Buktinya sekarang, apa? Ah, sudahlah.
Saya tidak mau berpikir apa-apa mengenai hal tersebut selain menyeruput kopi hitam lalu menggigit sepotong uli goreng. Bukan wewenang saya kalau sudah urusan tagih-menagih.
Kopi hitam dan uli goreng. Halaman depan malam yang basah. Sebuah kolaborasi yang aduhai, tentunya, dengan uli goreng yang mengingatkan saya pada mbah saya di dusun yang jauh sewaktu menggoreng jadah di atas tungku kayu ketimbang berpikir ulang mengenai hal yang tidak perlu merepotkan saya.
Sarwan, Bu Lia, dan Pak Odang sedang kehilangan kata-kata. Saya maklum atas keterbatasan yang tengah melanda "diskusi" mereka. Sarwan seorang Sarjana Akutansi, Bu Lia hanya lulusan SMA, dan Pak Odang lulusan STM entah apa jurusannya.
"Tadi saya baru dapat kabar, Pak Sarwan," kata Bu Lia yang seketika memecah kemacetan obrolan. "Turap yang pernah saya buat di dekat rumah Pak Sarwan itu juga roboh. Sekitar seminggu setelah turap kita roboh."
"Terus, pengembangnya bagaimana?"
"Pengembang tidak meminta kembali pembayarannya. Malah saya dibuatkan kontrak baru untuk perbaikan turap."
Nah, itu baru pengembang yang sesungguhnya dengan keputusan yang benar, gumam saya.
Saya berpikir mundur sejenak tentang ajakan Sarwan, keberangkatan saya, dan seterusnya. Juga biaya perjalanan dan sambutan Sarwan. Ada sedikit penyesalan, mengapa saya percaya dan mau saja diajak Sarwan bekerja di proyek miliknya Pak Demun itu.
*******
Ruang Lebur, Cibubur, Desember 2019