Panorama kerobohan dinding penahan tanah alias turap seketika meruntuhkan pikiran dan perasaan saya. Saya seperti orang blo'on di hadapan pohon-pohon jati yang berdaun rontok.
Di samping kiri turap yang roboh berbatasan langsung dengan turap setinggi satu meter dan lebarnya satu meter yang belum selesai dikerjakan. Turap yang terjengkang dan terpatah-patah ke sebagian lahan kebun jati itu berlebar bawah 1,2 meter dan dan berlebar puncak 50 centimeter.
Batu-batu bulat dan batu pecah tampak di sekujur badan dengan sebagian sisa tanah timbunan. Dua pohon jati tumbang dan tertindih. Beberapa pipa PVC sepanjang 50 cm berserakan di sekitarnya.
Sementara dari arah kiri terdapat parit sempit yang sedang meluber dan mengalirkan kekeruhan yang melintasi rekahan badan turap yang tumbang. Dan ke arah hulu atau mendekati sumur warga, air merendam hingga lima-enam meter, sehingga sumur tidak akan terjangkau.Â
Dari atas atau di atas timbunan tanah yang retak saya juga merasa seolah tulang-belulang saya dilucuti. Seluruh jiwa-raga saya seolah dicengkeram ketidakberdayaan, selain mata yang bergerak seperti seterika.
Baru kali ini saya melihat sebuah realitas kegagalan konstruksi yang fatal, dan merupakan bagian dari pekerjaan kami, meski saya belum bergabung ketika pekerjaan turap dilaksanakan. Sebuah tembok raksasa yang luluh-lantak hanya dalam satu kali hantaman hujan yang lebat. Sungguh fatal.
***
Di jalan-jalan tanah menampilkan permukaan genangan yang berkilau-kilau pada sudut matahari sekitar pkl. 09.00. Dua dumptruck terjebak genangan di jalan tanah dekat warung proyek.
Kopi hitam di warung proyek seperti air tawar-panas yang sekadar mengusap bibir dan rongga mulut saya. Dalam benak masih terpampang turap yang tumbang dan air keruh yang meluber.
"Tadi malam saya sampai kaget dan bingung, Pak," ungkap Bang Kumis si pemilik warung proyek. "Hujan reda, ada suara roboh dan menggetarkan warung."
"Saya juga ketakutan, Pak. Takutnya warung ini ikut roboh karena bergetar," timpal istrinya, Mbak Yatmi. "Paginya saya mencari sumber suara. Ternyata di sana, di dekat robohnya Pak Demun dulu."
Saya tidak bisa menanggapi keduanya, juga ketika Bang Kumis menceritakan bahwa ia sempat turun melalui jalan setapak di kebun jati yang berseberangan dengan turap yang kokoh untuk melihat kondisi badan turap yang masih berdiri tetapi ada satu retakan hingga ke bawah.
Sementara suhu gerah menerpa warung proyek yang berjarak sekitar lima puluh meteran dari turap yang roboh. Keringat mengalir deras dari dahi dan sebagian badan. Kaus kerah saya basah.
Saya meraih gelas kopi. Saya ingin menyeruput sedikit untuk menelan sebagian kepanasan kepala dan kekosongan pikiran saya.
Sebelum singgah ke warung, saya juga turun ke sana untuk mengukur panjangnya turap yang roboh. Sekitar dua puluh meter. Dan sekitar 90 kubik pasangan batu belah dan batu bulat atau 192 ton turap itu tamat riwayatnya dengan didului timpaan dan suatu getaran. Saya benar-benar ingin menelannya melalui seruputan kopi.
Turap yang roboh itu berarti pula akan memperpanjang masa pekerjaan Cut and Fill karena sisa potongan tanah belum bisa ditimbunkan ke bagian turap yang belum terpasang lagi. Pekerjaan Cut and Fill di lahan lokasi seluas lebih dari 12 hektare ini sudah berlangsung sejak lima bulan saya belum bergabung.
Dua bulan lalu atau lima bulan pekerjaan Cut and Fill dilaksanakan, saya menanyakan perihal sisa pekerjaan itu, jawab Pak Odang, "Tinggal sedikit." Jawaban serupa juga disampaikan oleh Sarwan dan Bu Lia.
