Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Rupiah, Dinar-Dirham, dan Pengecualiannya

5 Februari 2021   12:08 Diperbarui: 5 Februari 2021   18:10 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang dirham. (Thinkstock via kompas.com)

Uang sebagai alat tukar merupakan instrumen yang ditemukan manusia modern setelah manusia meninggalkan fase purbakala yang melakukan transaksi dengan cara tukar menukar atau barter.

Uang mempunyai makna berarti dalam mempengaruhi kehidupan manusia modern karena nilai yang terkandung di dalamnya.

Dengan nilai uang seseorang bisa menentukan penawaran harga suatu produk atau jasa agar bisa terjadi kesepakatan atas pertukaran yang dikehendaki baik oleh produsen maupun konsumen secara adil.

Nilai uang juga bisa menentukan gengsi dan harkat martabat seseorang. Makin banyak seseorang bisa mengumpulkan uang makin naik gengsi dan harkat martabatnya di mata masyarakat.

Majalah Forbes jeli melihat kebutuhan rasa ingin tahu seberapa kaya seseorang, dengan membuat setiap tahun ranking kekayaan
para konglomerat dunia, maupun orang kaya lokal setiap negara, termasuk Indonesia. Setiap tahun ketika Forbes mengumumkan rangking orang-orang kaya selalu menarik perhatian masyarakat untuk menyimak dan mengomentarinya dalam berbagai versi.

Nilai uang bukan hanya berarti bagi perorangan dalam mengelola usaha dan kehidupannya, tapi juga berguna bagi Pemerintah untuk mengatur keuangan dan perekonomian negara agar bisa dikelola untuk mensejahterakan rakyatnya.

Uang dibuat dari prasyarat, bahan yang awet dari kegiatan dipindah tangankan, gampang dibawa dan relatif sulit untuk dipalsukan. Pada zaman dahulu uang dibuat dari logam mulia atau sejenis logam, diantaranya dinar, dirham.

Di Indonesia sampai sekarang pun masih diproduksi uang dengan bahan sejenis logam, misalnya, uang koin rupiah.

Kemudian selanjutnya sekarang pada umumnya di dunia, uang dicetak dari bahan kertas atau plastik atau dikenal dengan uang fiat (Fiat Money), diantaranya uang kertas rupiah, US dollar, ringgit kertas, dollar Australia.

Uang berbahan kertas atau dinamakan juga "Uang Fiat" (Fiat Money) penggunaannya pertama kali tercatat di Tiongkok sekitar tahun 1000 Masehi (Wikipedia).

Kemudian akhir-akhir ini kita mengenal uang dalam dunia maya yang dinamakan uang elektronik, misal, kartu Brizzi dari BRI, kartu Flazz dari BCA dll, atau uang yang digunakan dalam pembayaran melalui Jenius, Gopay, Ovo, Bitcoin, Etherium dll.

Nilai Intrinsik Dan Nilai Ekstrinsik Uang.

Nilai uang secara intrinsik adalah nilai nominal yang tercantum sebagaimana yang tercantum dari nilai yang telah ditetapkan oleh negara pembuatnya. Uang kertas Rp 100.000,- nilai intrinsiknya adalah Rp 100.000,-, tanpa menghiraukan nilai kertas dari bahan pembuatannya (bagi uang fiat). Padahal nilai bahan pembuatnya kertas atau plastik tidak seberapa dibandingkan nilai nominal yang tercantum pada uang.

Berbeda dengan uang yang bahan pembuatannya dari logam mulia, nilai intrinsiknya yang tercantum dari nominal yang dilekatkan pada uang didukung oleh nilai bahan pembuatannya. Misal nilai nominal 1 dinar adalah sama atau mendekati sama dengan harga emas 22 karat dengan berat 4,25 gram, karena 1 keping dinar dibuat dari emas 22 karat dengan berat 4,25 gram.

Uang yang dibuat dari bahan yang nilainya sama dengan nilai nominal yang tercantum pada uang tersebut dinamakan "uang intrinsik".

