"Baiklah. Kalau begitu, percayalah padaku."
      "Untuk apa?"
"Aku masih ingat mimpi-mimpimu yang kau ceritakan. Kalaupun aku tidak ada, percayalah dukunganku selalu ada. Aku mungkin tidak punya sesuatu yang bisa mengantarkannya padamu, tapi aku punya doa. Itu saja cukup, bukan?"
Renjana mengangguk. Gadis itu menggumamkan terima kasih sebelum merapat kembali ke arah jendela. Matanya terpejam. Namun, Ryshaka tak terima. Terlalu dini untuk mengakhiri percakapan mereka, setelah selama ini mereka hanya bisa mengobrol via telepon. Lagipula, mereka bahkan belum menempuh seperempat perjalanan.
      Maka,
      "Nana." Ryshaka memanggilnya lagi.
      Gadis itu membuka matanya. "Ada apa?" tanyanya.
      "Apa sup buatan Ibumu yang membawamu pulang?"
Sayangnya, pertanyaan itu tidak dijawab. Renjana hanya menatapnya kosong, lalu memejam kembali. Tepat di seperempat perjalanan, Ryshaka melihat gerak bahunya yang teratur. Dia tertidur. Maka sisa perjalanan pulang itu dihabiskan Ryshaka untuk mengikuti Renjana, berbaur dengan mimpi.
      ***
Hampir tengah malam, kereta tiba di stasiun terakhir. Isinya telah menyepi, dan Nana masih bergelut dengan mimpi. Pulas sekali. Ryshaka yakin, jika dia tidak menepuk bahu gadis itu dan menyeru namanya, mungkin dia tidak akan terbangun hingga kereta kembali ke stasiun awal.
      "Mimpimu sudah sampai mana?" ledek Ryshaka begitu gadis itu membuka mata. Gerbong yang ditempati mereka benar-benar sudah kosong.