Kali ini tiada tujuan "terselubung". Tidak lagi untuk kesembuhan suamiku. Ia telah tiada. Semuanya aku lakukan untuk melatih kesadaran, mindfulness kata orang.
Aku mengambil posisi di tempat yang sama aku pernah duduk. Di sebelah suamiku. Tapi, kali ini ia takada di sana.
Sesaat sebelum kegiatan meditasi dimulai, diriku menyempatkan mengunjungi tempat suamiku dulu pernah berdiri, menatap langit biru, dan membuang obat penenangnya.
Samar-samar aku bisa melihatnya mengangkat kedua jempolnya. Mukanya terlihat ceria, tapi kali ini terasa lebih damai. Tanpa sadar, aku kembali menitikkan air mata terharu.
Tapi, hanya sesaat. Aku kemudian tersadar jika itu hanyalah ilusi. Suamiku telah pergi, ia telah terlahirkan di alam yang lebih baik. Kenangan indah bersamanya adalah sebuah pengalaman yang menyenangkan, tapi itu tidaklah kekal.
Sebagaimana pikiran ini, ia selalu terjebak dalam gejolak perasaan yang tak pernah berkesudahan. Ia suka mengaburkan kenyataan, menghancurkan perasaan.
Sesaat sebelum saya menutup mata, mencoba mengamati aliran napas yang keluar masuk melalui hidungku. Sesaat sebelum kesadaran sejati menghampiriku, aku mengingat suatu hal;
Bahwa tiada yang abadi, tiada yang kekal dari segala kondisi (Anicca).
Bahwa segala sesuatu yang tidak kekal akan tidak memuaskan (Dukkha).
Bahwa segala sesuatu yang tidak memuaskan, tidak dapat dikendalikan, semuanya berubah. Cepat atau lambat semuanya akan sirna.
Apa yang dianggap sebagai milik kita, ia bukanlah milik kita. Ketika sudah sirna ia tidak lagi menjadi apa-apa. Termasuk diri kita (Anatta).