Sedangkan yang dimaksud dengan nilai "ekstrinsik internal" dari suatu uang adalah nilai yang diberikan kepada uang tersebut apabila dibelanjakan terhadap barang dan jasa yang ada di negara uang tersebut diterbitkan. Misal dengan uang nilai nominal Rp 22.000,- apabila digunakan untuk membeli telur ayam di Bekasi akan kita peroleh 1 kg telur. Ini menunjukkan nilai ekstrinsik internal Rp 22.000,- adalah senilai 1 kg telur ayam. 

Nilai ekstrinsik internal atau nilai riil bagi uang fiat ini sangat bergantung kepada waktu karena nilainya bisa tidak sama dalam waktu berbeda karena bisa digerus inflasi. Misal nilai ekstrinsik internal telur di Bekasi senilai Rp 22.000,-terjadi pada bulan Februari 2021, tapi akan berbeda apabila uang fiat yang sama dibelanjakan pada tahun 2022 besar kemungkinan harga telur 1 kg di Bekasi lebih mahal dari Rp 22.000,-, karena adanya inflasi.

Kemudian ada lagi nilai ekstrinsik eksternal dari uang, yaitu nilai dari uang bila dibandingkan atau ditukar dengan uang negara lain. Nilai ini, kita kenal sebagai nilai kurs suatu mata uang, misalnya nilai kurs uang Rupiah kalau ditukar dengan dollar US adalah Rp 14.000,-, artinya kalau ingin memperoleh 1 US Dollar, maka harus disediakan Rupiah senilai nominal Rp 14.000,-. Nilai kurs dari uang fiat sangat tergantung kepada kondisi perekonomian dan keuangan dari negara yang mengeluarkan uang tersebut. Makin bagus perekonomian suatu negara, makin kuat nilai kurs mata uang negara tersebut.

Penggunaan Uang Intrinsik.

Sejarah telah membuktikan bahwa nilai logam mulia cenderung lebih stabil di dunia sehingga berabad-abad lamanya peradaban Islam menggunakan uang berbahan emas (dinar) dan berbahan perak (dirham) berupa "Uang Intrinsik" untuk mengontrol perekonomiannya yang pernah menjadi kekuatan perekonomian dunia.

Kemudian tahun 1999 di Indonesia ada gerakan transaksi berbasis dinar dan dirham. Gerakan ini diusung oleh seseorang yang belakangan dikenal dengan pahamnya sebagai anti mata uang fiat (uang berbahan kertas). Orang ini kemudian mendirikan perusahaan yang bernama Wakala yang memproduksi dinar dan dirham.

Gerakan kembali menggunakan dinar dan dirham kembali marak ketika pada tahun 2003 ketika Perdana Malaysia pada waktu itu Mahatir Mohamad menyampaikan gagasan yang disampaikan dalam sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI). Gagasan Mahatir dalam Konferensi yang berlangsung di Kuala Lumpur Malaysia tersebut adalah dengan mengajak negara-negara Islam dibawah naungan OKI agar menggunakan dinar dan dirham sebagai alat tukar di negaranya masing-masing.

Tujuannya menggunakan dinar dan dirham agar mata uang  negara-negara Islam lebih tahan dan stabil nilainya dari ancaman digerus inflasi dan kurs mata uang lain di dunia Internasional.

Selanjutnya gagasan kembali ke dinar dan dirham kembali bergaung yang diinisiasi oleh Menteri Negara dan BUMN Indonesia, Sugiharto yang disampaikan di dalam Konferensi ke-12 mata uang  negara-negara Asean. Kalau tadi Mahatir mengajak  negara-negara Islam kemudian Sugiharto mengajak  negara-negara Asean dalam Konferensi yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 19 September 2005 menggunakan dinar dan dirham sebagai alat tukar di negaranya masing-masing.

