Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Pembelajaran Bahasa Inggris Zaman Doeloe versus Sekarang, Bagus Mana?

27 Juni 2024   20:26 Diperbarui: 27 Juni 2024   20:34 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bahasa Inggris(SHUTTERSTOCK via Kompas.com)

Sebagai produk pendidikan di era 1980-2000an, khususnya di Sekolah Dasar dan Menengah, saya melihat perbedaan pembelajaran bahasa Inggris di zaman doeloe (era 1980-2000) dan now (2000- sekarang).

Berbagai kurikulum datang silih berganti, namun pembelajaran bahasa Inggris di lembaga pendidikan formal, menurut pandangan saya, seperti jalan di tempat. Maju tidak; mundur bisa jadi. 

Dalam hal ini, terlepas dari kurikulum yang berlaku, saya hanya memusatkan perhatian pada proses belajar mengajar di era 1980-2000 ketika saya bersekolah dan berkuliah; dan era 2000 sampai sekarang dimana saya bertindak sebagai guru bahasa Inggris.

Setiap masa tidak ada yang sempurna, apalagi di negeri +62 yang mempunyai nilai dan peringkat PISA yang memprihatinkan.

Dalam tulisan ini, menurut pandangan saya, saya ingin mengupas kelebihan dan kekurangan pembelajaran bahasa Inggris pada dua zaman, yaitu zaman doeloe (1980-1990an) dimana saya masih bersekolah di jenjang SMP dan SMA dan zaman sekarang (2000 - saat ini) dimana saya beralih peran sebagai guru bahasa Inggris.

Tentu saja, pendapat saya di mari bersifat subjektif, berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya pribadi. Sah-sah saja kalau ada yang tidak sependapat.

Saya membedakan dalam dua zaman. Mari kita telisik satu per satu

Zaman doeloe (1980-2000an)

Seperti yang saya utarakan sebelumnya, rentang waktu tahun 1980-2000an adalah saat ketika saya masih bersekolah dan berkuliah.

Masa tahun-tahun tersebut adalah masa saya sebagai pengamat. Selaku pelajar dan mahasiswa, saya melihat dan menganalisis kelebihan dan kekurangan pembelajaran bahasa Inggris zaman doeloe.

Kelebihan pembelajaran bahasa Inggris zaman doeloe (1980-1990an)

1. Titik berat lebih pada perbendaharaan kata (vocabulary) yang memadai

Jelas sekali, terang benderang kalau di rentang tahun ini, perbendaharaan kata (vocabulary) menjadi ujung tombak, andalan tunggal dalam proses belajar mengajar bahasa Inggris.

Pekerjaan rumah menghafal kata-kata bahasa Inggris menjadi keseharian yang membosankan. Tiada hari tanpa menghafal, karena di mata pelajaran-mata pelajaran lainnya, praktik serupa juga terjadi.

Kelebihan dari praktik menghafal kata-kata bahasa Inggris ini tentu saja membekali para peserta didik untuk lanjut ke tahap produktif berikutnya seperti berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris.

Sayangnya kelebihan ini tidak terlihat sekarang ini. Perbendaharaan kata yang kurang dan minat baca kebanyakan peserta didik yang minim menyebabkan penguasaan bahasa Inggris pada peserta didik masih jauh dari kenyataan.

2. Fokus pada Grammar (Tata Bahasa)

Saya selalu ingat dengan pembelajaran bahasa Inggris di SMA. Ketika itu, di kelas dua SMA, T, guru bahasa Inggris kami, mengajarkan tenses, bentuk waktu dalam kalimat untuk menyatakan, menyangkal, atau menanyakan dengan bentuk positive, negative, atau interrogative.

Di SMP sebenarnya saya juga mendapat penugasan serupa, namun tidak seintensif dan semasif di SMA, terutama di kelas dua SMA.

Meskipun terkesan menjemukan, tenses wajib dikuasai dalam pembelajaran bahasa Inggris karena "bentuk waktu" dalam berbicara dan menulis di masa lampau, masa kini, dan masa depan dalam berbahasa Inggris tidaklah sama seperti dalam bahasa Indonesia.

Bagi saya, walaupun terkesan pasif dalam proses belajar mengajar, dasar dari bahasa Inggris bisa dikatakan "cukup kuat" dengan bekal tata bahasa (grammar) seperti pendalaman tenses.