Ketiganya tidak pernah secara terbuka memberi tahu mengenai luasan secara perencanaan melalui peta lokasi. Meski begitu, saya pernah menengok selembar peta lokasi yang selalu dibawa Pak Odang dalam tas kulit buluknya.
Saya teringat pada kata-kata Sarwan ketika saya baru tiba di rumahnya yang akan saya tempati sementara. Katanya, pekerjaan Cut and Fill sudah biasa dikerjakannya. Peralatan ukur sudah dibelinya, dan sudah ada orang yang mengelolanya, bahkan berpengalaman puluhan tahun, yakni Pak Odang.
"Sekarang tim kita sudah lengkap, Ji," pungkas Sarwan tempo hari.
Saya hanya tersenyum karena lambatnya pekerjaan Cut and Fill tetapi "sekarang tim kita sudah lengkap". Apalah gunanya "lengkap", jika pekerjaan awal itu saja belum rampung sampai melewati waktu lima bulan. Lha wong dulu saya pernah mendapat informasi dari kawan lainnya mengenai waktu untuk pekerjaan Cut and Fill yang hanya 2,5 bulan di lahan 14 hektare, bahkan cukup 1 minggu di lahan 1 hektare.
***
Dampak kopi yang nyata adalah peningkatan daya konsentrasi saya, terlebih setelah melihat excavator yang tengah mogok di samping warung karena kehabisan bahan bakar tetapi sisa pekerjaan disimpulkan rekan-rekan adalah "tinggal sedikit". Â Dan yang paling nyata adalah saya mengeluarkan kalkulator dari tas ransel.
"Waduh, cuma segelas kopi, Bapak sudah menghitung pakai kalkulator," seru Bang Kumis yang sedang menjemur sepatu but di pinggir warung. "Coba tambah dengan bakwan, kerupuk, keripik, dan lain-lain, Pak, biar kalkulatornya bisa mikir lebih keras."
"Ini sekalian ngitung utang saya, Bang."
"Ah, Bapak bisa aja," sahut istrinya, Mbak Yatmi. "Bapak belum buka rekening warung di sini."
"Tapi di warung lain, 'kan, ada, Mbak?"
"Ha-ha-ha." Bang Kumis tertawa.Â
Saya pun mulai berhitung. Saya anggap bahwa masih ada 25% lahan yang belum tergarap. 25 persen itu adalah deretan E1 sampai dengan E15 yang masih berupa tanah asli alias belum tersentuh oleh baket excavator. Dari blok terdekat, yaitu Blok E, terlihat tanah asli setinggi kira-kira 3,5 meter dari permukaan tanah Blok E. Â Â
25 persen dari 12 hektare  sama dengan 3 hektare, pikir saya. Kalau 75 persen atau 9 hektare dikerjakan selama 5 bulan atau 1,8 hektare per bulan, 3 hektare bisa satu  bulan lebih.Â
Satu bulan lebih dengan satu unit excavator saja. "Lebih" itu bisa "lebih dua-tiga bulan" karena excavator masih dialihkan dengan pekerjaan pembuatan jalan dan pembentukan blok-blok dari proses potong ataupun timbunan.
Sudah terlalu lama pekerjaan dengan "tinggal sedikit" itu, dan kapan bisa selesai dengan adanya turap yang roboh, pikir saya lagi.
Lalu sekilas saya menghitung biaya. Dalam satu hari saja biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp3,6 juta untuk urusan excavator. Sementara harga jasa pekerjaan Cut and Fill per meter persegi...
Saya kewalahan sendiri, lantas menyerah saja. Saya menutup layar kalkulator, lalu mengambil gelas kopi. Saya mau bersantai saja dengan menghadap ke arah jalan beton kampung, dimana jarak antara warung proyek dan jalan itu sekitar seratus meter.
Saya menengok arloji. Baru pkl. 09.15. Masih pagi, meski suhu sudah gerah sekali. Waktu bersantai bisa panjang.
Belum sempat pikiran bersantai, saya melihat beberapa warga sedang berbondong-bondong menuju kantor pemasaran. Lima belas orang, tepatnya. Segon dan Muin berada di posisi depan.
