Mohon tunggu...
.terang
.terang Mohon Tunggu... Lainnya - All you can read

Ketika kata jatuh ke mata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Polisi Tanpa Nama

21 Juni 2023   11:41 Diperbarui: 12 Juli 2023   17:54 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Taring

“Bapak mau belok ke kanan dek, kalian turun di sini saja ya.” ucap bapak pemilik pickup kepada kami lewat kaca yang membatasi ruang kemudi dengan bagian belakang.

“Oke Pak.” ucap kami kepada beliau.

Baca juga: Kata Jadi Nyata

Pickup berhenti, satu per satu kami turun ke tepi jalan.

“terimakasih banyak ya pak.”

“sama-sama dek, hati-hati kalian ya.”

Pickup yang baru saja kami tumpangi berlalu pergi, belok ke kanan menuju Jantho. Melihat ada warung makan di seberang jalan, aku meminta ke-2 temanku untuk beraksi. Tenang saja! Kami tidak meminta makanan! Kami hanya meminta air minum untuk dituang ke dalam tupperware yang selalu ku bawa selama di perjalanan.

Senin pagi menjelang siang, 23 Desember 2013, kaki kami masih melangkah di pinggiran jalan lintas Banda Aceh – Medan sambil menatap ke belakang, berharap ada tumpangan selanjutnya.

“Hei dari mana kalian? Jalan sambil bawa gitar.” Tiba-tiba kalimat yang dilafazkan dengan logat Aceh mengejutkan kami, suara yang yang mampu menghentikan langkah kami ini bersumber dari Pos Polantas. Memang seorang polisi yang tengah menyapa kami, tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus juga, tubuhya tidak begitu tinggi, kulit beliau sedikit hitam, dengan sentuhan aura ke-India-an di wajahnya.

“Dari Sabang Pak.” Ucapku.

“Ha??? Jalan kalian dari Sabang?” Polisi itu terkejut.

“Iya pak” Jawab kami sambil tersenyum.

“Serius kalian?”

“Serius pak, jalan tapi sambil numpang-numpang pak.”

“Singgah dulu kalian kemari... pasti capek kalian kan?” Ajak polisi ke posnya.

“Nggak usah pak... terimakasih...” kami menolak dengan halus sambil berharap ada pickup yang melintas.

Berulang kali kami mengacungkan jempol kiri untuk men-Stop pickup yang lewat, namun tidak satu pun yang berhenti. Kebanyakan belok ke arah Jantoe, bukan lurus ke arah Medan. Aku mengecek lewat google map di Blackberry-ku jarak dari sini ke Medan masih selitar 550 km lagi.

Pak polisi tetap setia memperhatikan kami yang masih saja mengemis tumpangan.

“Sudah lah... sini lah kalian dulu... tidak saya apa-apa kan kok.” Dia mencoba merayu kami.

 Hingga akhirnya kami pun luluh, namun tidak pakai lantak. Kami melangkah perlahan menuju pintu pos.

“Sini masuk... duduk kalian dulu...” Tawar Pak Polisi.

Kami pun memasuki pos dan duduk meski sedikit sungkan.

“Siapa nama kalian?”

“Saya Reza pak.” Ucapku.

“Saya Dona pak.”

“Saya Fuad pak.”

“Sebenarnya kalian mau ke mana?” Tanya Pak Polisi.

“Pulang ke Medan pak...” Ucapku.

“Terus... kenapa kalian jalan kaki?”

“Tadi kami numpang pickup pak, Cuma karena pickup-nya belok kanan, jadi kami turun di sini”

“Kalian kehabisan ongkos?”

“Nggak pak, memang misi perjalanan kami ini singgah dari satu kota ke kota lain pak.”

“Ini gitar untuk apa?”

“Hehehe... untuk ngamen pak.”

“Kalian ini masih muda, kenapa tidak kerja saja.”

“Kami masih mahasiswa pak... ini kami lagi liburan.”

Pak polisi menatap kami dengan rasa aneh, mungkin dia belum pernah melihat makhluk seperti kami lewat di depan posnya. Mungkin juga dia bosan, dia mengajak kami masuk agar ada teman ngobrol. Atau jangan-jangan dia mau mengecek SIM (Surat Izin Melalak) kami?