Bagaimana dengan zaman sekarang? Kebanyakan murid les saya tidak tahu apa itu tenses semisal Simple Present Tense dan Present Continuous Tense yang seharusnya mereka ketahui. Itu baru satu aspek (tenses) dalam grammar. Banyak aspek lain yang juga harus dikuasai jika ingin berbahasa Inggris dengan fasih dan benar.

Kekurangan pembelajaran bahasa Inggris zaman doeloe (1980-2000an)

Tidak ada gading yang tak retak.

Tentu saja, ada berbagai kekurangan dalam pembelajaran bahasa Inggris zaman doeloe (1980-2000an). Menurut pandangan saya, ada tiga kekurangan di zaman tersebut.

1. Guru tidak menyediakan waktu berbicara dalam bahasa Inggris untuk murid secara memadai

Minim praktek berbicara dalam bahasa Inggris. Mungkin itulah gambaran kental di masa doeloe. Proses belajar mengajar lebih menekankan materi pelajaran yang harus segera selesai demi pencapaian nilai ujian semester yang gemilang.

Mengerjakan soal-soal adalah sebagian besar atau malah mayoritas kegiatan di dalam pembelajaran.

Kalaupun ada waktu berbicara dalam bahasa Inggris, itu hanya sebatas pronunciation, pengucapan kata per kata dalam new vocabulary, perbendaharaan kata baru. Lebih bersifat mekanis.

2. Terlalu terpaku pada penguasaan tata bahasa dan kosakata

Tata bahasa dan kosakata bahasa Inggris seakan menjadi "dewa" di zaman doeloe. Seakan tidak ada yang lebih penting dalam pembelajaran bahasa Inggris selain dua hal tersebut.

Sampai SMA usai, tata bahasa dan kosakata yang saya dan kawan-kawan peroleh. Yang tersimpan di kepala adalah dua aspek itu, yang sebenarnya juga tidak terlalu mendalam. Satu kata kunci yang dapat menggambarkan kondisi saat itu adalah monoton. Metode ceramah dengan setumpuk tugas di hadapan.

3. Minim praktik menulis secara kreatif

Anehnya, dengan fokus pada tata bahasa dan kosa kata, praktik menulis kreatif justru tidak mengemuka di zaman doeloe.

Padahal dengan modal tata bahasa dan kosakata, sudah cukup untuk melatih keterampilan menulis dalam bahasa Inggris, seperti menulis puisi, cerpen, esai, atau tulisan-tulisan genre lainnya.

Itulah sebab mengapa budaya menulis tidak ada di kebanyakan warga +62. Karena sejak usia dini, alih-alih mendekat, praktik "menjauh" dari kegiatan tulis-menulis justru yang terlaksana dalam proses belajar mengajar di sekolah.

Zaman Sekarang (2000 - saat ini)

Sekarang saya sebagai pengajar di tahun 2000 awal sampai sekarang bertindak sebagai pendidik sekaligus pengamat dalam pendidikan.

Sama seperti zaman doeloe, ada kelebihan dan kekurangan dalam pembelajaran bahasa Inggris di zaman now.

Kelebihan pembelajaran bahasa Inggris zaman sekarang (now)

Menurut saya, ada tiga kelebihan pembelajaran bahasa Inggris di zaman sekarang (now). 

1. Ada pembagian four language skills

Four language skills atau empat keterampilan/kecakapan berbahasa bukan hal asing dalam proses pembelajaran bahasa. Apa pun bahasanya, formula ini selalu berlaku.

Four language skills dalam terminologi pembelajaran bahasa Inggris adalah :

  • Listening Comprehension ( Pemahaman Mendengarkan)
  • Speaking Ability (Kemampuan Berbicara)
  • Reading Comprehension (Pemahaman Membaca)
  • Writing Ability (Kemampuan Menulis)

Saya tidak tahu apakah empat kecakapan berbahasa Inggris ini tertuang hitam di atas putih, yaitu di dalam kurikulum zaman doeloe, karena yang terlihat nyata hanya mengerjakan tugas berdasarkan aturan tata bahasa (grammar) dan menghafal segudang perbendaharaan kata (vocabulary).

Yang jelas, empat keterampilan tersebut tidak diterapkan secara maksimal di zaman doeloe. Di zaman sekarang, pembagian kecakapan tersebut terpampang nyata. Input berupa listening comprehension dan reading comprehension sama pentingnya dengan output, yaitu speaking ability dan writing ability.

