Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary

Sabbe Sankhara Anicca, Selamat Jalan Suamiku

22 Februari 2022   06:57 Diperbarui: 22 Februari 2022   07:00 6047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabbe Sankhara Anicca, Selamat Jalan Suamiku (diolah pribadi, gambar crosswalk.com)

Saya dan suami adalah pencinta olah raga. Sebutkan saja, yoga, renang dan jogging. Boleh dibilang hampir rutin.

Kami berdua juga suka travelling, terutama di dalam negeri. Bersyukur kami beberapa kali singgah ke Bromo, menyaksikan Blue Fire-nya Indonesia, Pulau Maratua. Juga beberapa tempat yang menjadi incaran wisatawan manca negara.

Di luar negeri, kami pernah melakukan perjalanan ziarah ke India. Impian kami berdua sejak muda. Itu adalah sebuah pengalaman yang tak terlupakan.

Waktu pensiun sudah dekat, tinggal beberapa tahun lagi. Rencananya berkeliling Indonesia bersama-sama. Tentu sangat menyenangkan.

Akan tetapi, rencana hanya tinggal rencana. Kenyataan yang berbeda harus kami hadapi.

Tepatnya pada November 2014. Saat itu suami saya menemukan kemunculan tiga buah benjolan tepat di bawah lehernya. Satu seperti bola kelereng, dua lagi sebesar kacang.

Awalnya khwatir, tapi kemudian menghibur diri sendiri, suami saya tidak bergejala selama ini. Membuang jauh semua kekhwatiran, tapi tetap perlu untuk diperiksakan ke dokter.

Setelah melakukan tes biopsi, saatnya bertemu dokter. Senyuman ceria terhenti ketika melihat wajah serius dokter. Ketegangan dan kegelisahan mulai kami rasakan.

Badan kami lalu bergetar keras, dunia serasa runtuh ketika dokter mulai berbicara. Suamiku divonis kanker paru-paru stadium akhir. Sudah menjalar ke beberapa organ tubuh, dan beberapa titik tulang belakang.

Rasanya tidak masuk akal. Selama ini suamiku tidak pernah merasakan gejala apa-apa. Tidak pernah batuk, tidak pernah sesak nafas, dan juga masih rutin berolah raga.

Kami kaget dan masih belum percaya. Yang pertama terlintas adalah; "salah diagnosis."

Tapi rasa tidak percaya kami justru menjadi bumerang. Diterpa ketidakpastian, sedih, bingung, bercampur menjadi amarah, "pasti salah, gak mungkin, kok bisa?"

Suami terlihat lebih sering melamun. Ia tidak bisa menerima kenyataan. Kesedihan berbenturan dengan perasaan putus asa, perasaannya hancur berkeping-keping. 

"Namanya juga kanker, diobati tetap juga mati. Malah bikin lebih menderita lagi. Dioperasi, dikemo, diradiasi... [...]", ujarnya.

Biasanya jika suami sudah mengeluh, saya memilih diam. Sudah puluhan tahun kami bersama, saya tahu persis bagaimana menangani keluhannya. Ia hanya ingin sendiri. Biasanya baik sendiri.

Tapi, kali ini berbeda. Entah darimana saya mendapat kekuatan untuk melawannya. "Tetapi kita perlu tahu, kankernya dimana, bagaimana langkah pengobatannya. Apapun hasilnya, kita putuskan bersama saja nanti."

Suamiku menurut saja. Mungkin cukup masuk akal baginya. Tapi, saya tahu jika ia berharap dokter salah diagnosis. Itu harapannya.

Namun, Sekali lagi bukan itu yang terjadi. Moralnya yang sudah setipis cangkang telur langsung hancur berkeping-keping dihantam palu godam vonis kedua.

Ternyata pusat kankernya ada di paru-paru, dan sangat kecil. Tetapi si kecil ini benar-benar cabe rawit, dia sudah menjalar ke lima titik tulang belakang, getah bening, dan mediastinum.

"Berapa lama lagi sisa hidup saya, dok?" Saya dan putra kami yang menemani, kaget mendengarkan pertanyaan suamiku.

Dokter tidak mau menjawab...

"Saya berhak tahu, dok. Sebagai pasien saya berhak tahu sisa berapa tahun hidup saya."