“Capek kalian pasti kan? Sudah makan siang kalian?” tanya Pak Polisi.

“Belum pak.” Jawab kami.

“Ya sudah... beli makan dulu kalian sana.”

Kami senang sekali polisi ini begitu perhatian, namun ternyata dia PHP (Pemberi Harapan Palsu). Awalnya kami menyangka kalau dia akan mentraktir kami yang gembel ini, ternyata dia hanya menyuruh kami untuk membeli makan, tapi uangnya dari kami, sungguh kami terlalu berharap.

Dilihat dari fengshuiya, posisi poslantas ini tergolong ke dalam “Tusuk Sate”, yaitu berada di pertemuan 3 jalan. Pos ini menghadap ke Simpang Jantho, kalau ke kanan pos menuju Banda Aceh, sedang ke kiri menuju Medan.

“Nggak usah semua kalian pergi belinya, sebagian di sini aja.” Ucap Pak Polisi yang sepertinya memang butuh teman bicara.

“Dimana ada jual nasi yang murah dan enak di sini pak?” Tanya Dona.

“Dari sini kalian belok kiri ke bawah, setelah jembatan nanti ada rumah makan.”

“Oke pak.”

“Eh... ada uang kalian kan?” Si Polisi berlagak basa-basi lagi.

 “Adalah pak.”

Dona mengajak Fuad untuk bergegas. Sepertinya mereka senang sekali bisa meninggalkan poslantas ini. sementara aku? Aku tidak tahu apa yang bakal diperbuat polisi ini terhadap ku.

“Jalan kalian?” Tanya Polisi.

“Iya pak.”

“Lumayan jauh itu, naik motor saya saja kalian, tapi jangan dibawa kabur ya...”

Melihat motornya berkopling, mereka lebih memilih jalan kaki karena tidak bisa menggunakannya. Aku pernah belajar mengendarai motor berkopling, yaitu vespa yang pernah dimiliki almarhum ayah, tapi ketika masih SMA, setelah itu tidak pernah lagi, bisa dibilang aku juga canggung kalau menggunakan motor berkopling.

Fuad dan Dona berlalu, sementara aku menjadi tawanan di sini. Aku duduk di bangku beton sedang Pak Polisi duduk di bangku yang berdekatan dengan meja dan jendela, dari jendela yang menghadap ke Simpang Jantho tersebut sesekali ia memantau kendaraan yang lalu lalang.

“Meski pengamen, keren juga handphone-mu ya.” Ucap Pak Polisi saat melihat ku menggenggam Blackberry seri Gemini.

“Hahaha... nggak lah pak, ada lagi kok yang lebih keren.”

“Handphone-mu keren, tapi masak kau nggak ada uang buat naik bus ke Medan?”

“Hehehe... bukan gitu pak.”

“Sudahlah... nanti aku stop-kan bus ke Medan buat kalian, biar ku tawar murah.”

“Enggak usah repot-repot pak, nanti cepat kali kami sampai ke Medan.”

“Memang aneh lah kalian ini, oh ya... kalian bilang baru dari Sabang, coba lihat aku dulu fotonya.”

Haduh.. bapak ini niat banget, ntar ngences lagi lihat koleksi foto kami. Aku buka galeri handphone, aku menjelajah dari satu foto ke foto lainnya, hingga aku berlabuh pada foto saat kami sedang di tugu 0 km Indonesia, lalu ku tunjukkan foto tersebut kepada Pak Polisi. Aku pikir dia hanya melihat saja, ternyata jemarinya mulai liar menelusuri foto yang lain.

“Darimana kamu dapat ini???” Pak Polisi histeris melihat sesuatu yang tengah ku pegang di foto.

“Di pinggir jalan pak.”

“Hati-hati kamu ngambil itu, kalau ketahuan bisa ditembak kamu”

Kalian pasti penasaran itu apa ya? Sabar ya, nanti kalian juga bakal tahu.

“Dimana barangnya sekarang?” Tanya Pak Polisi.

“Saya tinggal di sana pak.”