2. Ada sarana penunjang seperti laboratorium bahasa, LCD projector, laptop, TV layar datar, dll

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan pergeseran kebiasaan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan formal, khususnya sekolah.

Dari yang doeloe-nya menggunakan papan tulis hitam dan kapur; lalu meningkat ke penggunaan papan tulis putih dan spidol, kemudian muncul tren pemakaian overhead projector (OHP) dalam menjelaskan materi pelajaran.

Setingkat lebih tinggi, pengoperasion laptop dan LCD Projector, bahkan yang terbaru dengan Smart TV mengubah "warna" proses belajar mengajar.

Tentu saja, dengan segala kemajuan iptek, sangat membantu dan memudahkan pendidik untuk menyampaikan materi pelajaran dengan lebih jelas dan terstruktur. Ada banyak media pengajaran yang bisa menjadi pilihan, disesuaikan dengan bahan ajar

3. Tersedia berbagai sumber belajar di dunia maya

Di zaman sekarang (now), sumber belajar tidak terbatas pada media cetak seperti buku, majalah, tabloid, surat kabar, dan lain-lain) dan media elektronik (seperti radio dan televisi) Dunia maya, internet, bagaikan "angin segar" bagi warga dunia pada umumnya, dan dunia pendidikan pada khususnya.

Para pendidik dapat menemukan dengan mudah tentang materi pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum di dunia maya. Ada ribuan atau mungkin malah jutaan hasil ketika mengetikkan kalimat kunci atau kata kunci tertentu di peramban Google, Yahoo, atau mesin pencari yang sejenis.

Hasil pencarian pun beragam, mulai dari artikel tertulis sampai video tutorial. Guru bisa memilih dengan leluasa sesuai dengan kebutuhan untuk "menyukseskan" proses belajar mengajar.

Kekurangan pembelajaran bahasa Inggris zaman sekarang (now)

Berdasarkan pengamatan saya, lima kekurangan yang terlihat mencolok di zaman now dalam pembelajaran bahasa Inggris.

1. Penerapan four language skills tidak seperti dalam perencanaan

Meskipun four language skills tertuang dengan terang benderang di kurikulum, namun dalam praktiknya, sangat jauh dari itu.

Penerapan empat kecakapan berbahasa Inggris dalam proses belajar mengajar sangatlah jomplang dalam persentase.

Dalam berbagai buku pelajaran bahasa Inggris, memang terlihat nyata pembagian empat keterampilan berbahasa Inggris yaitu Listening Comprehension, Speaking Ability, Reading Comprehension, dan Writing Ability. Empat kecakapan ini ada di buku-buku pelajaran bahasa Inggris untuk jenjang SMP dan SMA/SMK.

Sayangnya, diantara empat kecakapan, porsi persentase terbesar jatuh pada Reading Comprehension. Mungkin dalam satu semester, porsi 70-80 persen tersita untuk Pemahaman Membaca. Sisa 20-30 persen  untuk Listening Comprehension, Speaking Ability, dan (syukur-syukur) Writing Ability.

Kenyataan minimnya penerapan empat kecakapan secara utuh dalam proses belajar mengajar bahasa Inggris semakin menunjukkan kalau kebanyakan warga +62 terlalu "berlebihan" dalam perencanaan, namun sangat "berkekurangan" dalam pelaksanaan.

2. Penggunaan sarana penunjang hanya terbatas pada pemaparan materi pelajaran

Bertahun-tahun berkutat dengan papan tulis putih dan spidol hitam untuk mengajar mungkin yang menyebabkan kebanyakan pendidik belum bisa move on dalam menyampaikan materi pelajaran secara satu arah.

Memindahkan peran papan tulis ke LCD Projector atau TV layar datar. Sayangnya, peran canggih teknologi tetap terbatas pada tulisan di layar. Padahal, banyak sekali yang bisa dilakukan oleh guru dalam menggunakan sarana penunjang atau media pengajaran bahasa.

Misalnya, guru menayangkan sebuah film berbahasa Inggris. Peserta didik menonton film dengan saksama dan mencatat beberapa poin yang menarik dari film tersebut.

Setelah film usai, guru bisa meminta peserta didik untuk menceritakan kembali secara lisan tentang film tersebut atau pendapat pribadi mengenai alur cerita dan nilai moral. Dalam hal ini, kemampuan berbicara (Speaking Ability) mendapat tempat dalam proses belajar mengajar.