Sang dokter kemudian menjawab diplomatis. Ia pasti sudah sering berhadapan dengan situasi seperti ini, "berdasarkan teori kedokteran, masih ada harapan hidup... [...], tapi tidak ada yang tahu. Bisa dua tahun, bisa lebih... [...]"

Penjelasan dokter yang panjang kali lebar, hanya berujung sebuah kesimpulan; "Dua tahun."

Sesampainya di rumah, suamiku langsung mengenakan sepatu olahraganya. Ia lari... Lari sejauh mungkin. Lari, secepat mungkin. Lari, sekuat tenaganya.

Ia tidak lagi mengindahkan nasehat dokter yang tidak memperbolehkannya berlari. Karena tulang belakangnya sudah terkena kanker. Sudah keropos, bisa mendadak patah.

"MAU SAAT INI MATI JUGA SILAHKAN..." Ia berteriak!

Saya dan si sulung hanya diam menunggu tanpa kata. Melihat keringat suami tersayang yang bercucuran, tak terasa air mataku berlinang.

"Sesingkat itukah usiamu, sayang? Engkau masih gagah dan sehat. Saya belum siap kehilanganmu..."

Saya butuh waktu yang lama untuk membangkitkan semangatnya. Suami saya benar-benar menjadi orang yang berbeda. Ia menjadi pendiam, tiada lagi senyum manisnya.

Kerjanya hanya merenung, dan tidak lagi memiliki semangat. Ia tidak banyak berbicara, saya pun menemaninya dengan sedikit kata. Suami saya butuh ketenangan, itulah yang ada di dalam benakku.

Benak yang berusaha berpikiran positif, meski satu dua kali masih terlintas pikiran bodoh, "jangan sampai ia bunuh diri." Tapi, segera kutepis jauh-jauh.

Kubiarkan suamiku melakukan self-healingnya sendiri. Apa pun yang ia lakukan, semoga itu yang terbaik.

Hingga suatu waktu, ia membaca klipping koran yang sering ia kumpulkan. Tentang kecelakaan pesawat dan juga pasien kanker yang sembuh. Memang kedua berita itu tidak ada hubungannya, tapi tidak bagi suamiku.

"Ini yang di dalam kecelakaan pesawat tersebut, pasti banyak yang masih sehat. Mungkin saja tidak ada yang kena kanker, tapi mati juga," ia bergumam

Pernyataan singkat suamiku itu ternyata membawa manfaat. Selang beberapa waktu ia menyetujui tawaranku untuk menjalani pengobatan.

Semuanya dijalani. Selain rumah sakit, juga hipnoterapi. Dari konseling hingga berkunjung ke survivor kanker paru-paru. Saya bahagia telah menjadi pendamping setia baginya.

Saat yang mendebarkan muncul pada saat dirinya harus menjalani kemoterapi. Ia tidak mau lagi bertemu temannya, enggan membuka hape, kamar bahkan dibiarkan gelap.

Jika saya berdoa dan membaca Paritta, suami hanya berkata, "sudah, tidak perlu. Saya hanya butuh keheningan."

Saya tidak memaksa, saya sadar ia memang butuh waktu lama untuk bisa menerima kenyataan. Sejujurnya, saya pun demikian. Malam itu, saya menangis dalam keheningan. Berharap ada keajaiban, meskipun pilu harus ku telan.

Saya membaca buku tentang mereka yang sembuh dari kanker paru-paru. Apa yang mereka lakukan, agar saya tidak buta sama sekali tentang penyakitnya. Saya ingin menjadi pendamping yang baik hingga maut memisahkan kita.

Semua makanan, obat, treatment, saya catat di buku. Agar tidak ada yang terlewatkan, atau kemungkinan ada kesalahan. Saat seperti ini, dunia serasa hanya dilalui oleh kami berdua saja.

Obat penenang dosis kecil terpaksa diberikan, karena suamiku sering mengalami ketakutan, sedih, dan tumpukan perasaan lainnya. "Badan saya tidak sakit, tapi pikiran dan perasaan ini menganggu, dok."

Beberapa teman menyarankan kami berdua perlu ikut meditasi. Awalnya kami tidak dengarkan, kesombongan dan kepasrahan membuat kami menolak. "Kami Buddhis, sudah biasa meditasi di Vihara. Mana mungkin bisa sembuh?"

