Tidak ada sorot yang seolah mengatakan "aku-ingin-melihat-dunia-lebih-luas". Tidak ada senyuman ramah. Sorot matanya berubah jadi sebait kata "aku-benci-dunia-dan-seisinya". Bosan, jengah, seolah jika bunuh diri tidak ditentang agama, dia akan melakukannya.
Usai basa-basi menyapa, gadis itu kembali memasang penutup hoodienya, menyumpal telinga dengan headphone sebelum menyandarkan kepala ke arah jendela kereta. Padahal selain gelap, tidak ada yang menarik dari pemandangan kereta di malam hari---kecuali gadis itu ingin melihat pantulan wajahnya sendiri.
"Nana." Ryshaka memanggil. Renjana menoleh. Dalam hati, Ryshaka berdecak girang. Volume dari ponselnya pasti kelewat rendah.
"Bagaimana kabar kekasihmu?" tanyanya. Itu pertanyaan paling tidak sopan yang pernah dia utarakan, terlebih mereka baru bertemu kembali setelah sekian lama.
Renjana menjauhkan kepala dari jendela. Melepas headphone-nya dengan kening berkerut. Wajah Renjana yang lama terlihat. "Apa wajahku tampak seperti orang yang punya kekasih?"
Sontak, Ryshaka tergelak. Tidak sulit tetap menjadi dirinya di depan Renjana. Meski lama tak bertemu, beberapa kali Ryshaka masih menanyakan kabarnya via sosial media. Lalu, agak mustahil memang jika pertanyaan yang dilempar pada gadis itu akan kembali dalam bentuk jawaban. Selalunya akan kembali dengan bentuk pertanyaan baru.
"Entahlah," sahut Ryshaka sekenanya. Pria itu menaikkan kacamatanya yang melorot. "Aku hanya penasaran. Apa si bodoh masih berhasil membuat si penipu jatuh hati atau tidak?"
Renjana berdecak. Gambaran lama dirinya lenyap. Sorot matanya kembali ke mode "aku-benci-dunia-dan-seisinya". "Nama penipu terlalu baik untuknya," sahutnya bergumam.
"Apa dia sejahat itu? Selain menduakanmu, memangnya apa yang dia lakukan?" Ryshaka menggali lebih dalam, penasaran.
"Kalau kau sangat ingin tahu jawabannya, temui temanmu itu dan tanya." Renjana berujar ketus, bersidekap dengan tatapan jengah. Dalam hati, Ryshaka membenarkan. Sesuatu telah mengubahnya, dan hanya ada satu tersangka yang terpikirkannya---setidaknya itu yang Ryshaka tahu.
"Baiklah, lupakan!" kata pria itu. Dia mengikuti pandangan Renjana, luar jendela yang gelap dengan satu dua cahaya mungil. "Suatu saat, laramu akan sembuh, Nana. Kau akan bertemu dengan laki-laki yang cintanya lebih besar darimu."