Meskipun bukan yang pertama kali mendegar vonis dokter, saya tidak setegar suamiku. Dua bulan berbeda dengan dua tahun. Dan itu sangat singkat.
Ketika suami mendengarkannya langsung dari dokter, ia pun kembali sedih. Tapi, bukan karena vonis dokter, tapi karena tangisanku yang tak bisa lagi ku bendung. Aku tersedu-sedu memeluk dirinya. Air mataku membasahi pakaiannya.
Saya khwatir dengan suamiku, takut ia kembali putus asa dan kehilangan harapan hidup. Tapi, yang kudengarkan justru kebalikannya.
"Ayo kita treatment lagi seperti dulu, pasti bisa," suamiku berujar dengan penuh semangat, meskipun pada saat itu hanya dirinyalah yang kelihatan optimis. Semua yang berada di dalam ruangan tidak bereaksi, termasuk dokter.
Semangat suamiku tidak memberikanku harapan baru. Aku telah menjadi wanita lemah, sangat lemah. Menyalahkan karma buruk yang datang mendera, mengapa harus terulang lagi untuk kedua kalinya.
Treatmen pun dijalani. Meski menyakitkan, semangat suamiku tidak pernah pudar.
Ada satu momen yang masih kukenang hingga saat ini. Sehari sebelum melakukan operasi, suami saya berujar, "yuk kita berenang, siapa tahu ini kali terakhir saya bisa berenang."
Saya hanya tersenyum sedih melihat tubuhnya bergerak gesit di dalam kolam.
Ternyata, ucapannya menjadi kenyataan. Pengobatan yang ia jalani membuatnya harus terbaring lemah tanpa daya. Tubuh dan kakinya lemas, badannya tidak kuat menahan seluruh proses radiasi dan kemoterapi.
Namun, tak satu pun keluhan yang keluar dari mulutnya. Ia hanya butuh pijatan di kakinya yang terasa pegal.
Di bulan kedua, suami saya sudah bisa berjalan. Saya selalu mendampinginya untuk melakukan meditasi pernapasan, 5 sampai 10 menit saja. Terkadang sambil tiduran atau di kursi roda.