Tetapi sekali lagi kami bersyukur mempunyai saudara, dan teman-teman yang tidak pernah berputus asa. Mereka terus memotivasi kami dan memberikan contoh sahabat-sahabat yang sembuh dan kembali hidup normal tanpa menderita sakit, berkat meditasi.  

Kami mulai dari mengikuti kelas regular, keluarga besar suami juga sangat mendukung. Beramai-ramai mereka ikutan kelas meditasi tersebut.

Itulah yang membuat suami saya menjadi lebih bersemangat. Baru beberapa sesi ikutan, ia sudah mengaku "kok aku bisa lebih tenang, yah."

Mendengar perkataan ini saya seolah-olah mendapat cahaya di tengah kegelapan dan merasakan ada jalan keluar dari kebuntuan.

Secercah harapan dari kepalsuan yang sering kusembunyikan. Selama ini, saya kelihatan tegar di depan suami dan anak-anak. Tapi, di dalam hati ini saya rentan.

Selalu menangis dalam diam, sudah kering air mata ini saya keluarkan dalam kesendirian.

Mereka hanya tahu saya si Yolanda yang kuat, tegar, dan tabah. Akan tetapi, mereka tidak tahu kalau hatinya sudah keropos. Kendati demikian, saya selalu bertekad, harus kuat demi suami dan kedua anak saya.

Melihat perkembangan mental suami, para pembimbing meditasi menganjurkan untuk melanjutkan ke sesi retreat selama 6-7 hari. Dihari kedua pelatihan meditasi, suami saya bersikap aneh.

Pagi itu, ia menatap awan cerah di atas langit yang biru. Ia berdiri di tepi lembah, dan saya berjarak beberapa meter di belakangnya.

Peserta retreat meditasi seharusnya tidak bisa kehilangan fokus. Tapi, kubiarkan saja. Lagipula di saat yang sama, perasaan saya juga tidak tenang. Khwatir dengan kesehatan suami, dan juga rasa was-was yang tidak beralasan. Akankah suamiku melompat dari atas lembah.

"Tidak mungkin, hanya beberapa meter tingginya, palingan luka, tidak mati." Diriku membuang jauh semua kekhwatiran.

Saya terus mengamatinya dari belakang. Perlahan dirinya mengambil sesuatu dari kantung celananya. Benda berukuran kecil itu, ia lempar jauh-jauh. Tidak ingin ada seseorang pun yang menemukannya.

Ia lalu berbalik dengan senyum ceria. Memandangku, dan kedua mata kami saling berpadu. Ia mengangkat kedua jempolnya, perasaan bahagia menyelimuti dirinya.

Jantung saya berdebar keras karena bahagia. Saya tahu dan yakin, ia telah membuang obat penenangnya yang selalu tersimpan di dalam saku celananya. Obat yang selalu menjadi teman setianya selama ini.

Saya terharu dan tanpa sadar menangis. Dari kejauhan saya hanya bisa mengacungkan jempol kearahnya dan tersenyum.

Hari itu, di momen itu, kami batal bermeditasi, dan melanggar aturan rereat. Tetapi kamu tidak peduli. Saling berbagi bahasa isyarat dan senyum tulus. Suami saya sudah menang melawan pikirannya sendiri.

Peristiwa itu menjadi titik baliknya. Ia kembali menjadi sosok yang kurindukan. Tegar, tidak mudah putus asa. Bahkan jauh lebih bijaksana dari yang kukenal.

Dan ketika kami memeriksakan ke dokter, ternyata kanker yang bercokol di paru-paru, sudah lenyap entah kemana.

Semua orang senang melihat kesembuhan suami saya. Baik tenaga medis, maupun para keluarga dan sahabat. Suami saya resmi bergelar "cancer survivor."

Suami saya mengalami perubahan yang besar. Ia tidak pernah segan berbagi pengalaman meditasinya ke teman-teman, dan pasien kanker lainnya.

Quality life kami jalani bersama, sebagai seorang mantan penderita kanker yang terlahir kembali. Tidak lagi mengkhwatirkan masa depan, selama kami masih bernafas, kehidupan ini indah untuk berbagi.