Guru dapat pula mengarahkan peserta didik untuk menulis esai tentang film yang sudah ditonton. Sisi Writing Ability mendapat perhatian.

3. Guru hanya memberikan tugas tertulis dan lebih "melepaskan" murid untuk mencari tahu sendiri jawaban pertanyaan lewat internet

Internet bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, internet bermanfaat di dalam setiap segi kehidupan manusia. Mulai dari telekomunikasi, informasi, sampai soal" menghibur" insan dilakoni oleh internet lewat gawai.

Di sisi lain, "membanjirnya" informasi di internet membuat kemudahan dalam mencari solusi atas masalah yang terjadi dan kebanyakan (atau cuma segelintir orang) memercayai informasi-informasi tersebut sebagai kebenaran yang absolut.

Padahal, tidak semua sumber di internet tepercaya dan bisa dipertanggungjawabkan dari segi kebenaran isi.

M, salah seorang murid les privat yang berstatus pelajar kelas sembilan di sebuah SMP di kota Samarinda menceritakan tentang beberapa guru di sekolahnya yang melakukan praktik "Guru memberikan tugas tertulis", lalu "Guru melepaskan murid untuk mencari tahu sendiri jawaban pertanyaan lewat internet".

Setelah itu, keesokan hari, guru hanya mengumpulkan buku-buku tulis para murid, melihat sekilas hasil kerja siswa-siswa, lalu menutup buku-buku kembali. Tanpa nilai, bahkan tanpa paraf untuk menghargai jerih payah peserta didik dalam mengerjakan tugas.

Asumsi saya, guru malas memeriksa dan menilai tugas para siswa karena guru menganggap jawaban-jawaban peserta didik benar semua karena berasal dari internet. Mungkin juga karena sang guru memang malas atau terlalu lelah karena menjalani "side job" alias pekerjaan sampingan di malam sebelumnya. Asumsi mana yang benar? Entahlah.

4. Tetap minim berbicara dalam bahasa Inggris

Ini yang mengherankan. Meskipun sudah tertuang jelas, hitam di atas putih, bahwa empat kecakapan berbahasa (four language skills) harus dilaksanakan di dalam proses belajar mengajar bahasa Inggris, namun kenyataan tidak menunjukkan hal tersebut.

Tertuang di dalam kurikulum, program tahunan, program semester, silabus, dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP); tapi ternyata tidak seperti aturan dan perencanaan yang seabrek tadi.

Yang banyak berbicara dalam bahasa Inggris justru guru bahasa Inggris, entah dalam posisi menjelaskan materi maupun ketika membahas tugas yang tuntas dikerjakan peserta didik. Murid, mayoritas diam saja. Menyimak tanpa suara.

Dari doeloe sampai sekarang, dominasi guru bahasa Inggris dalam proses belajar mengajar sangat terpampang nyata.

5. Tetap minim menulis kreatif dalam bahasa Inggris

Menulis, dari doeloe sampai now, hanya sebatas mengerjakan tugas pertanyaan setelah melalui Reading Comprehension, dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan pilihan ganda atau memberikan uraian singkat.

Padahal, di berbagai buku pelajaran, khususnya SMP dan SMA/SMK, saya melihat penjabaran materi ajar untuk pengembangan Kemampuan Menulis (Writing Skill) sangatlah nyata, seperti penjelasan cara menulis artikel Deskriptif (Descriptive), Argumentatif (Argumentative), Narasi (Narrative), n lain-lain. Setelah pemaparan, tugas menulis kreatif tersaji.

Ironisnya, sepanjang pengalaman mengajar les privat dan bertanya kepada murid les, serta mencermati tugas-tugas yang diperoleh mereka, saya mendapatkan fakta bahwa kebanyakan guru bahasa Inggris di SMP dan SMA/SMK jarang atau bisa dikatakan tidak memberikan tugas menulis kreatif, seperti menulis karangan Descriptive, Argumentative, Narrative, dan lain sebagainya.

Guru-guru tersebut lebih banyak "mengikuti" pemberian tugas menjawab pertanyaan berdasarkan teks bacaan dalam kecakapan Reading Comprehension.

Tak heran kalau kemampuan Menulis (Writing Ability) dalam bahasa Inggris yang dimiliki kebanyakan murid les saya sangat memprihatinkan. Terlalu lama menatap halaman kertas kosong. Untuk menulis satu kata dalam bahasa Inggris saja butuh proses panjang yang memakan waktu lama.

