Aku mengangguk. “Berulang kali malah. Tapi selalu putus di tengah jalan. Paling sampai Bab 9 atau 10. Setelahnya biasanya aku malas melanjutkan.”
“Kenapa begitu?”
Aku mengangkat bahu.”Idenya mentok mungkin. He he he.”
“Mungkin kalo tokohnya aku tidak akan mentok. Aku sumber inspirasi lho.”
“Ih, pe de amat.”
Kami lalu tertawa bersama, berbarengan. Aku memandang dia, dia memandang aku. Tiba-tiba kami menghentikan tawa kami. Aku menyadari sesuatu, sore ini kami benar-benar berbeda.
“Baru pertama kali kita ngobrol sampai tertawa.” Dia lagi-lagi tersenyum. Sangat manis.
Aku membenarkan ucapannya. Baru pertama kali.
Dia lalu tersenyum lagi membuatku sangat malu. Aku menjadi salah tingkah.
Landung menjadi sering bertamu ke rumah, sekedar untuk bertemu Aziz atau sengaja untuk bertemu aku. Beberapa kali dia bahkan terlihat akrab dengan ayah di halaman belakang. Dia berdua dengan ayah ngobrol tentang burung. Tentang kicauan-kicauannya, tentang perlombaan yang sering diikuti ayah, atau tentang jenis-jenis burung yang ayah pelihara. Dia juga tampak tak lagi canggung untuk duduk makan bersama aku, Aziz, ibu, dan ayah.
Kami menjadi dekat, sedekat aku dengan Aziz. Kami tak lagi canggung jika harus pergi berdua. Hanya berdua saja. Kedekatan itulah yang membuatku tahu bahwa dia sangat mencintai sepak bola dan musik. Aku kemudian juga tahu bahwa dia sangat membenci ikan lele, walaupun sudah dimasak.