Alasannya adalah sama, yaitu agar mata uang  negara-negara Asean menjadi stabil nilainya karena dinar dan dirham merupakan uang instrinsik. Bahan pembuatnya yang terdiri dari logam mulia emas dan perak cenderung stabil di dunia. Dengan demikian nilai mata uang intrinsik yang terbuat dari emas akan susah digoyahkan oleh transaksi keuangan dan perekonomian antar negara. Akibatnya nilai uang intrinsik tidak gampang tergerus inflasi dan nilai kursnya menjadi stabil.

Sebagai contoh apabila kita mempunyai "uang fiat" Rupiah, kalau kita mau berbelanja ke Malaysia, maka kita akan menukar dengan mata uang ringgit. Dengan pertukaran dari rupiah ke ringgit pemilik uang sudah rugi karena selisih kurs. Ini terbukti apabila si pemilik uang tidak jadi berbelanja dan mengembalikan uang ringgitnya kembali ke rupiah, maka nilai uang rupiahnya tidak akan sama dengan nilai semula, pasti akan berkurang.

Bayangkan apabila orang yang sama pindah-pindah traveling dan menukarkan uangnya di setiap negara dan tanpa membelajakan uangnya, lama-kelamaan uangnya akan habis, padahal tidak berbelanja sama sekali.

Hal yang sama tidak terjadi apabila kita membawa uang intrinsik berupa dinar dan dirham, nilainya tidak tergerus oleh kurs karena bahan pembuatnya yaitu emas dan perak nilainya akan sama diberbagai negara di dunia karena mengacu kepada harga emas dan perak dunia, tidak mengacu kepada nilai kurs.

Namun semua gagasan-gagasan tersebut berakhir sebatas gagasan. Bisa jadi gagasan tersebut mendapat kesulitan karena penyediaan bahan pembuat uang dari logam mulia akan menemui kesulitan untuk penyediaan dalam jumlah besar.

Hal itu terbukti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23 B UUD 1945. Dalam pasal UU Mata Uang tidak ada sama sekali disinggung tentang penggunaan dinar dan dirham sebagai alat pembayaran yang sah.

Kelemahan lain uang intrinsik adalah adanya kesulitan praktis di lapangan karena nilai uang intrinsik 1 dinar (setara Rp 4 juta ) dan 1 dirham (setara Rp 73 ribu ) relatif nominal besar. Sehingga pertukaran dan kembalian hasil belanjaan akan kembali lagi menjadi uang fiat. Konsekwensinya penggunaan uang intrinsik menjadi tidak konsisten yang akhirnya berakibat tidak akan efektif.

Di samping itu nilai mata uang suatu negara secara teoritis tetap dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi dan keuangan negara tersebut, uang intrinsik tidak bisa membendung tergerusnya nilai mata uang dari inflasi dan selisih kurs (nilai ekstrinsik eksternal).

Berdasarkan beberapa alasan tersebut kemungkinan kelebihan-kelebihan uang intrinsik tidak lagi praktis dan tidak efektif untuk menjadi pilihan menjadi uang yang sah bagi  negara-negara merdeka.

Sementara dengan kemajuan teknologi penggunaan uang intrinsik dan uang fiat mulai diambil alih oleh uang elektronik. Uang elektronik yang hanya ada di dunia maya dan tidak mempunyai ujud sebagaimana uang intrinsik dan uang fiat, mulai digemari masyarakat karena adanya kemajuan teknologi informasi.

Uang elekronik dianggap lebih praktis dan aman dari pencurian karena tersimpan di dalam chip kartu (misal uang elekronik yang diterbitkan bank) atau yang disimpan dalam server penerbit yang berada di dalam negeri (Jenius, Go Pay, Ovo dan sejenisnya) atau yang disimpan dalam server luar negeri (Bitcoin, Etherium dan sejenisnya).

Rupiah Sebagai Mata Uang Resmi.

Uang selain mempunyai nilai instrinsik dan ekstrinsik juga mempunyai nilai lain yaitu nilai emosional kebanggaan sebagai bangsa merdeka. Dalam Pasal 23 B Undang-Undang Dasar 1945 diamanatkan bahwa macam/jenis dan harga mata uang ditetapkan dengan UU.