Saran untuk para rekan guru bahasa Inggris

Apa pun yang ada di dunia ini, tidak ada yang sempurna. Semua punya kelebihan dan kekurangan. 

Mencermati proses pembelajaran bahasa Inggris doeloe dan now, izinkan saya untuk memberikan saran kepada para rekan guru bahasa Inggris di tingkat SMP dan SMA/SMK di mana pun berada dalam rangka perbaikan kualitas proses belajar mengajar dan hasil setelah proses selesai.

Ada tiga saran saya.

1. Porsi memadai dalam mengajar untuk four language skills

Empat kecakapan berbahasa Inggris harus terpenuhi. Tidak bisa hanya satu atau dua saja yang terealisasi. Karena satu sama lain terkait. Mengorbankan satu atau dua kecakapan akan menyebabkan penguasaan bahasa Inggris secara menyeluruh tidak akan tercapai.

Apabila Listening Comprehension diabaikan, niscaya penguasaan Speaking Ability tidak akan tercapai. Jika jarang menerapkan Reading Comprehension, impian mahirnya Writing Ability tidak akan terwujud.

Oleh karena itu, porsi memadai dalam mengajar bahasa Inggris untuk four language skills sangatlah perlu disusun dengan saksama dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Jangan sampai, terlalu indah tertuang dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) tetapi jauh melenceng dalam penerapan di proses belajar mengajar.

Jangan sampai terjadi, terlalu banyak casciscus dalam bahasa Inggris, tapi malah mendapat nilai buruk dalam TOEFL dan mengeluh karena salah satu bagian dari tes, yaitu Listening Section, memperoleh nilai terendah dibanding bagian-bagian tes yang lain.

"Saya tidak suka menulis,"

Pernyataan menohok dari K, seorang kenalan yang juga berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di salah satu SMA swasta yang tidak asing lagi di Samarinda. Dia menyatakannya kepada saya di suatu warung makan lebih dari sepuluh tahun yang lalu.

Ada beberapa murid les dulu yang juga bersekolah di SMA tersebut. Saya bertanya kepada mereka tentang cara K mengajar bahasa Inggris kepada mereka selama proses belajar mengajar di ruang kelas, laboratorium bahasa, atau di luar ruangan.

Saya sudah dapat menebak jawaban mereka.

"Pak K lebih banyak bicara. Dia tidak sabar menunggu kami untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Dia menganggap kami terlalu lama berpikir. 

"Untuk menulis dalam bahasa Inggris. dia jarang menugaskan kami dalam hal itu. Kalau pun ada, sekadar supaya tugas di buku pelajaran dikerjakan. Dia lebih suka mengajar Speaking di kelas," kata L, salah seorang murid les yang berstatus pelajar kelas XII di SMA tempat K mengajar beberapa tahun yang lalu.

R, S, M, dan N juga berpendapat yang sama tentang K.

Setelah lewat beberapa tahun, ke masa kini, apakah K menyadari kekeliruannya dan memperbaiki metode mengajar ? Saya ragukan itu.

Mendengarkan, Berbicara, Membaca, dan Menulis adalah satu kesatuan.

2. Student-centered, bukan Teacher-centered

Ini yang selalu menjadi persoalan. Terbatasnya perbendaharaan kosa kata bahasa Inggris para peserta didik menjadi salah satu alasan beberapa rekan guru bahasa Inggris yang saya pernah tanya perihal "dominasi" mereka dalam durasi "talktime" yang memonopoli dalam proses belajar mengajar.

"Kita mau mendorong mereka, para murid, untuk berbicara dalam bahasa Inggris selama proses belajar mengajar berlangsung. Sayang bukannya aktif, tapi tetap pasif," keluh S, seorang rekan guru bahasa Inggris di sebuah SMP di Samarinda.

"Yah, mau bagaimana lagi? Perbendaharaan kosakata bahasa Inggris kebanyakan murid sangat minim. Kalau menunggu mereka semua berbicara, bisa habis waktu pelajaran. Lagipula, hanya beberapa murid yang aktif berbahasa Inggris dalam diskusi. Sepertiganya saja tidak sampai," kata N, seorang rekan guru bahasa Inggris di salah satu SMA di Samarinda beberapa minggu yang lalu.

Budaya membaca dan menulis di Indonesia memang masih rendah. Hal ini berdampak dalam segala sektor, terutama di sektor pendidikan. Namun, garda terdepan dalam bidang pendidikan adalah para pendidik, guru, yang seharusnya mengerti bahwa pusat dari pembelajaran adalah peserta didik, bukan pendidik.

Student-centered, bukan Teacher-centered.

Itulah yang harus menjadi fokus, yaitu keberhasilan peserta didik sebelum, selama, dan setelah proses belajar mengajar. Bukan kesuksesan guru dalam menuntaskan mengajar materi pelajaran.

Hitam di atas putih yang tertuang dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kiranya benar-benar menggambarkan tindakan-tindakan pendidikan untuk " membisakan" peserta didik dalam rangka menguasai bahasa Inggris. Semoga "membisukan" murid dalam proses belajar mengajar tidak terjadi dalam kenyataan.

3. Proses dan hasil sama pentingnya

Terkadang saya mencermati pola pikir kebanyakan warga +62 yang dari masa ke masa hanya melihat kesuksesan pesohor atau pengusaha, namun tidak menelusuri proses jatuh bangun yang dialami.

Tidak ada jalan instan untuk meraih keberhasilan.

Sayangnya, di Indonesia, melihat angka-angka grafik yang menaik dalam bidang pendidikan, seakan menyimpulkan pelaksanaan kurikulum dari hulu ke hilir berhasil secara paripurna, tanpa cacat cela.

Padahal tidak sesempurna yang dilihat. Carut marut masih terjadi. Angka atau persentase "baik" tidak berarti jika proses pelaksanaan masih "berlubang" di sana-sini.

Yah, rupanya spirit Ujian Nasional selama bertahun-tahun pelaksanaan masih belum pudar. Mengagungkan hasil, tapi mengabaikan proses.

Bukan proses mengajar yang menjadi perhatian guru, tapi malah pendidik harus berkutat dengan platform yang justru lebih menyusahkan, melelahkan, dan menyita waktu di luar jam mengajar.

Saya mendengar dari seorang teman, H, guru bahasa Inggris di sebuah SMA Negeri di Samarinda. Dia mengeluh tentang lelahnya kewajiban pendidik zaman now dalam menghadapi platform yang tidak mengerti capeknya manusia.

"Bayangkan, sudah capek belajar materi di platform, pendidik mengajar sambil merekam proses belajar mengajar di kelas. Bak content creator. Setelah video terwujud, guru masih harus mengunggah video ke platform, dan menanti dengan harap-harap cemas lulus dan lanjut ke langkah berikut..."

Keluhan H seakan tiada akhir, namun saya bisa memakluminya. Kiranya pemerintah mau mendengarkan keluhan para pendidik dan mengevaluasi penerapan platform, apakah sudah sesuai dengan kebutuhan peserta didik atau malah jauh dari memenuhi keperluan murid.

Yang jelas, untuk para rekan guru bahasa Inggris dimanapun berada, tetaplah melaksanakan tugas dengan baik. Proses dan hasil sama pentingnya. Jangan mengutamakan "proses" dan mengabaikan "hasil". Begitu juga sebaliknya.

Mengajar dengan 'buruk', tapi peserta didik mendapat hasil yang 'baik'; atau mengajar dengan 'baik', tapi peserta didik memperoleh hasil yang 'buruk'. Kedua opsi bukanlah hal yang baik.

Semoga proses dan hasil tetap seiring sejalan.

Impian lebih baik

Peserta didik menikmati jalannya proses belajar mengajar, menarik inti sari daripadanya, dan dapat mengaplikasikan ilmu bahasa Inggris dalam kehidupan nyata di luar sekolah.

Impian yang menggambarkan situasi pembelajaran bahasa Inggris yang menyenangkan dan mencapai sasaran pendidikan.

Kapan impian-impian ini bisa terwujud?

Entahlah.

Yang jelas, kesejahteraan pendidik juga perlu mendapat perhatian yang sangat besar dari pemerintah. Bukan sebatas retorika atau janji-janji kosong belaka. Pelaksanaan di sekolah-sekolah harus selalu terkontrol dengan baik. Jangan sampai, guru sudah bekerja dengan maksimal, namun mereka hanya mendapat honor ratusan ribu rupiah setiap bulan. Guru-guru honorer sudah seharusnya diperlakukan sama dengan guru-guru ASN, karena mengemban tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) yang sama.

Apabila guru tidak juga mendapat jaminan kehidupan yang layak, tingginya kualitas pembelajaran bahasa Inggris hanya sebatas impian dan angan-angan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun