Kegiatan rutin yang kulakukan lima tahun sebelumnya, kini kulakukan lagi. Mencatat semua hal yang ia lakukan. Membuat grafik dan memantau gerakan dari hasil pemeriksaan darah rutin. Mesipun jantungku selalu berdebar, setiap kali membuka amplop yang berisikan angka-angka yang tidak pernah stabil.
Bukan hanya mencatat, memotret dirinya, dan juga merekam video indah bersamanya. Saya lakukan setiap hari, itu sudah biasa. Baik saat sedang menjalani treatment atau sedang bersantai.
Setiap kali saya memintanya bergaya, ia selalu tersenyum. Ia sadar, itu adalah kenangan yang akan ia berikan kepada istri dan anak-anaknya. Sesuatu yang tidak akan pernah terulang lagi.
Saya menghabiskan sisa waktu yang tersedia bersamanya di rumah sakit. Berolahraga ringan, mendengarkan musik bersama, bercengkrama, dunia seakan milik kita berdua saja.
Hingga momen itu pun tiba. Pada suatu petang, saatnya suami saya latihan berdiri dan berjalan kaki. Tubuhnya tiba-tiba lemas, dan ia jatuh tidak sadarkan diri.
Hanya dua hari baginya, sudah tiba usianya, suamiku pergi dengan tenang dan damai. Tanpa batuk darah, tanpa napas yang tersengal-sengal, tanpa keluhan rasa sakit.
Ia juga tidak memberikan pesan terakhir kepada istri dan anak-anaknya. Tapi, kami sadar, tidak ada lagi pesan penting yang harus disampaikan.
Seluruh proses yang ia jalani, adalah pesan yang berharga bagi kami semua.
"Papa orang baik, ia telah berpindah alam dengan tenang," hanya itu yang kuucapkan di hadapan kedua anakku yang menangis tersedu-sedu.
**
Suatu saat, saya kembali melakukan retreat. Di tempat yang sama dengan yang pernah aku kunjungi bersama suamiku. Tapi, kali ini tanpanya.