Mata dan telinga saya fokuskan pada aksi mereka alias warga setempat. Saya menduga bahwa aksi mereka berkaitan dengan musibah turap yang roboh dan apa dampaknya. Kalau sebuah pelaksanaan pembangunan saja bisa berdampak, khususnya dampak buruk, apalagi camur-tangan alam yang langsung membuahkan musibah.
Tidak berapa lama kemudian muncul Pak Semprul dari pintu kantor pemasaran. Ya, paling tidak, Pak Semprul mewakili pengembang di lokasi proyek ini. Zaenab tidak mungkin meladeni mereka, karena karyawan bagian pemasaran ini dikhususkan untuk meladeni calon konsumen atau pengunjung yang sedang mencari calon rumah baru.
***
Aksi sebagian warga setempat sudah bubar. Saya masih menghadap ke luar warung proyek dengan pandangan bergerak dari jalan masuk lokasi ke area lokasi yang bergundukan tanah berbatu dan genangan air di beberapa permukaan lahan blok atau kavling.
Sudut mata saya menangkap gerakan sebuah motor matik sedang menuju ke warung proyek melewati jalan tanah di bagian kiri lokasi. Saya pun menoleh ke sana. Segon dan Muin berboncengan.
Belum satu bulan saya mengenal keduanya. Segon adalah pemuda yang dikenal sebagai bagian dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi masyarakat setempat (ormas) tingkat kecamatan dengan jabatan "Sekretaris Jenderal". Sedangkan Muin hanya pemuda biasa, tetapi cukup disegani di wilayah ini.
Segon atau Muin bisa saja disebut juga sebagai "preman lokal". Di beberapa proyek usang, saya biasa berkawan dengan orang-orang seperti keduanya, meski tidak terlalu dekat. Baik material yang datang maupun alat kerja bernilai tertentu merupakan bagian yang "wajib" memberikan "kompensasi" bagi mereka. Â
Akan tetapi, karena peristiwa robohnya turap tadi malam dan komplain tadi pagi, saya merasa "agak" lain suasananya nanti. Saya tidak berani menduga yang negatif, melainkan menunggu kedatangan Segon dan Muin.
Jalan tanah yang dilintasi Segon masih becek dan sebagian tergenang. Itu satu-satunya menuju warung proyek dari arah kiri. Ada juga dari arah depan yang tersambung dari jalan utama yang sudah siap dilapisi aspal, tetapi kondisinya jauh lebih parah.
Sesampai di depan warung, motor berhenti. Saya pun menyambut keduanya dengan senyuman. Saya sudah menganggapnya seperti kawan.
"Eh, Mas Oji ngopi di sini, panas-panas."
"Biasa-lah, warung terdekat, Don."
Sebentar kemudian keduanya memesan es rasa jeruk dan mangga pada Mbak Yatmi. Mbak Yatmi segera mengambil sasetan sebuk rasa jeruk dan mangga yang tergantung berenteng-renteng di palang bambu depan dekat susunan gelas.Â
"Tadi kami ngobrol dengan Pak Semprul," ungkap Segon tanpa menunggu banyak waktu menjadi basa-basi. "Pak Semprul menghubungi Pak Demun, lalu saya dihubungkan dengan Pak Demun."
Sedon menceritakan obrolannya dengan Pak Demun. Kata Sedon, Pak Demun tidak bisa datang. Kata Sedon lagi, turap yang roboh menyebabkan kondisi parit mungil terganggu. Air tidak bisa mengalir ke tempat semestinya, sehingga melewati kebun jati, halaman, dan sebagian parkir di dalam rumah warga.
Kemudian Segon mengatakan pada Pak Demun bahwa dampak pembangunan dengan potong dan timbun menyebabkan air membeludak pada satu arah dari satu gorong-gorong, mengalirkan lumpur ke parit kecil dekat jembatan kecil, dan singgah ke lantai rumah sekitar parit.
Selanjutnya, setiap mendung muncul, sebagian warga langsung khawatir pada nasibnya selama berada di rumah. Sebelum lahan dibuka oleh pengembang, kata mereka, hujan merupakan waktu paling menyenangkan untuk tidur nyenyak.
"Terus, apa tanggapan Pak Demun, Don?"
"Katanya, turap yang roboh itu murni kesalahan kontraktor."
"Kesalahan kontraktor?"
Saya menggeleng-geleng sambil membayangkan wajah Pak Demun yang sudah busia lebih delapan puluh tahun dengan semua rambut yang beruban, suara bergetar, dan gerakan agak gemetar..
"Ya, Mas. Lalu saya dan Muin ke rumah Bu Lia. Bu Lia membuka gambar bikinan Pak Demun. Kalau saya kurang percaya, saya diminta Bu Lia berbicara dengan Mas Oji, karena Mas Oji yang lebih mengerti soal struktur."
"Kalau mengingat proses pembangunannya, saya tidak tahu, karena saya belum bergabung."
"Ya, Mas Oji datangnya belum satu bulan ini."
"Saya hanya bisa menerangkan dalam hal teknis. Bagaimana?"
"Coba, Mas, biar saya tambah ilmu pengetahuan."
Saya pun menjelaskan pada Sedon sekaligus Muin, Bang Kumis, dan Mbak Yatmi mengenai hal-hal teknis. Pertama, mengenai kondisi tanah. Kondisi tanah di pinggir parit sempit yang menjadi penumpu turap merupakan tanah yang kurang memadai untuk menumpu turap yang berkaki sedalam 80 centimeter dan berlebar 1,2 meter.
Kedua, gambar turap dibuat sendiri oleh Pak Demun. Perihal kondisi daya dukung tanah, saya yakin, Pak Demun tidak melakukan tes sounding tanah terlebih dulu untuk menentukan ukuran turap. Berikutnya perihal tanah timbunan, hujan, beban, gaya ini-itu, dna seterusnya.
"Sejak awal saya bergabung, saya tidak melihat adanya gambar kerja yang dibuat oleh konsultan perencana. Kalau ada konsultan perencana, persoalan struktural bisa diperkirakan dengan perhitungan sampai membentuk sebuah turap seperti apa. Lha ini, digambar sendiri oleh Pak Demun secara manual, dan pelaksanaannya dikerjakan oleh kontraktor."
"Berarti..."
"Berarti lucu."
"Lucunya?"
"Karena pengembang tidak menggunakan jasa konsultan perencana."
"Itu saja lucunya?"
"Lucunya lagi adalah anak dan menantunya Pak Demun itu insinyur Sipil. Soal tanah dengan segala perhitungan mekanikanya, pasti keduanya bisa menghitung."
"Lucunya di mana, Mas?"
"Pak Demun tidak mau mempercayakan persoalan teknis kepada anak dan menantunya. Lha, untuk apa Pak Demun menguliahkan anaknya di Teknik Sipil, 'kan? Mending dulu kuliah di bidang cara memetik buah pepaya saja. Punya menantu mendingan dari jurusan teknik makan buah pepaya."
"Ha-ha-ha! Mas Oji bisa aja."
***
"Pak Demun menyalahkan kontraktor pelaksana". Apakah dia tidak sadar pada umurnya, kemampuan berpikirnya, latar pendidikan anak dan menantunya, dan prosedur teknis berkaitan dengan desain struktur turap?
Saya jengkel sekali dengan jawaban Pak Demun itu dan hal-hal sekitarnya. Mujurnya Pak Demun tidak langsung berbicara dengan saya. Kalau berbicara dengan saya begitu, tidak mustahil saya akan membalikkan persoalan ke awal lagi, dan meminta dia membuat perhitungan secara teknis di depan saya.
Dampak kopi bercampur kejengkelan dan wajah Pak Demun, jantung saya bergerak lebih cepat. Saya berusaha meredakannya, karena percuma memperbesar kejengkelan, karena orang yang paling menjengkelkan itu sama sekali tidak berada di depan saya.
Untuk lebih mengurangi gerakan jantung yang membuat debaran lebih kencang daripada kondisi normal, saya mau pulang lebih awal saja. Lalu saya menengok arloji. Pkl. 11.00.
Saya urungkan niat pulang awal. Saya tidak nyaman meninggalkan lokasi pada waktu baru setengah hari. Kalau jam tiga sore, saya pasti pulang.
