Gadis itu berbalik. Hampir menuruni kereta jika saja Ryshaka tak memanggilnya lagi. "Kapan kau akan kembali lagi? Kita bisa sama-sama."
Sorot mata tak bernyawanya memandang Ryshaka cukup lama. Bibirnya membentuk garis lurus. "Kurasa aku tidak akan pernah kembali lagi," katanya.
Kalimat terakhir Renjana diikuti langkah cepat gadis itu. Sebelum turun, dia sempat menoleh sekali lagi. lalu, untuk kali pertama, dia tersenyum. Lebih tulus dan bernyawa daripada sebelumnya. Untuk kali pertama pula, Ryshaka mendapatkan kekuatannya untuk mengangkat tangan dan melambai.
Begitu saja, surat milik gadis itu terlupakan. Saat Ryshaka berniat menyusul, sobekan kertas berwarna putih di dekat kakinya menahan langkahnya. Barangkali, itu satu dari sekian kertas-kertas berisi sumpah serapah milik Renjana yang terjatuh. Maka, Ryshaka mengantongi keduanya. Lagi-lagi tak berkeinginan membaca.
Sayang, Renjana sudah tak terlihat. Stasiun kereta yang tak terlalu besar seharusnya memudahkan Ryshaka, tetapi hingga pria itu sampai di luar stasiun, Renjana sudah tidak ada. Sesaat Ryshaka menduga pertemuan mereka hanya mimpi belaka. Namun setidaknya, setelah sekian lama, Ryshaka bisa bertemu dengannya, lagi.
      ***
      Renjana tiada.
Kabar itu sampai pada Ryshaka selang dua minggu usai pertemuan mereka di kereta. Bak mimpi, pria itu hanya dapat terpekur lama dengan lutut yang lemas. Sepenuhnya tak menyangka jika pertemuan mereka dua minggu lalu adalah pertemuan terakhir. Namun, pria itu juga tak bisa menyangkal.Â
Kesadarannya ditampar saat datang melayat, menyaksikan gadis yang dua minggu lalu mengucapkan sampai jumpa padanya terbaring kaku dan ditangisi.
Dan, entah sebab apa Ryshaka merasa sesak memenuhi dadanya.
Hasil lab dan wajah yang tak lagi bernyawa. Ryshaka menemukan jawabannya. Hanya saja, pria itu belum menyangka sepenuhnya. Â Â Â Â Â Skenario Tuhan terlalu cepat dan mengejutkan. Sialnya, Ryshaka bahkan belum mengatakan kalimat seterusnya usai dia meminta Renjana fokus saja belajar.