Mohon tunggu...
Ghazza Ardiyanto
Ghazza Ardiyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Hukum Keluarga Islam di Indonesia" Karya Dr. H. A. Kumedi Jafar, S.Ag., M.H.

12 Maret 2024   14:07 Diperbarui: 12 Maret 2024   14:13 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Karya Dr. H. A. Kumedi Ja'far, S.Ag., M.H.

Muhammad Ghazza Ardiyanto 

222121042

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia.

Abstract:

Buku "Hukum Keluarga Islam di Indonesia" oleh Dr. H. A. Kumedi Ja'far, S.Ag., M.H. memberikan gambaran komprehensif tentang hukum keluarga Islam di Indonesia. Melalui pembahasan yang mendalam tentang perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat, dan perwakafan, penulis menguraikan konsep-konsep penting seperti rukun dan syarat perkawinan, sebab-sebab perceraian, dan pandangan ulama tentang wasiat. Namun, beberapa pembaca mungkin menginginkan lebih banyak contoh atau penjelasan praktis. Penambahan analisis tentang perkembangan hukum keluarga Islam, kaitannya dengan isu-isu kontemporer, dan referensi tambahan dapat meningkatkan relevansi dan kedalaman buku ini. Dengan demikian, buku ini menjadi sumber yang lebih lengkap dan relevan bagi mereka yang ingin memahami hukum keluarga Islam di Indonesia.

Keywords: hukum keluarga islam; perkawinan; perceraian; kewarisan.

Introduction:

Hukum keluarga Islam di Indonesia merupakan bagian integral dari sistem hukum negara ini, yang memiliki populasi mayoritas Muslim. Dalam konteks ini, pemahaman yang mendalam tentang hukum keluarga Islam menjadi penting tidak hanya bagi para praktisi hukum, tetapi juga bagi masyarakat umum yang ingin memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mendasari tatanan keluarga dan masyarakat Islam di Indonesia.

Buku "Hukum Keluarga Islam di Indonesia" oleh Dr. H. A. Kumedi Ja'far, S.Ag., M.H. hadir sebagai upaya untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang hukum keluarga Islam dalam konteks Indonesia. Dengan menguraikan konsep-konsep penting seperti perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat, dan perwakafan, buku ini bertujuan untuk menjadi panduan yang berguna bagi mereka yang ingin memahami dan menerapkan hukum keluarga Islam dengan benar dan efektif.

Dalam latar belakang ini, review buku ini bertujuan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, dan relevansi buku tersebut dalam menyajikan materi tentang hukum keluarga Islam di Indonesia. Dengan memahami konten dan pendekatan yang digunakan dalam buku ini, pembaca akan dapat menilai sejauh mana buku ini memberikan kontribusi yang berharga dalam pemahaman dan aplikasi hukum keluarga Islam di Indonesia.

Result and Discussion

Pengertian Perkawinan

Perkawinan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah an-nikah. an-Nikah yang bermakna al-wat'u dan ad-dammu wa at-tadakhul, kadangkala juga disebut dengan ad-dam wa al-jam'u yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Bahkan perkawinan dalam literatur fiqh disebut dengan dua kata nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan banyak terdapat dalam al-Qur'an maupun hadis Rasulullah Muhammad saw. Sebagai contoh, kata na ka -- ha ) ) dalam al-Qur'an yang berarti kawin.

Dengan demikian, perkawinan adalah akad/perjanjian yang menghalalkan pergaulan, membatasi hak dan kewajiban, serta sikap tolong menolong antara seorang pria dan seorang wanita yang keduanya bukan muhrim. Sehingga terbentuklah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin, serta terjadi pertalian yang sah antara seorang pria dan seorang wanita dalam waktu yang lama.

Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun adalah sesuatu yang harus ada yang menentukan sah satu tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan (ibadah) itu, misalnya membasuh muka dalam wudhu dan takbiratul ihrom dalam sholat. Contoh lain, adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan dalam perkawinan, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan sesuatu (rukun) yang harus ada dalam suatu pekerjaan (ibadah). Oleh karenanya apabila sesuatu (rukun) itu tidak ada, maka tidak sah pekerjaan (ibadah) itu. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan (ibadah) itu, misalnya menutup aurat dalam sholat, beragama Islam bagi calon mempelai laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya.