Berdasarkan Pasal 1(2 dan 3) dan Pasal 2 (1) Undang-Undang Mata Uang ditetapkan Rupiah merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah teritorial Negara Kesatuan Indonesia.

Oleh karena mata uang yang sah Rupiah di Indonesia tidak hanya sebagai simbol kedaulatan negara merdeka, juga merupakan instrumen moneter bagi Pemerintah untuk mengendalikan perekonomian dan keuangan, maka Bank Indonesia menguatkan pengaturan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah.

Berdasarkan Pasal 2 (1) Peraturan Bank Indonesia No 17/3/PBI/2015 Tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah Di Wilayah Negara Kesatuan RI (PBI Wajib Rupiah) setiap pihak wajib menggunakan "Rupiah" dalam transaksi yang dilakukan di Indonesia.

Transaksi yang dimaksud adalah setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang dan atau transaksi keuangan lainnya (Pasal 2 (2) PBI Wajib Rupiah).

Konsekwensi dari Rupiah sebagai mata uang yang sah dan kewajiban menggunakannya di Indonesia mengakibatkan pihak yang tidak menggunakan Rupiah dalam transaksinya diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda maksimal Rp 200jt (Pasal 33 (1) UU Mata Uang).

Selain ada kewajiban untuk menggunakan mata uang Rupiah di Indonesia juga dilarang bagi setiap orang menolak menerima Rupiah karena menolak menerima transaksi dalam Rupiah akan diancam dengan pidana yang sama, kecuali apabila terdapat keraguan keaslian Rupiah yang diterimanya. (Pasal 33 (2) UU Mata Uang jo Pasal 10 (2) PBI Wajib Rupiah).

Untuk mengukuhkan dan mendukung pelaksanaan kewajiban menggunakan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia, setiap pelaku usaha wajib mencantumkan harga barang/jasa hanya dalam Rupiah (Pasal 11 PBI Wajib Rupiah).

Untuk menegakkan ketentuan ini BI dan polisi pernah melakukan razia di hotel-hotel di Bali yang diduga telah cenderung menerima valuta asing dibandingkan rupiah, bahkan mencantumkan harga kamarnya dalam mata uang US dollar dan mata uang asing lainnya.

Aturan-aturan lain sebelum adanya UU Mata Uang yang masih berlaku adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHPidana) meliputi tentang pembuatan dan pengedaran mata uang tandingan dan pemalsuan mata uang.

Pasal 9 dan 11 KUHPidana melarang siapapun untuk membuat dan mengedarkan benda semacam mata uang untuk menandingi mata uang yang berlaku sah. Ancaman untuk kedua perbuatan yaitu membuat dan mengedarkan mempunyai ancaman hukuman yang tinggi yaitu maksimal dapat dihukum penjara 15 tahun.

Akhir-akhir ini beredar video yang menarik perhatian masyarakat adanya pasar muamalah yang menggunakan dinar, dirham dan fulus sebagai alat tukar transaksi perdagangan di pasar tersebut.

Pasar yang berlokasi di Depok yang hanya buka 2 kali seminggu menjajakan berbagai keperluan masyarakat seperti barang sembako, makanan dan minuman. Pasar tersebut menjadi viral karena mata uang yang digunakan untuk tramsaksi jual beli tidak menggunakan rupiah, tapi menggunakan dinar dan dirham.

Padahal jelas-jelas pasar tersebut berlokasi di Depok wilayah teritorial Indonesia yang sesuai dengan ketentuan UU mewajibkan rupiah sebagai alat bayar yang sah.

Perkembangan terakhir dari viralnya pasar muamalah yang menggunakan alat bayar dinar dan dirham berakhir dengan ditangkapnya Zaim Saidi (ZS) hari Selasa 2 Februari 2021.

Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan, ZS merupakan inisiator, pengelola, pemilik lahan dan penyedia lapak Pasar Muamalah di Jalan Raya Tanah Baru, Beji, Kota Depok, Jawa Barat.

