Obat penenang dosis kecil terpaksa diberikan, karena suamiku sering mengalami ketakutan, sedih, dan tumpukan perasaan lainnya. "Badan saya tidak sakit, tapi pikiran dan perasaan ini menganggu, dok."
Beberapa teman menyarankan kami berdua perlu ikut meditasi. Awalnya kami tidak dengarkan, kesombongan dan kepasrahan membuat kami menolak. "Kami Buddhis, sudah biasa meditasi di Vihara. Mana mungkin bisa sembuh?"
Tetapi sekali lagi kami bersyukur mempunyai saudara, dan teman-teman yang tidak pernah berputus asa. Mereka terus memotivasi kami dan memberikan contoh sahabat-sahabat yang sembuh dan kembali hidup normal tanpa menderita sakit, berkat meditasi. Â
Kami mulai dari mengikuti kelas regular, keluarga besar suami juga sangat mendukung. Beramai-ramai mereka ikutan kelas meditasi tersebut.
Itulah yang membuat suami saya menjadi lebih bersemangat. Baru beberapa sesi ikutan, ia sudah mengaku "kok aku bisa lebih tenang, yah."
Mendengar perkataan ini saya seolah-olah mendapat cahaya di tengah kegelapan dan merasakan ada jalan keluar dari kebuntuan.
Secercah harapan dari kepalsuan yang sering kusembunyikan. Selama ini, saya kelihatan tegar di depan suami dan anak-anak. Tapi, di dalam hati ini saya rentan.
Selalu menangis dalam diam, sudah kering air mata ini saya keluarkan dalam kesendirian.
Mereka hanya tahu saya si Yolanda yang kuat, tegar, dan tabah. Akan tetapi, mereka tidak tahu kalau hatinya sudah keropos. Kendati demikian, saya selalu bertekad, harus kuat demi suami dan kedua anak saya.
Melihat perkembangan mental suami, para pembimbing meditasi menganjurkan untuk melanjutkan ke sesi retreat selama 6-7 hari. Dihari kedua pelatihan meditasi, suami saya bersikap aneh.
Pagi itu, ia menatap awan cerah di atas langit yang biru. Ia berdiri di tepi lembah, dan saya berjarak beberapa meter di belakangnya.