Suami saya terlihat bahagia menjalani kehidupan sehari-harinya. Tanpa terasa, dua tahun sudah jauh terlewati. Vonis dokter masih terngiang, tapi bukan lagi sesuatu yang mengerikan.

Tidak ada yang percaya, penderita kanker stadium empat bisa kembali sehat. Tidak terbaring lemah di atas dipan, merintih sakit, menunggu ajal.

Kami berdua akhirnya bertekad, bahwa setiap momen penting adanya, tapi yang terpenting adalah saat ini. Bukan masa lalu, ataupun masa depan.

Melakukan banyak kebaikan, membantu banyak orang, membagi kebaikan demi kebaikan.

Setelah hampir lima tahun kami menjalani hidup baru bersama, pada Januari 2019, kembali kami mendengar vonis terbaru. Entah mengapa kanker yang sudah raib kini muncul kembali.

Tempatnya di kepala, padahal gaya hidup sehat sudah dilakoni, pemeriksaan rutin dijalani.

Kami kembali kaget mendengarkannya. Tapi, suami saya ternyata sangat tenang menghadapinya. Ia tahu jika kanker belum tentu tidur selamanya. Lagipula sudah pernah muncul di paru-paru, salah satu organ terpenting tubuh. Stadium empat pula.

Si cabe rawit tidak mau menyerah. Ia nakal dan pandai memilih tempat. Kali ini di area kritikal, di dalam cairan kepala yang melindungi otak dan seluruh tulang belakang. Tidak akan lenyap hanya dengan radiasi biasa. Istilah kedokterannya; Leptomeningeal.

Ia tidak mudah terdeteksi, suami tidak memiliki gejala, karena memang staminanya sangat bagus. Itu pun baru diketahui setelah dua kali pengambilan cairan sum-sum tulang belakang.

Kanker ini tergolong sangat ganas. "Hanya mampu bertahan 2 hingga 4 bulan bu," dokter berkata lirih ketika suami terbaring di ruang pasien.

Meskipun bukan yang pertama kali mendegar vonis dokter, saya tidak setegar suamiku. Dua bulan berbeda dengan dua tahun. Dan itu sangat singkat.

Ketika suami mendengarkannya langsung dari dokter, ia pun kembali sedih. Tapi, bukan karena vonis dokter, tapi karena tangisanku yang tak bisa lagi ku bendung. Aku tersedu-sedu memeluk dirinya. Air mataku membasahi pakaiannya.

Saya khwatir dengan suamiku, takut ia kembali putus asa dan kehilangan harapan hidup. Tapi, yang kudengarkan justru kebalikannya.

"Ayo kita treatment lagi seperti dulu, pasti bisa," suamiku berujar dengan penuh semangat, meskipun pada saat itu hanya dirinyalah yang kelihatan optimis. Semua yang berada di dalam ruangan tidak bereaksi, termasuk dokter.

Semangat suamiku tidak memberikanku harapan baru. Aku telah menjadi wanita lemah, sangat lemah. Menyalahkan karma buruk yang datang mendera, mengapa harus terulang lagi untuk kedua kalinya.

Treatmen pun dijalani. Meski menyakitkan, semangat suamiku tidak pernah pudar.

Ada satu momen yang masih kukenang hingga saat ini. Sehari sebelum melakukan operasi, suami saya berujar, "yuk kita berenang, siapa tahu ini kali terakhir saya bisa berenang."

Saya hanya tersenyum sedih melihat tubuhnya bergerak gesit di dalam kolam.

Ternyata, ucapannya menjadi kenyataan. Pengobatan yang ia jalani membuatnya harus terbaring lemah tanpa daya. Tubuh dan kakinya lemas, badannya tidak kuat menahan seluruh proses radiasi dan kemoterapi.

Namun, tak satu pun keluhan yang keluar dari mulutnya. Ia hanya butuh pijatan di kakinya yang terasa pegal.

Di bulan kedua, suami saya sudah bisa berjalan. Saya selalu mendampinginya untuk melakukan meditasi pernapasan, 5 sampai 10 menit saja. Terkadang sambil tiduran atau di kursi roda.

