"Memangnya apa kabar yang lebih baik dari itu?"
Ryshaka tertawa pendek. "Kalau begitu, belajar sajalah! Kau harus mengejar gelar sarjanamu."
Renjana tak menyahut. Ryshaka mengunci mata di pandangan gadis itu, mengikutinya. Melihat pria tambun yang duduk di kursi sebelah mereka tengah tertidur pulas sembari mendengkur, juga balita di bangku depannya yang memencet-mencet perut pria itu sembari terkekeh geli. Tidak ada ekspresi berarti di wajah Renjana. Padahal dalam ingatan Ryshaka, Renjana yang lama akan tersenyum geli melihat momen sederhana itu.
Sesuatu benar-benar telah mengubahnya.
"Kurasa ada banyak hal yang tidak kau percayai lagi di dunia ini, Nana," celetuk Ryshaka. Renjana mengangguk tanpa menatapnya.
"Ada banyak sekali," katanya bergumam. Usai melepaskan pandangannya dari pria tambun dan balita di sebelah mereka, gadis itu melepas sepatunya, lalu duduk bersila di bangku kereta yang tak seberapa luas.
Ryshaka masih jadi pengamat setianya. Menggali-gali ingatan masa lampau sembari membandingkannya dengan sosok yang ada di depannya. Benar-benar berubah. Bukan garis wajahnya yang mendewasa, tetapi tulang pipinya yang menonjol. Urat-urat tangannya menyembul, kontras dengan warna kulitnya yang pucat dan rapuh. Lalu, saat Ryshaka menatap wajahnya lagi, pria itu sulit menemukan adanya nyawa di sana.
Ryshaka berdehem. Mendadak merasa ada atmosfir sendu di atas kepala Renjana yang tengah mengintainya---melarang Ryshaka untuk tertawa lagi. "Di antara banyak hal yang sudah tidak kau percaya, apa yang masih kau percaya."
      "Rasa sup buatan Ibuku, kue mata ikannya, telur dadar di pagi hari, dan... suaranya. Aku masih percaya semua itu tidak akan berubah. Ah, ya, aku juga masih percaya Tuhan dan diriku."
      "Itu berarti kau tidak terluka sebanyak itu."
      "Luka tidak boleh diukur dari kuantitas atau kualitas lukanya, tapi dari kuantitas dan kualitas hati penerimanya," sahutnya terlalu cepat. Kentara sekali tidak terima.