Saya pun bangkit. Lebih tiga jam saya hanya duduk, dan sedikit bergeser untuk duduk lagi. Saya merasa pantat saya semakin tipis digerogoti tempat duduk yang berbahan papan.
Lalu saya memutar bada ke arah jalan masuk warung proyek. Di sana Pak Semprul sedang berjalan ke warung proyek.
Aduh, si Semprul malah muncul, pikir saya.
Saya tunggu saja kedatangan Pak Semprul, meskipun sempat terpikirkan untuk menghindar. Saya malas berbicara dengan oknum pensiunan aparat itu. Logikanya payah tetapi lagaknya seperti paling memahami banyak hal.
***
"Begini, Mas Oji," kata Pak Semprul. "Terlepas dari sebab-musabab turap roboh itu, kira-kira Mas Oji punya solusi, tidak?"
"Solusi yang bagaimana, ya?"
Saya malas memikirkan solusi, apalagi menyampaikannya pada Pak Semprul. Jangankan soal struktur, lha wong soal kemiringan galian saluran saja si Semprul tidak mengerti.
"Mas Oji arsitek nih; insinyur. Paling tidak, Mas Oji memiliki solusi secara teknik agar ada pengganti turapnya."
"Waduh, saya tidak mau repot berpikir, Pak. Toh sejak semula Pak Demun tidak menggunakan jasa konsultan perencana. Pokoknya, gitu deh."
"Oke, oke, oke. Berarti..."
"Saya mau menyeruput kopi saja," serobot saya.
Menyeruput kopi saja. Sederhana dan pragmatis. Tidak perlu repot menanggapi Pak Semprul dengan memikirkan perihal solusi. Tidak perlu menjadi sok pintar. Toh, dalam lingkungan keluarga Pak Demun sudah tersedia insinyur Sipil, bahkan dua orang. Apa lagi yang kurang untuk mendapatkan solusinya?
Selain itu, menurut saya, sebaiknya ada upaya Pak Semprul untuk menindaklanjuti kasus turab roboh ke ranah hukum. Ya, biasa-lah, sebagai pensiunan aparat yang bisa dan biasa menyelidiki dan memberi garis kuning sebagai batas untuk tindak penyelidikan, mungkin kemudian bisa mendapatkan kepastian secara hukum sehingga bisa mendapat kepastian mengenai pihak yang bersalah dan berbenar.
***
Selama lebih seminggu pasca-turab roboh dan gerudukan warga setempat, saya hanya sesekali menemani empat pekerja perbaikan turap yang pendek. Beberapa kerusakan akibat disenggol orang maupun ternak warga sekitar. "Menceboki kerjaan orang", istilah di proyek.
Tidak terlalu repot, tetapi membosankan bagi saya yang menunggui mereka, karena sepanjang sekian puluh meter hanya itu-itu saja yang dikerjakan. Sama sekali tidak ada variasi pekerjaan selama lebih satu minggu ini.
Sudah begitu, posisi kami berada di lahan terbuka dengan tanah dan bebatuan. Matahari bisa memanggang kami secara langsung. Baru kini dan di sini saya mengalami kondisi alam begini.
Selama itu pula saya belum lagi melihat kehadiran Pak Demun di lokasi proyek. Terakhir saya melihat serta berkomunikasi secara langsung dengan bos pengembang ini adalah di teras kantor pemasaran dengan obrolan soal turap yang kurang "elok" di matanya.
Sarwan pun belum mengabarkan soal kedatangan Pak Demun. Padahal, sebagaimana informasi yang pernah disampaikan oleh Bu Lia, "Biasanya dua kali dalam seminggu Pak Demun datang ke lokasi."
Juga infromasi dari Sarwan, "Proyek ini jadi anak emasnya Pak Demun."
Sarwan menambahkan bahwa lahan proyek ini paling besar di antara proyek-proyek perumahan Pak Demun sebelumnya. Sebelum yang lebih dua belas hektare ini, Pak Demun telah lebih lima tahun bergerak di bidang properti berupa rumah sederhana, dan paling luas hanya lima hektare.