Kegiatan rutin yang kulakukan lima tahun sebelumnya, kini kulakukan lagi. Mencatat semua hal yang ia lakukan. Membuat grafik dan memantau gerakan dari hasil pemeriksaan darah rutin. Mesipun jantungku selalu berdebar, setiap kali membuka amplop yang berisikan angka-angka yang tidak pernah stabil.

Bukan hanya mencatat, memotret dirinya, dan juga merekam video indah bersamanya. Saya lakukan setiap hari, itu sudah biasa. Baik saat sedang menjalani treatment atau sedang bersantai.

Setiap kali saya memintanya bergaya, ia selalu tersenyum. Ia sadar, itu adalah kenangan yang akan ia berikan kepada istri dan anak-anaknya. Sesuatu yang tidak akan pernah terulang lagi.

Saya menghabiskan sisa waktu yang tersedia bersamanya di rumah sakit. Berolahraga ringan, mendengarkan musik bersama, bercengkrama, dunia seakan milik kita berdua saja.

Hingga momen itu pun tiba. Pada suatu petang, saatnya suami saya latihan berdiri dan berjalan kaki. Tubuhnya tiba-tiba lemas, dan ia jatuh tidak sadarkan diri.

Hanya dua hari baginya, sudah tiba usianya, suamiku pergi dengan tenang dan damai. Tanpa batuk darah, tanpa napas yang tersengal-sengal, tanpa keluhan rasa sakit.

Ia juga tidak memberikan pesan terakhir kepada istri dan anak-anaknya. Tapi, kami sadar, tidak ada lagi pesan penting yang harus disampaikan.

Seluruh proses yang ia jalani, adalah pesan yang berharga bagi kami semua.

"Papa orang baik, ia telah berpindah alam dengan tenang," hanya itu yang kuucapkan di hadapan kedua anakku yang menangis tersedu-sedu.

**

Suatu saat, saya kembali melakukan retreat. Di tempat yang sama dengan yang pernah aku kunjungi bersama suamiku. Tapi, kali ini tanpanya.

Kali ini tiada tujuan "terselubung". Tidak lagi untuk kesembuhan suamiku. Ia telah tiada. Semuanya aku lakukan untuk melatih kesadaran, mindfulness kata orang.

Aku mengambil posisi di tempat yang sama aku pernah duduk. Di sebelah suamiku. Tapi, kali ini ia takada di sana.

Sesaat sebelum kegiatan meditasi dimulai, diriku menyempatkan mengunjungi tempat suamiku dulu pernah berdiri, menatap langit biru, dan membuang obat penenangnya.

Samar-samar aku bisa melihatnya mengangkat kedua jempolnya. Mukanya terlihat ceria, tapi kali ini terasa lebih damai. Tanpa sadar, aku kembali menitikkan air mata terharu.

Tapi, hanya sesaat. Aku kemudian tersadar jika itu hanyalah ilusi. Suamiku telah pergi, ia telah terlahirkan di alam yang lebih baik. Kenangan indah bersamanya adalah sebuah pengalaman yang menyenangkan, tapi itu tidaklah kekal.

Sebagaimana pikiran ini, ia selalu terjebak dalam gejolak perasaan yang tak pernah berkesudahan. Ia suka mengaburkan kenyataan, menghancurkan perasaan.

Sesaat sebelum saya menutup mata, mencoba mengamati aliran napas yang keluar masuk melalui hidungku. Sesaat sebelum kesadaran sejati menghampiriku, aku mengingat suatu hal;

Bahwa tiada yang abadi, tiada yang kekal dari segala kondisi (Anicca).

Bahwa segala sesuatu yang tidak kekal akan tidak memuaskan (Dukkha).

Bahwa segala sesuatu yang tidak memuaskan, tidak dapat dikendalikan, semuanya berubah. Cepat atau lambat semuanya akan sirna.

Apa yang dianggap sebagai milik kita, ia bukanlah milik kita. Ketika sudah sirna ia tidak lagi menjadi apa-apa. Termasuk diri kita (Anatta).

Sabbe Sankhara Anicca, Suamiku. Segala sesuatu yang berkondisi, tidak akan abadi. Semoga engkau terlahirkan di alam yang lebih baik.

**

Jakarta, 22 Februari 2022

Penulis; Tjio Jolanda Santoso untuk Grup Penulis Mettasik

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun