“Iya pak.” ucap kami sembari mengambil ransel dan gitar yang ada di dalam pos.
“Ini truk Cuma sampai Sigli.”
“Nggak apa-apa pak.”
“Ya sudah naik kalian, semoga kalian sampai ke rumah dengan selamat.”
Setelah bersalaman tanpa berpelukan, tanpa cipika dan cipiki, satu persatu kami menaiki bak truk yang tingginya sekitar 2 m, butuh keahlian ekstra untuk menggapai puncak baknya. Setelah naik ke truk, kami tidak lagi melihat wajah polisi tersebut, namun rupanya akan selalu terkenang dalam ingatan. Tingginya bak truk ini membuat kami tidak bisa melambaikan tangan untuk yang terakhir kalinya. Truk mulai berjalan membawa kami ke Kota Sigli yang akan memakan waktu sekitar 2 jam, lewat google map di Blackberry-ku aku melihat jarak dari sini ke sana sekitar 70 km. Bus ini sedang tidak membawa muatan sehingga kami bisa dengan leluasa merentangkan badan, kami tidak bisa menyaksikan pemandangan di kanan-kiri jalan, yang kami lihat hanyalah birunya langit bersama putihnya awan, sesekali ranting pohon menghampiri pandangan kami. Kami dapat merasakan medan yang dilalui truk ini berkelok-kelok dan naik-turun, satu per satu mata kami mulai terpejam dibelai angin perjalanan, hingga kami tertidur pulas.
*Cerpen pernah dimuat di Radar Kediri (Jawa Pos) pada edisi 21 Mei 2023, Hal. 15.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H