Dokter tidak mau menjawab...
"Saya berhak tahu, dok. Sebagai pasien saya berhak tahu sisa berapa tahun hidup saya."
Sang dokter kemudian menjawab diplomatis. Ia pasti sudah sering berhadapan dengan situasi seperti ini, "berdasarkan teori kedokteran, masih ada harapan hidup... [...], tapi tidak ada yang tahu. Bisa dua tahun, bisa lebih... [...]"
Penjelasan dokter yang panjang kali lebar, hanya berujung sebuah kesimpulan; "Dua tahun."
Sesampainya di rumah, suamiku langsung mengenakan sepatu olahraganya. Ia lari... Lari sejauh mungkin. Lari, secepat mungkin. Lari, sekuat tenaganya.
Ia tidak lagi mengindahkan nasehat dokter yang tidak memperbolehkannya berlari. Karena tulang belakangnya sudah terkena kanker. Sudah keropos, bisa mendadak patah.
"MAU SAAT INI MATI JUGA SILAHKAN..." Ia berteriak!
Saya dan si sulung hanya diam menunggu tanpa kata. Melihat keringat suami tersayang yang bercucuran, tak terasa air mataku berlinang.
"Sesingkat itukah usiamu, sayang? Engkau masih gagah dan sehat. Saya belum siap kehilanganmu..."
Saya butuh waktu yang lama untuk membangkitkan semangatnya. Suami saya benar-benar menjadi orang yang berbeda. Ia menjadi pendiam, tiada lagi senyum manisnya.
Kerjanya hanya merenung, dan tidak lagi memiliki semangat. Ia tidak banyak berbicara, saya pun menemaninya dengan sedikit kata. Suami saya butuh ketenangan, itulah yang ada di dalam benakku.