Kabarnya motif ZS mendirikan pasar muamalah ingin mengikuti pasar seperti zaman Muhammad SAW.

Polri mempunyai bukti diantaranya video viral penggunaan dinar dan dirham sebagai alat transaksi jual beli atau perdagangan di pasar tersebut.

ZS tersangka pelanggaran kewajiban transaksi menggunakan Rupiah dan akan dijerat dengan Pasal 9 KUHpidana dan Pasal 33 UU Mata Uang (Kompas 4 Februari 2021).

Kalau memperhatikan Pasal yang akan dikenakan pada ZS nampaknya polisi memiliki bukti awal bahwa ZS tidak sekedar menggunakan dinar dan dirham sebagai alat transaksi, nampaknya juga memproduksi atau membuat dinar dan dirham.

Kalau sekedar menggunakan mata uang selain rupiah untuk transaksi polisi akan menggunakan Pasal 33 Mata uang yang hukuman maksimalnya hanya 1 tahun tetapi polisi juga mengenakan Pasal 9 KUHPidana yang ancamannya maksimal 15 tahun.

Pasal 9 KUHPidana adalah pasal yang dikenakan apabila seseorang membikin, memproduksi benda semacam uang untuk menandingi mata uang yang sah. Dalam hal ini nampaknya ZS memproduksi sendiri dinar dan dirham untuk menggantikan rupiah sebagai alat tukar.

Polisi nampaknya agak "overacting" menerapkan Pasal 9 KUHPidana untuk menangkap ZS, mungkin hal ini dipicu karena kegiatan pasar muamalah sempat viral di tengah masyarakat. Polisi merasa kecolongan karena syahdan pasar ini telah beroperasi sejak tahum 2014 tanpa terusik.

Penggunaan Pasal 9 KUHPidana seharusnya selain membuat uang tandingan dari alat bayar yang sah (rupiah) sebagai alat tukar (dinar, dinar, fulus) juga harus memenuhi unsur untuk mengacaukan peredaran uang yang mengganggu perekonomian negara (penjelasan Pasal 9 KUHPidana)

Kalau melihat skala pasar muamalah Depok, nampaknya tidak akan sampai mengganggu peredaran rupiah dan akan menggoyahkan perekonomian negara, sehingga ZS terancam dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun. Apalagi di pasar muamalah tersebut tidak murni menggunakan mata uang dinar dan dirham, karena nilai dinar relatif besar (setara Rp4juta), maka pengembalian transaksi tetap menggunakan rupiah.

Hal yang paling mungkin dituduhkan kepada ZS adalah sebatas menggunakan alat tukar selain rupiah yang ancaman hukumannya maksimal kurungan selama 1 tahun penjara.

Seharusnya polisi mengedepankan sistim pemidanaan keadilan restoratif seperti visi Kapolri baru Jendral Listyo Sigit Prabowo karena motif ZS bukan untuk mengacaukan perekonomian negara dengan cara mengganggu peredaran rupiah sebagai uang yang resmi. Motifnya hanya sekedar ingin mengikuti pasar seperti zaman rasulullah Muhammad SAW.

Harapan masyarakat dalam kasus ini Polri tidak semata-mata menegakkan hukum membabi buta dengan tujuan menghukum dengan hukuman penjara.

Pengecualian.

Ada beberapa pengecualian di mana bisa menggunakan mata uang lain selain rupiah di wilayah Indonesia antara lain, transaksi dalam rangka pelaksanaan APBN, penerimaan hibah dari dan keluar negeri, transaksi perdagangan luar negeri, simpanan di bank dalam bentuk valas atau transaksi pembiayaan internasional (Pasal 4 PBI Wajib Rupiah).

Selain itu juga tidak wajib menggunakan Rupiah adalah kegiatan usaha dalam valuta asing, transaksi surat berharga yang diterbitkan Pemerintah dalam valuta asing dan transaksi lainnya dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan UU (Pasal 5 PBI Wajib Rupiah).