Ah, terserahlah, pikir saya. Toh saya "pendatang baru". Toh proyek perumahan ini kelak bukan milik saya atau keluarga saya. mendingan saya mendengarkan lagu-lagu dari radio FM.
Sambil melangkah ke arah sebuah turap pendek yang berdekatan dengan sebuah pohon yang rindang, saya membuka tas mungil untuk mengambil ponsel pintar sekaligus memasang earphone. Saya mau bersantai dengan tenang dan teduh untuk membungkam kebosanan yang selalu mengusik saya.
Sebenarnya saya bisa saja meninggalkan keempat pekerja tadi dengan bersantai di warung proyek, bahkan lebih asyik di sana. Menikmati beberapa ragam makanan khas kampung dan kuli, menyeruput kopi, menonton televisi, dan ngobrol. Pulang pun bisa lebih awal, maksimal sampai pkl. 17.00.
Ya, apa yang perlu repot untuk saya pikirkan lagi? Paling hebat, bikin laporan mingguan, baik mengenai progress pekerjaan maupun keberadaan material, alat kerja, dan sekitarnya. Itu saja, sih.
"Kerja denganku itu santai, Ji," kata Sarwan yang saya ingat ketika baru sampai di rumahnya tempo hari. Makanya, ya, saya mau bersantai saja selagi belum ada pekerjaan yang benar-benar menuntut adanya konsentrasi yang tinggi dan variatif.
Duduk di sebuah turap pendek dan berpayung dedaunan kedondong hutan, saya menemukan lagu-lagu Barat '80-an yang disiarkan oleh sebuah stasiun radio FM. Banyak kenangan pada tahun-tahun masa puber awal saya, khususnya ketika masih tinggal di kampung halaman. Dengan kenangan serta ingatan tentang cita-cita masa depan, saya sering termotivasi untuk selalu membangkitkan semangat hidup yang penuh perjuangan.
Perjuangan? Saya tersenyum sendiri sambil menengok arloji. Pkl. 11.20. Lalu saya mengalihkan pandangan ke arah hamparan lahan terbuka dengan gundukan tanah berbatu bulat.
Sebuah mobil hitam sedang melintas di tengah lokasi. Saya mengenalnya. Mobil hitamnya Pak Demun.
Mobil itu membelok ke kanan. Saya menduga bahwa Pak Demun akan berhenti di lokasi paling ujung, yaitu Blok I dan Blok J.
Benar. Mobil itu berhenti di ujung jalan utama yang berada di tengah Blok I dan Blok J.
Saya tidak tertarik untuk menyambutnya, meskipun berada tidak terlalu jauh dengan kedua blok itu. Dia bosnya pengembang, dan bukan tenaga teknik di lapangan. Saya bukan seorang pencari muka macam si Semprul.
Eh, saya yakin, sebentar lagi si Semprul datang. Saya mulai membungkuk dengan posisi badan bersiku dengan turap. Saya tidak mau menemui keduanya.
Akan tetapi, kalau saya tidak peduli pada kehadiran Pak Demun, nanti saya dianggap melecehkan seorang bos. Juga nanti dia komplain pada Sarwan, mengapa mempekerjakan anak buah yang acuh-tak acuh terhadap keberadaan bos pengembang.
Ah, biarlah, toh sebentar lagi biasanya Sarwan dan Bu Lia akan muncul di kantor pemasaran untuk menemui Pak Demun, pikir saya.
Saya menoleh ke kiri untuk mencari posisi Pak Semprul. Seorang bertopi koboi hitam sedang berjalan di jalan utama yang masih berupa susunan batu. Itu dia si Semprul, pikir saya.
Perlahan-lahan saya menunduk dan berguling ke balik turap, lalu mencari posisi untuk duduk yang nyaman. Di bawah sebatang pohon lamporo yang rindang saya mendapatkan tempat yang tepat, karena dari situ juga saya bisa mengawasi situasi antara keberadaan Pak Demun dan empat pekerja perbaikan turap pendek.
Saya tetap mendengarkan radio melalui ponsel dan memasang earphone. Sesekali mengintip dengan sedikit menaikkan badan.
