Banyak orang beranggapan, listening tidak penting, padahal hanya 25% orang yang efektif sebagai listener (Madelyn Barley Allen, Listening: the forgotten skill, 1995)
Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa kita bisa mendengarkan dengan sangat baik, padahal tidak, kita sering gagal membangun relasi dengan keluarga sendiri, pasangan, rekan kerja dan teman (Michael P Nichols, The lost art of listening, 2009)
“To strengthen your interpersonal influence, don’t win arguments. Instead, win hearts and minds” (Mark Goulston, 2010). “One absolutely crucial element in moving your brain from panic to logic is to put words to what you’re feeling at each stage” (Mark Goulston, Just Listen, 2010)
Listening atau mendengarkan, adalah jenis skill praktis sehari-hari (self-help) yang memang terabaikan (neglected, less important). Kepentingannya tergeser oleh speaking skill (ilmu berbicara). Manusia lebih banyak ingin bicara dari pada mendengarkan. Padahal listening adalah skill yang paling banyak digunakan untuk belajar. Benar kata Lao Tzu, “silence is a source of great strength.” Tapi ia satu-satunya nafas/ roh komunikasi yang dilupakan untuk dipelajari terlebih dahulu.
Listening adalah sebuah kebutuhan untuk hidup dan “struggle to be human.” Ralph G. Nichols, tokoh listening sejak tahun 1960-an, the father of the field of listening versi International Listening Association (ILA) mempelajari listening secara intensif dan menyimpulkan, “the most basic of all human needs is the need to understand and be understood. The best way to understand people is to listen to them.” Stephen R. Covey penulis “7 Habits of Highly Effective People,” era tahun 1990-an menyederhanakan cara mendengar terbaik adalah “Seek first to understand, then to be understood.”
Faktanya, kita lebih suka bicara. Kita kurang mendengarkan. Faktor penghambat pertama kita tidak mendengarkan adalah terlalu banyak bicara. Di zaman ini, diperburuk lagi oleh gangguan-gangguan internal & lingkungan (kebisingan, serbuan gadget, pressure, dreams, kejenuhan dan ego). Benar seperti yang dikatakan M. Scott Peck, psikiater Amerika abad ini, penulis buku terkenal “the road less traveled,” dengan “you cannot truly listen to anyone and do anything else at the same time.” Diperkuat lagi oleh Ernest Hemingway, novelis Amerika awal 1900-an, telah mencium fakta bahwa orang sulit mau mendengarkan orang lain. Banyak orang tak bahagia. Ia menyimpulkan, “When people talk, listen completely. Most people never listen.” Stephen R Covey, sudah lama memperkenalkan empathy communication, untuk menjawab kebutuhan dunia yang tidak mau mendengar, tapi terangsang untuk segera menjawab (jump to solution). Terbukti hingga hari ini, kebanyakan sekolah dan guru tidak mengajarkan “seni” mendengar yang mendasar sebagai pembelajar (listening skill & art). Jadi orang harus kreatif belajar listening sendiri-sendiri (menjadi self-help praktis). Karena listening adalah sebuah kebutuhan psikologis, listening bisa dipelajari oleh siapa saja.
Pengambilan keputusan yang efektif, juga diawali dengan proses mendengarkan data dan fakta terlebih dahulu. Lee Iacocca, ex CEO Chrysler Corp era 1978-1992 dan Michael D. Ruslim ex CEO Astra 2005-2010, dua-duanya pernah mengatakan, “I only wish I could find an institute that teaches people how to listen. Business people need to listen at least as much as they need to talk. Too many people fail to realize that real communication goes in both directions.” Jika dokter salah diagnosa, biasanya salah obat. Jika arsitek salah design, biasanya salah bangun. Jika pemimpin salah mendengar, biasanya salah memutuskan. Jika agency salah membaca brief, biasanya iklan tidak pas. Jika pacar salah membaca gelagat, biasanya salah pilih. Jika interviewer salah membaca sikap calon karyawan, biasanya yang diterima karyawan jelek (karyawan bagus jutru dilepas).