik. tapi kau tahu, Nana, aku tidak menyesal. Bahkan walaupun aku bisa berjalan ke gerbong dua atau tiga, aku akan tetap turun di sini."
      "Karena aku?"
      "Aku mugkin akan melewatkan kesempatan langka ini kalau berada di gerbong lain."
      Renjana mangut-mangut. "Aku juga," katanya. Lagi-lagi dalam bentuk gumaman, seolah dia tengah berbicara dengan dirinya sendiri.
Ryshaka baru hendak menyerahkan surat yang ditemukannya saat Renjana berjongkok dan mengobrak-abrik isi tasnya. Seperti perempuan pada umumnya, tasnya penuh. Ryshaka melirik sedikit. Laptop dengan stiker beruang mencuat dan paling menonjol di antara barang-barang yang dibawanya.
      "Aku ingat membawanya," gumamnya lagi, masih mencari-cari sesuatu.
      "Perlu kubantu?"
Tawaran Ryshaka ditolak. Alhasil, begitu banyak barang-barangnya keluar dari tempatnya, berserak di dekat kaki Ryshaka. Mau tak mau, Ryshaka ikut berjongkok membantu. Saat Renjana menemukan dan menarik keluar apa yang dicarinya---payung dengan warna senada dengan tasnya---buku berwarna hitam milik gadis itu ikut terjatuh.Â
Dengan niat baik, Ryshaka ingin mengambilkannya. Namun, berlembar-lembar kertas warna-warni berukuran kecil malah berjatuhan dari dalamnya.
      Sesaat, Ryshaka hanya melongo. Terlebih saat matanya tak sengaja membaca tulisan dalam kertas warna-warni yang dipenuhi sumpah serapah dan kata-kata penyemangat itu.
      Renjana berdiri kembali. Mencangklongkan ranselnya dan membentangkan payung. "Mau ikut denganku?" tawarnya.
      "Duluan saja. Payungmu terlalu kecil. Lagipula di luar hanya gerimis biasa."
      "Baiklah, sampai jumpa."
      "Kau akan langsung pulang?"
      "Seseorang mungkin sudah menungguku. Lagipula ini terlalu larut untuk mengobrol lagi."
      "Baiklah. Hati-hati. Senang bertemu denganmu, Nana."
      "Aku yang seharusnya mengatakan itu."
Gadis itu berbalik. Hampir menuruni kereta jika saja Ryshaka tak memanggilnya lagi. "Kapan kau akan kembali lagi? Kita bisa sama-sama."
Sorot mata tak bernyawanya memandang Ryshaka cukup lama. Bibirnya membentuk garis lurus. "Kurasa aku tidak akan pernah kembali lagi," katanya.
Kalimat terakhir Renjana diikuti langkah cepat gadis itu. Sebelum turun, dia sempat menoleh sekali lagi. lalu, untuk kali pertama, dia tersenyum. Lebih tulus dan bernyawa daripada sebelumnya. Untuk kali pertama pula, Ryshaka mendapatkan kekuatannya untuk mengangkat tangan dan melambai.
Begitu saja, surat milik gadis itu terlupakan. Saat Ryshaka berniat menyusul, sobekan kertas berwarna putih di dekat kakinya menahan langkahnya. Barangkali, itu satu dari sekian kertas-kertas berisi sumpah serapah milik Renjana yang terjatuh. Maka, Ryshaka mengantongi keduanya. Lagi-lagi tak berkeinginan membaca.
Sayang, Renjana sudah tak terlihat. Stasiun kereta yang tak terlalu besar seharusnya memudahkan Ryshaka, tetapi hingga pria itu sampai di luar stasiun, Renjana sudah tidak ada. Sesaat Ryshaka menduga pertemuan mereka hanya mimpi belaka. Namun setidaknya, setelah sekian lama, Ryshaka bisa bertemu dengannya, lagi.
      ***
      Renjana tiada.
Kabar itu sampai pada Ryshaka selang dua minggu usai pertemuan mereka di kereta. Bak mimpi, pria itu hanya dapat terpekur lama dengan lutut yang lemas. Sepenuhnya tak menyangka jika pertemuan mereka dua minggu lalu adalah pertemuan terakhir. Namun, pria itu juga tak bisa menyangkal.Â
Kesadarannya ditampar saat datang melayat, menyaksikan gadis yang dua minggu lalu mengucapkan sampai jumpa padanya terbaring kaku dan ditangisi.
Dan, entah sebab apa Ryshaka merasa sesak memenuhi dadanya.
Hasil lab dan wajah yang tak lagi bernyawa. Ryshaka menemukan jawabannya. Hanya saja, pria itu belum menyangka sepenuhnya. Â Â Â Â Â Skenario Tuhan terlalu cepat dan mengejutkan. Sialnya, Ryshaka bahkan belum mengatakan kalimat seterusnya usai dia meminta Renjana fokus saja belajar.
"Setelah itu, aku ingin menikahimu."
Sudah pasti, kalimat itu akan terkubur selamanya bersama Renjana.
Sialnya lagi, kepergian Renjana menyisakan satu jawaban yang tak akan pernah bisa Ryshaka tuntut. Jawaban atas pernyataan dalam surat putih yang dicampakkannya di kereta.
Ryshaka; seseorang yang ingin kutemui sebelum aku mati.
      **  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H