Padahal benda yang ia maksud ada di dalam tasku, syukurnya si bapak tidak menggeledah tasku. Baiklah, akan ku katakan apa sebenarnya benda tersebut. Bendanya terbuat dari kain, baju? Bukan! Celana? Bukan! Saputangan? Juga bukan! Baiklah akan ku beri tahu. Benda ini merupakan sehelai kain yang berukuran sekitar 50 x 30 cm, dibagian tengahnya secara horizontal bertuliskan “ACEH” dengan warna putih, kain tersebut didominasi oleh warna merah, pada bagian atas tulisan terdapat garis hitam horizontal yang diapit dua garis putih, begitu juga pada bagian bawah tulisan, pada bagian kiri kain terdapat tulisan vertikal “PARTAI” dengan warna hitam.

Pak Polisi masih asyik dengan handphone-ku, sepertinya dia belum puas menelusuri foto-foto kami.

“Ada filim disini?” Ucap Polisi.

Aku bisa membayangkan betapa bosannya polisi ini di sini, tanpa ada televisi di pos. Handphone yang ia miliki masih kalah jauh dengan punyaku, sepertinya hanya bisa untuk sms dan telepon-an, upsss ada satu lagi! Untuk bermain game ular. Aku tidak bermaksud menghina, begitulah kenyatannya, sepertinya beliau polisi yang jujur. Aku yakin dia sudah bosan menyaksikan film berjudul “LALU LINTAS” lewat layar kaca yang menghadap ke jalan raya.

“Film apa pak?” Tanyaku

“Film itu lah... jangan pura-pura tidak tahu.”

“Film itu lah apa pak?”

Sampai disini aku sudah mulai paham yang ia maksud. Film Doraemon, yaps salah! Kalian juga pasti tahu lah. Aku coba mempertegas lagi.

“Film porno” jawab pak polisi sedikit malu-malu.

Aku sangat terkejut seorang polisi menanyakan hal seperti itu kepadaku, memangnya aku agen film biru? Aku jadi semakin takut berdua-duaan dengannya di sini, semoga kedua temanku lekas kembali.

“Nggak ada lah pak.” Jawabku

“Serisu kamu? Saya cek ya!” Si bapak mencoba menggertak.

“Iya pak... silahkan dicek.”

Beliau menginvestigasi galeri handphone-ku, dia terlihat antusias sekali. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran polisi ini. Apakah dia memang sedang benar-benar berambisi untuk menonton Hot Film itu? aghhh... masak seorang penegak hukum berkelakuan begitu? Mungkin beliau sedang menguji apakah aku ini pemuda yang baik atau yang sakit.

Beliau memberikan kembali handphone-ku setelah tidak menemukan apa yang ia cari. Dia tidak tahu kalau aku sukanya nonton Doraemon, Shinchan, Tom and Jerrry, Dragon Ball, Ninja Hattori, Chibi Maruko-chan, P Man, Scooby-Doo, hingga Detektif Conan.

Di depan pintu telah berdiri 2 orang pemuda dengan menenteng sesuatu di tanganya, akhirnya Fuad dan Dona kembali setelah pak polisi berulang kali mengintrogasiku.

“Lama kali kalian? kasihan kawanmu ini nunggu.” Ucap Pak Polisi.

“Warung yang pertama dapat tutup pak, jadi kami agak ke sana lagi” jawab Dona

“Ya sudah makan lah kalian dulu.”

Seperti biasa nasi yang dibeli 2 bungkus, kami mengkonversi konsep one for all menjadi two for tree. Di bangku beton ini kami menggelar menu makan siang.

“Mari makan pak...” Ucap kami kepada Pak Polisi.

“Iya silahkan... loh, berapa bungkus kalian beli nasinya?”

“2 bungkus pak.”

“Wah... kalian ini hemat apa romantis?”

Ketika kami tengah lahap menyantap rezeki yang dianugerhkan Allah, beliau juga tengah asyik menelepon seseorang yang sepertinya teman beliau.

“Ya... aku lagi di pos, ini aku kedatangan tamu jauh. Ada orang Medan baru pulang dari Sabang terdampar disini, karena aku lihat mereka kelaparan jadi aku kasih aja mereka makan.” Ucap Pak Polisi dengan wajah tidak berdosa sambil melirik ke kami.

