Dampak kopi yang nyata adalah peningkatan daya konsentrasi saya, terlebih setelah melihat excavator yang tengah mogok di samping warung karena kehabisan bahan bakar tetapi sisa pekerjaan disimpulkan rekan-rekan adalah "tinggal sedikit". Â Dan yang paling nyata adalah saya mengeluarkan kalkulator dari tas ransel.
"Waduh, cuma segelas kopi, Bapak sudah menghitung pakai kalkulator," seru Bang Kumis yang sedang menjemur sepatu but di pinggir warung. "Coba tambah dengan bakwan, kerupuk, keripik, dan lain-lain, Pak, biar kalkulatornya bisa mikir lebih keras."
"Ini sekalian ngitung utang saya, Bang."
"Ah, Bapak bisa aja," sahut istrinya, Mbak Yatmi. "Bapak belum buka rekening warung di sini."
"Tapi di warung lain, 'kan, ada, Mbak?"
"Ha-ha-ha." Bang Kumis tertawa.Â
Saya pun mulai berhitung. Saya anggap bahwa masih ada 25% lahan yang belum tergarap. 25 persen itu adalah deretan E1 sampai dengan E15 yang masih berupa tanah asli alias belum tersentuh oleh baket excavator. Dari blok terdekat, yaitu Blok E, terlihat tanah asli setinggi kira-kira 3,5 meter dari permukaan tanah Blok E. Â Â
25 persen dari 12 hektare  sama dengan 3 hektare, pikir saya. Kalau 75 persen atau 9 hektare dikerjakan selama 5 bulan atau 1,8 hektare per bulan, 3 hektare bisa satu  bulan lebih.Â
Satu bulan lebih dengan satu unit excavator saja. "Lebih" itu bisa "lebih dua-tiga bulan" karena excavator masih dialihkan dengan pekerjaan pembuatan jalan dan pembentukan blok-blok dari proses potong ataupun timbunan.
Sudah terlalu lama pekerjaan dengan "tinggal sedikit" itu, dan kapan bisa selesai dengan adanya turap yang roboh, pikir saya lagi.
Lalu sekilas saya menghitung biaya. Dalam satu hari saja biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp3,6 juta untuk urusan excavator. Sementara harga jasa pekerjaan Cut and Fill per meter persegi...