“Baiklah, sekarang jadwal berbelanja,” ucap Samantha usai berdandan. Kenapa begitu cepat? Ya, yang dinamakan berdandan oleh Samantha adalah setelah memoles wajah dengan bedak tipis, lalu memakai pelembab bibir. It’s so simple, right?
Gadis berkuncir itu dengan santainya melangkahkan kaki melewati koridor untuk menuju lift yang akan membawanya turun ke lantai dasar. Ia bersiul sesuka hati. Bukan tanpa maksud, hanya ingin menghibur diri saja, dan merasa menguasai koridor itu; karena tidak ada orang lain.
Samantha mengerang saat tiba-tiba saja ia tersungkur. Tersandung? Ah, itu tidak mungkin. Memangnya koridor apartemen berbatu seperti di pegunungan? Atau, karena ia memakai high heel? Tidak! Samantha tidak pernah memakai high heel kecuali saat menghadiri pesta.
Setelah beberapa detik bertahan dengan posisinya, perlahan ia bangkit. Dan, saat itu juga ia melihat pintu lift yang akan tertutup. Ia berteriak sambil berlari kecil.
“Hey… tunggu!” Namun, kakinya berhenti seperti rem pakem. Ia terenyak melihat sekilas sesosok lelaki dengan tatapan tajam ke arahnya diikuti pintu lift yang tertutup. Mata lelaki itu mengesankan. Tapi, pada akhirnya membuat Samantha ketakutan sendiri.
Kemudian, tangan gadis itu sedikit bergetar dan tengkuknya terasa dingin. Kedua pasang kakinya terasa kaku. Tidak hanya itu, ia merasakan ada sesuatu yang menyentuh kedua pasang kakinya.
Bukan sentuhan sejati yaitu tangan. Tapi, seperti… air. Dengan ragu, Samantha menundukkan kepala. Ia penasaran kenapa tiba-tiba ada air di koridor? Dan… ternyata itu bukan air.
“Aaaaa…,” Samantha berteriak sekencang-kencangnya setelah dengan cepat mengembalikan pandangannya ke atas. Ia menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Entah berapa lama ia melakukannya—hingga ada sentuhan lembut mendarat di pundaknya. Ia terkaget dan membalikkan tubuhnya dengan cepat, lalu mengalihkan telapak tangannya, kemudian membuka matanya. Air mukanya terpancar ketakutan.
“Apa yang terjadi?” tanya seorang wanita paruh baya bertubuh tambun. Ia terheran, bagaimana bisa gadis di hadapannya ini berteriak kencang, sedangkan suasana yang dilihatnya baik-baik saja? Tidak ada penjahat yang akan merampas tas miliknya.
“Ahjumma[3], apa apartemen ini ada hantunya?” tanya Samantha dengan nada gemetar. Wanita paruh baya itu terdiam. Tidak, lebih tepatnya terheran mengapa tiba-tiba saja gadis itu melontarkan sebuah pertanyaan yang terdengar begitu frontal. Ekspresi wajah Samantha yang gelagapan juga membuat mulut wanita paruh baya itu sedikit terbuka.
“Ah, maksudku, apa anda tidak pernah mengalami kejadian aneh saat tinggal disini? Hmm… seperti melihat hantu, atau bahkan banjir darah?” Samantha menatap wanita tambun itu hati-hati. Ia meragukan jawaban yang akan terlontar.