Kami makan sambil tersenyum dengan penuh heran melihat kelakuan polisi yang satu ini, sejak awal beliau emang terkesan aneh. Bagi dia kami juga aneh, apakah ini yang dinamakan jodoh? Ketika orang aneh dipertemukan dengan yang aneh juga. Dengan penuh percaya diri dan tanpa rasa berdosa, dia mengaku telah membelikan kami makan ke temannya, padahal kami membelinya dengan hasil keringat sendiri, maksudnya hasil keringat bertiga.

“TRRRRRUTTTTTHHHHHH!!!!!” Tiba-tiba terdengar suara yang menggemparkan kekhusyukan makan kami.

Tidak usah ku jelaskan itu bunyi apa, yang jelas bunyi cempreng dan menggelegar itu keluar dari lubang anus Pak Polisi yang masih asyik mengobrol lewat handphone-nya, jika kalian sudah tahu simpan saja di dalam hati. Seketika kami bertiga saling tatap-tatapan dengan mulut masih menguyah makanan, seakan tidak percaya akan yang baru saja terjadi. Seumur hidup baru kali ini aku mendengar suara “angin” seorang polisi, mengalahkan nyaringnya bunyi pruit. Kami hanya mampu menahan tawa dengan fenomena langka ini, meskipun demikian nafsu makan kami tidak berkurang sedikitpun.

Urusan lambung sudah kelar, sekarang tinggal urusan keberangkatan kami ke kota selanjutnya.

“Sudah kenyang kalian?” Tanya Pak Polisi.

“Alhamdulillah sudah pak.”

“Jadi kalian mau balik hari ini atau besok?”

“Hari ini lah pak.”

“Sudah kalian tenang saja di sini, nanti saya stop-kan bus tujuan Medan.”

“Aduhhh... nggak usah pak.”

“Sudah nggak apa-apa, nanti saya tawar biar kalian dikasih diskon.”

Padahal sudah sejak awal kami katakan kalau misi perjalanan kami ini adalah menumpang dari satu kota ke kota berikutnya, mungkin ini yang dikatakan kalau polisi itu mengayomi masyarakat. Sungguh jarang orang sepertimu pak, sudah menyedikan kami makan, maksudnya tempat untuk makan, kini kau ingin menyediakan kendaraan kami pulang ke kota halaman.

“Tuh kalian lihat... kalau di Aceh orang lebih suka pakai peci dari pada helem.” Ucap beliau dengan pandangan keluar jendela.

“Kenapa gitu pak?” tanyaku.

“Iya, kalau di-stop tahu mereka jawab apa?”

“Apa pak?”

“Islam kan nganjurin pakai peci bukan pakai helem.”

“HAHAHA” kami tertawa ngakak, selain nyebalin polisi ini juga menghibur, bapak lucu deh, cocok nih sampingannya jadi pelawak.

Pak polisi menepati janjinya, dia men-stop bus tujuan Banda Aceh – Medan yang besar dan megah. Kami yang melihat aksinya dari dalam pos pun sontak keluar. Dia tengah melakukan negosiasi dengan kernet bus menggunakan bahasa aceh.

“Sini... sini...” Ajak Pak Polisi agar kami naik ke bus.

“Nggak usah pak.” Kami menolak dengan lembut.

“Sudah tidak apa-apa, murah ini... sudah saya tawar.”

“Ayo-ayo dek langsung ke Medan ini.” Kernet bus menambahi.

“Nggak pak... terimakasih.”

Pak polisi berbincang lagi dengan kernet dalam bahas Aceh, lalu bus tersebut tancap gas.

“Haduh kalian ini kenapa sih... kalu naik sudah cepat kalian sampai Medan.” ucap Pak Polisi.

“Bukan begitu pak... kami maunya numpang-numpang aja.”

“Itu tadi sudah saya tawar murah ongkosnya, memang duit kalian ada berapa sebenarnya?”

“Bukan masalah duitnya pak, hehehe...”

Karena takut kesorean, kami pun mulai bergantian melakukan pen-stop-an pickup hingga truk. Tidak satu pun jempol kami yang mujur, kebanyakan kendaraan yang kami stop berbelok ke arah Jantho, sama seperti pickup yang menurunkan kami di sini.

Melihat kami yang masih terus berjuang, Pak Polisi pun berkata “Sudah tidak usah kalian stop, itu belok ke Jantho.”

Apa yang dikatakan beliau benar-benar terjadi. Dikau hebat pak, ternyata bisa melamar, eh meramal juga.

“Sudah... masuk saja dulu ke dalam” Ucap Pak Polisi.

Saat kami sudah di dalam pos beliau berkata lagi “Saya hari-hari di sini, saya tahu mana kendaraan yang lurus dan akan belok ke Jantho.”

Polisi yang satu ini benar-benar menjiwai profesinya sebagai Polisi Lalu Lintas, sepertinya dia bisa membaca pikiran para pengemudi.

“Jadi kalian memang benar-benar tidak mau naik bus?” Pak Polisi yang belum yakin ini masih menguji ke-istiqomah-an kami.

“Iya pak.” Jawab kami serentak

“Kalian tenang saja disini, nanti saya stop-kan truk buat kalian, mau kan?”

“Mau pak” Jawab kami.

Sembari menunggu jemputan kami datang, beliau terus mengajak kami bercerita, sungguh orang yang ngesalin, lucu, dan suka membantu. Jujur di dalam hati aku resah kalau kelamaan disini, apalagi lagi aku masih ada keraguan kalau polisi ini bisa menyediakan kendaraan untuk kami.

“Oh iya pak, boleh kami berfoto dengan bapak.” Ucapku.

 “Tidak usah, nanti kalian unggah di Facebook, terkenal pula saya.” Jawabnya dengan nada bercanda.

“Nama bapak siapa ya?” tanyaku yang sama sekali tidak melihat namanya di seragam. Kalau di sekolah sudah kena hukum bapak, pakai seragam tapi tidak mencantumkan nama.

“Rahasia itu, nanti kalian cari pula Facebook saya, lalu kalian sebarluaskan tentang saya.”

Sepertinya Polisi Tanpa Nama ini memang enggan membeberkan identitasnya.

Beliau seketika berdiri dan berkata “Oke, kalian di sini saja, saya mau keluar dulu mencari kendaraan untuk kalian.”

“Baik pak.”

Tidak perlu waktu lama bagi beliau untuk memesankan tumpangan, seketika truk yang berukuran panjang sudah berhenti dihadapannya. Kami merasa naik golongan, sebelumnya kami hanya naik pickup dan truk berukuran kecil. Terlihat beliau tengah berdialog dengan asisten supir dengan bahasa Aceh, mungkin beliau mengatakan “Tolong bawa dulu gembel-gembel ini ke kota asalnya!”

“Ayo naik kalian.” Ajak Pak Polisi kepada kami yang tengah berdiri di depan pos.

“Iya pak.” ucap kami sembari mengambil ransel dan gitar yang ada di dalam pos.

“Ini truk Cuma sampai Sigli.”

“Nggak apa-apa pak.”

“Ya sudah naik kalian, semoga kalian sampai ke rumah dengan selamat.”

Setelah bersalaman tanpa berpelukan, tanpa cipika dan cipiki, satu persatu kami menaiki bak truk yang tingginya sekitar 2 m, butuh keahlian ekstra untuk menggapai puncak baknya. Setelah naik ke truk, kami tidak lagi melihat wajah polisi tersebut, namun rupanya akan selalu terkenang dalam ingatan. Tingginya bak truk ini membuat kami tidak bisa melambaikan tangan untuk yang terakhir kalinya. Truk mulai berjalan membawa kami ke Kota Sigli yang akan memakan waktu sekitar 2 jam, lewat google map di Blackberry-ku aku melihat jarak dari sini ke sana sekitar 70 km. Bus ini sedang tidak membawa muatan sehingga kami bisa dengan leluasa merentangkan badan, kami tidak bisa menyaksikan pemandangan di kanan-kiri jalan, yang kami lihat hanyalah birunya langit bersama putihnya awan, sesekali ranting pohon menghampiri pandangan kami. Kami dapat merasakan medan yang dilalui truk ini berkelok-kelok dan naik-turun, satu per satu mata kami mulai terpejam dibelai angin perjalanan, hingga kami tertidur pulas.

*Cerpen pernah dimuat di Radar Kediri (Jawa Pos) pada edisi 21 Mei 2023, Hal. 15.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun