Komunikasi yang efektif dan belajar yang efektif, selalu diawali dengan mendengarkan yang baik. Dan mendengarkan bisa dilatih dan dikembangkan, sama dengan komunikasi dan belajar.
Setiap komunikasi yang berhasil selalu ditandai oleh 3 hal, listening yang mendalam, kematangan emosi dan open-mindedness.
Satu-satunya cara memperbaiki komunikasi kita adalah dengan lebih banyak mendengarkan, segera tutup mulut dan buat pembicara merasa dimengerti.
Makna praktis dari mendengar adalah ingin memahami dan mengerti (sebagai key word). Berbalikan dengan bicara, maknanya ingin dipahami dan ingin dimengerti (sebagai key wordnya). Mengapa manusia terus berbicara? Karena belum dipahami dan dimengerti. Ketika sudah dipahami dan dimengerti, ia akan berhenti dengan sendirinya.
Berbicara dan mendengar itu esensinya tentang “keseimbangan” (balance). Ada saatnya berbicara (ingin dimengerti). Ada saatnya mendengar (ingin mengerti).
Kapan komunikasi rusak? Ketika tidak ada yang jadi pendengar. Semua ingin jadi pembicara, seperti pada kebanyakan kasus di sekitar kita. Ketika itu pula, keseimbangan rusak. Tugas komunikator dan pemimpin menjaga keseimbangannya, dengan perkataan lain, bersiap jadi pendengar.
Aktifitas mendengar hadir dalam segala situasi. Entah itu saat presentasi, diskusi, seminar, meeting, progress review, dialog, briefing, training, konferensi pers, ngobrol santai dengan keluarga & teman sampai menonton live show dan tv.
True listening requires an ability and intent to slow down, to still your own racing thoughts, to be present. True listening thrives when the listener is able to set aside whatever concerns, desires, worries, or needs one has for those few minutes of authentic communication (www.workingsocialnj.com) .