Penggunaan uang elektronik diperbolehkan di Indonesia karena penyelenggaraan uang elektronik dianggap sebagai instrumen pembayaran non tunai dan tetap wajib/harus dilakukan dalam mata uang rupiah.

Sesuai ketentuan Pasal 6 ayat 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik (PBI Uang Elektronik) Penyelenggara uang elektronik bisa dilakukan oleh bank atau badan usaha bukan bank yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia (Perseroan Terbatas).

Berdasarkan hal-hal tersebut masyarakat bisa menikmati uang elektronik yang disimpan dalam chip kartu-jkartu yang diterbitkan bank (Brizzi, Flazz).

Selain itu masyarakat dapat melakukan transaksi secara on line dengan pihak bank. Tidak dibutuhkan lagi kehadiran pisik di bank untuk melakukan transfer karena ada uang elektronik yang tersimpan dalam server bank.

Pembayaran-pembayaran melalui Jenius, Gopay, Ovo tanpa membawa uang tunai bisa dilakukan melalui aplikasi di ponsel karena ada uang elektronik yang tersimpan di server penyelenggara uang elektronik.

Penggunaan dinar dan dirham di Indonesia juga diperbolehkan sepanjang dinar dan dirham dijadikan sebagai alat komoditi. Dinar dan dirham diperbolehkan untuk diperjual belikan. Hal yang dilarang adalah apabila digunakan untuk alat pembayaran suatu transaksi.

Pada awal tahun 2000 an PT Aneka Tambang Tbk memproduksi dinar, dirham yang standarnya diawasi oleh Komisi Akreditasi Nasional (KAN) dan London Bullion Market Association (LBMA). LBMA merupakan sebuah lembaga pengatur standar harga emas aktual yang berlaku di masyarakat dan harga emas tetap (fixed gold price). Peran pengaturan ini dilakukan melalui proses investigasi dan inspeksi terhadap lembaga-lembaga pencetak mata uang (refiners) dinar dan dirham diseluruh dunia dan sekaligus berfungsi sebagai biro pemasarannya.

Kemungkinan tersandung masalah pidana atas dinar dan dirham yang diperlakukan sebagai komoditi adalah masalah penipuan (Pasal 378 KUHPidana). Hal ini disebabkan karena berat dan atau kadar emas/perak dari dinar dan dirham yang diperjual belikan tidak standar sehingga merugikan pembeli.

Uang elektronik yang dilarang di Indonesia adalah Bitcoin atau uang elektronik untuk investasi sejenis yang namanya macam-macam seperti Ethereum, Monero, IOTA. Penggunaan uang elektronik bitcoin dan sejenisnya banyak digunakan dalam dunia kejahatan, seperti hasil korupsi, uang mafia dari hasil kejahatan narkoba, pemerasan, prostitusi dan uang untuk pembiayaan terorisme.

Dunia kejahatan menggunakan bitcoin dan sejenisnya untuk melakukan pencucian uang. Hal itu bisa terjadi karena transaksi bitcoin boleh dengan indetitas samaran dan tidak tercatat di perbankan.

Akan tetapi bukan itu alasan Pemerintah melarang bitcoin sebagai alat transaksi. Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang karena penggunaan bitcoin sebagai alternatif alat pembayaran karena bisa mengganggu kestabilan keuangan negara. Nilai 1 bitcoin setara dengan Rp 53juta.

Selain itu nilai penggelembungan bitcoin yang tidak terkontrol bisa merugikan bagi masyarakat yang memilikinya (investor), sehingga pemerintah tidak berani menjamin kerugian apabila turunnya nilai bitcoin.

Ada unsur spekulasi yang tidak terkontrol atas fluktasi nilai bitcoin. Hal ini menjadi menarik masyarakat untuk berinvestasi pada bitcoin, sebaliknya pemerintah melihat fluktuasi tersebut bisa merugikan masyarakat.

Oleh karena itu untuk melindungi masyarakat Indonesia dan sekaligus menghindari gejolak keuangan yang tidak dikehendaki, pemerintah melalui OJK melarang bitcoin dan sejenisnya di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun