Padahal, tidak semua sumber di internet tepercaya dan bisa dipertanggungjawabkan dari segi kebenaran isi.
M, salah seorang murid les privat yang berstatus pelajar kelas sembilan di sebuah SMP di kota Samarinda menceritakan tentang beberapa guru di sekolahnya yang melakukan praktik "Guru memberikan tugas tertulis", lalu "Guru melepaskan murid untuk mencari tahu sendiri jawaban pertanyaan lewat internet".
Setelah itu, keesokan hari, guru hanya mengumpulkan buku-buku tulis para murid, melihat sekilas hasil kerja siswa-siswa, lalu menutup buku-buku kembali. Tanpa nilai, bahkan tanpa paraf untuk menghargai jerih payah peserta didik dalam mengerjakan tugas.
Asumsi saya, guru malas memeriksa dan menilai tugas para siswa karena guru menganggap jawaban-jawaban peserta didik benar semua karena berasal dari internet. Mungkin juga karena sang guru memang malas atau terlalu lelah karena menjalani "side job" alias pekerjaan sampingan di malam sebelumnya. Asumsi mana yang benar? Entahlah.
4. Tetap minim berbicara dalam bahasa Inggris
Ini yang mengherankan. Meskipun sudah tertuang jelas, hitam di atas putih, bahwa empat kecakapan berbahasa (four language skills) harus dilaksanakan di dalam proses belajar mengajar bahasa Inggris, namun kenyataan tidak menunjukkan hal tersebut.
Tertuang di dalam kurikulum, program tahunan, program semester, silabus, dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP); tapi ternyata tidak seperti aturan dan perencanaan yang seabrek tadi.
Yang banyak berbicara dalam bahasa Inggris justru guru bahasa Inggris, entah dalam posisi menjelaskan materi maupun ketika membahas tugas yang tuntas dikerjakan peserta didik. Murid, mayoritas diam saja. Menyimak tanpa suara.
Dari doeloe sampai sekarang, dominasi guru bahasa Inggris dalam proses belajar mengajar sangat terpampang nyata.
5. Tetap minim menulis kreatif dalam bahasa Inggris
Menulis, dari doeloe sampai now, hanya sebatas mengerjakan tugas pertanyaan setelah melalui Reading Comprehension, dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan pilihan ganda atau memberikan uraian singkat.
Padahal, di berbagai buku pelajaran, khususnya SMP dan SMA/SMK, saya melihat penjabaran materi ajar untuk pengembangan Kemampuan Menulis (Writing Skill) sangatlah nyata, seperti penjelasan cara menulis artikel Deskriptif (Descriptive), Argumentatif (Argumentative), Narasi (Narrative), n lain-lain. Setelah pemaparan, tugas menulis kreatif tersaji.
Ironisnya, sepanjang pengalaman mengajar les privat dan bertanya kepada murid les, serta mencermati tugas-tugas yang diperoleh mereka, saya mendapatkan fakta bahwa kebanyakan guru bahasa Inggris di SMP dan SMA/SMK jarang atau bisa dikatakan tidak memberikan tugas menulis kreatif, seperti menulis karangan Descriptive, Argumentative, Narrative, dan lain sebagainya.