Di ujung jalan lokasi yang sudah beralas batu untuk diaspal atau dicor, saya juga melihat Sarwan dan Bu Lia sedang berjalan di belakang Pak Semprul. Jarak mereka agak berjauhan, tetapi mengarah ke posisi Pak Demun dan mobil hitamnya.
Suara di earphone menandakan adanya pesan singkat yang masuk. Saya menengoknya. Dari Sarwan.
Lagi di mana. Saya membalas, "Di sekitar kebun jati."
Ah, saya menjadi pembohong yang profesional nih, batin saya.
Saya mengendap-endap. Sampai pada turap agak tinggi, saya berdiri. Saya sudah menyiapkan pertanyaan jika Sarwan atau Bu Lia menanyakan posisi saya. Ya, apa lagi kalau bukan "sedang memeriksa dan memikirkan turap tinggi dan yang retak".
Di hamparan tanah terbuka sudah tidak ada siapa-siapa. Saya melirik arloji. Pkl. 11.55. Saya pun bergegas ke warung proyek sambil menunggu panggilan dari Sarwan atau Bu Lia jika memang ada panggilan.
***
Di teras kontrakan Bu Lia, Sarwan terduduk dengan menyandar penuh pada kursi plastik merah jambu. Bu Lia dan Pak Odang hanya menatap dinding depan yang kusam.
Di kantor pemasaran tadi Pak Demun tidak mau membayar invoice sisa pekerjaan turap. Pak Demun bersikukuh dengan menyalahkan Sarwan dan kawan-kawan yang membangun turap.
Selain turap, juga pekerjaan pasang batu untuk jalan, dan saluran drainase. Ada saja alasan Pak Demun, meski saya mulai mengetahui dan memahami bahwa Pak Demun selalu bertindak sepihak alias semau dirinya sendiri.
"Kok bisa, ya?" Saya bertanya sendiri pada jendela kaca bening.
"Memang begitu, Mas Oji," jawab Pak Odang. "Arti kata, bos tidak pernah salah."
Begitulah. Saya pun mulai menangkap situasi yang bertolak belakang dengan perkataan Sarwan ketika saya baru tiba di rumahnya. "Pak Demun berbeda dengan pengembang lainnya, Ji. Uangnya gampang ngucur. Kita tagih hari ini, besoknya sudah cair," katanya yang melekat di benak saya.
Buktinya sekarang, apa? Ah, sudahlah.
Saya tidak mau berpikir apa-apa mengenai hal tersebut selain menyeruput kopi hitam lalu menggigit sepotong uli goreng. Bukan wewenang saya kalau sudah urusan tagih-menagih.
Kopi hitam dan uli goreng. Halaman depan malam yang basah. Sebuah kolaborasi yang aduhai, tentunya, dengan uli goreng yang mengingatkan saya pada mbah saya di dusun yang jauh sewaktu menggoreng jadah di atas tungku kayu ketimbang berpikir ulang mengenai hal yang tidak perlu merepotkan saya.
Sarwan, Bu Lia, dan Pak Odang sedang kehilangan kata-kata. Saya maklum atas keterbatasan yang tengah melanda "diskusi" mereka. Sarwan seorang Sarjana Akutansi, Bu Lia hanya lulusan SMA, dan Pak Odang lulusan STM entah apa jurusannya.
"Tadi saya baru dapat kabar, Pak Sarwan," kata Bu Lia yang seketika memecah kemacetan obrolan. "Turap yang pernah saya buat di dekat rumah Pak Sarwan itu juga roboh. Sekitar seminggu setelah turap kita roboh."
"Terus, pengembangnya bagaimana?"
"Pengembang tidak meminta kembali pembayarannya. Malah saya dibuatkan kontrak baru untuk perbaikan turap."
Nah, itu baru pengembang yang sesungguhnya dengan keputusan yang benar, gumam saya.
Saya berpikir mundur sejenak tentang ajakan Sarwan, keberangkatan saya, dan seterusnya. Juga biaya perjalanan dan sambutan Sarwan. Ada sedikit penyesalan, mengapa saya percaya dan mau saja diajak Sarwan bekerja di proyek miliknya Pak Demun itu.
*******
Ruang Lebur, Cibubur, Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H