 Menurut jumhur ulama bahwa rukun adalah hal-hal yang harus dipenuhi untuk terlaksana hakekat, baik yang merupakan bagian maupun di luar itu. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada, tetapi tidak termasuk bagian hakikat. Mengenai rukun perkawinan terdapat beberapa pendapat sebagai berikut:

a. Menurut Jumhur ulama, bahwa rukun perkawinan ada empat, yakni ijab kabul (shighat), calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan dan wali.

b. Menurut al-Zubaili, bahwa dari sekian rukun nikah yang ada, hanya ada dua rukun perkawinan yang di sepakati ulama Fikih, yaitu ijab dan kabul, sedangkan sisanya hanyalah merupakan syarat perkawinan.

c. Menurut al-Girnati al-Maliki, bahwa rukun perkawinan shighat (ijab dan kabul).

d. Menurut an-Nawawi, bahwa rukun perkawinan ada empat, yakni ijab dan kabul (shighat), calon mempelai laki-laki dan perempuan, saksi dan dua orang saksi.

 

Pengertian Perceraian 

Secara umum, perceraian tak ubahnya sebagai sebuah proses seperti halnya perkawinan. Aktivitas itu terjadi karena sejumlah aspek yang menyertainya seperti emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku. Selain itu, dalam paradigm ayang lain, perceraian merupakan suatu "kegagalan" adalah bias, karena semata-mata mendasarkan perkawinan pada cinta yang romantis. Padahal semua sistem perkawinan paling sedikit terdiri dari dua (2) orang yang hidup dan tinggal bersama di mana masing-masing memiliki keinginan, kebutuhan, nafsu serta latar belakang dan nilai sosial yang bisa berbeda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan itu dapat memunculkan keteganganketegangan dan ketidakbahagiaan yang akhirnya bermuara pada perceraian.

Namun dalam konteks hukum Islam, perceraian diistilahkan "talak" atau "furqah". Adapun arti dari talak adalah membuka ikatan dan membatalkan perjanjian, sementara furqah artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul. Selanjutnya kedua kata ini dipakai oleh para ahli fiqh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami istri. Dengan demikian, talak adalah tindakan yang dilakukan kepada suami terhadap istri untuk bercerai, baik talak satu, dua dan tiga, talak ini hanya diucapkan dari suami kepada istri maka sahnya perceraian tersebut.

Faktor-Faktor Penyebab Perceraian 

Ada banyak faktor yang menyebabkan perceraian bisa menjadi sebuah keniscayaam dalam rumah tangga, yaitu:

a.Ketidakharmonisan Dalam Berumah Tangga

Ketidakharmonisan merupakan alasan yang kerap dikemukakan bagi pasangan yang hendak bercerai. Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain, ketidakcocokan pandangan, krisis akhlak, perbedaan pendapat yang sulit disatukan dan lain-lain.

b.Krisis Moral dan Akhlak

Perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak misalnya kelalaian tanggung jawab baik suami maupun istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya. Misalnya mabuk-mabukkan, terlibat tindak pidana, bahkan utang-piutang.

c.Pernikahan Tanpa Cinta

Alasan lain yang kerap dikemukakan baik oleh suami atau istri untuk mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta

d.Perzinahan

Terjadinya perzinahan yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik suami maupun istri merupakan penyebab perceraian. Di dalam hukum perkawinan Indonesia, perzinahan dimasukkan ke dalam salah satu pasalnya yang dapat mengakibatkan berakhirnya perceraian.

Tata Cara Perceraian 

Dalam tata cara perceraian terbagi kepada dua jenis, yakni cerai talak dan cerai gugat. Perceraian talak berlaku bagi mereka yang beragama Islam seperti yang disebutkan dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Yang menyatakan bahwa seorang istri yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

A.Dari ketentuan tersebut, diketahui bahwa pelaksanaan perceraian talak tidak hanya dilakukan oleh suami dengan mengajukan surat kepada Pengadilan Agama bagi pasangan suami istri yang beragama Islam. Tata cara perceraian dengan talak diatur dalam mengenai sebab- sebab perselisihan itu;

B.Gugatan perceraian dengan alasan salah satu dari pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, agar mendapatkan putusan perceraian maka Pengadilan cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan dengan keterangan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

C.Dengan pertimbangan bahaya yang mungkin saja timbul, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri tidak tinggal serumah selama gugatan perceraian berlangsung;

D.Pengugat atau Tergugat dapat memohon kepada Pengadilan untuk:

E.Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal dunia sebelum ada putusan pengadilan;

1) menentukan nafkah yang harus ditanggung suami;

2) menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;

3) menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barangbarang yang menjadi hak istri.

F.Para pihak akan dipanggil secara resmi oleh juru sita. Untuk pemeriksaan gugatanperceraian di Pengadilan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.

G.Bila tempat kediaman Tergugat tidak diketahui, maka dilakukan pemanggilan dengan menempelkan gugatan pada papan pengumuman atau melalui surat kabar sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu 1 (satu) bulan antara pengumuman yang pertama dengan yang kedua;

H.Bila tempat kediaman Tergugat di luar negeri maka pemanggilan dilakukan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat;

I.Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterima dan dalam hal Tergugat berdomisili di luar negeri sidang ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak gugatan dimasukkan ke Kepaniteraan Pengadilan;

J.Pada sidang pemeriksaan gugatan, baik istri dan suami harus datang sendiri atau dapat diwakili oleh kuasa hukumnya;

K.Sebelum perkara diputuskan, Hakim akan berusaha mendamaikan kedua belah pihak;

L.Apabila usaha perdamaian berhasil, maka pengadilan membuat Akta Perdamaian dan alasan yang diajukan untuk bercerai tidak dapat lagi digunakan oleh Penggugat;

M.Bila tidak tercapai perdamaian, maka sidang dilanjutkan dan dilakukan dalam sidang tertutup;

N.Putusan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka dalam arti siapa saja boleh mendengarkan dan putusan. Pengadilan didaftarkan di Kantor Pencatatan oleh Pegawai Pencatat;

O.Panitera pengadilan atau Pejabat Pengadilan berkewajiban selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirim suatu helai putusan perceraian kepada Pegawai Pencatat untuk didaftar;

P.Bila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah tempat berlangsung perkawinan, maka satu helai salinan putusan dikirimkan kepada Pegawai oleh Pegawai Pencatat Nikah dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan;

Q.Bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan putusan disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. Kelalaian dalam mengirim salinan putusan menjadi tanggung jawab Panitera;

R.Panitera Pengadilan Agama berkewajiban memberikan akta cerai sebagai bukti cerai kepada para pihak selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan. Memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pengertian Kewarisan

Kewarisan dalam hukum keluarga Islam mengacu pada proses pembagian harta benda seseorang setelah meninggal dunia kepada ahli waris yang telah ditetapkan dalam hukum Islam. Konsep kewarisan didasarkan pada prinsip-prinsip yang tercantum dalam Al-Qur'an dan hadis, serta telah diatur secara rinci dalam kitab-kitab fikih. Pembagian kewarisan biasanya didasarkan pada proporsi dari harta peninggalan yang dimiliki oleh almarhum dan hubungan keluarga antara almarhum dengan ahli warisnya. Misalnya, anak laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada anak perempuan, sedangkan suami mendapatkan bagian yang lebih besar daripada istri. Penting untuk diingat bahwa kewarisan juga dapat diatur melalui wasiat yang dibuat oleh almarhum sebelum meninggal, asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang telah ditetapkan.

Asas Keadilan Dalam Waris

Hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku untuk hukum kewarisan yang lain. Hukum kewarisan Islam mempunyai corak dan karakteristik tersendiri, dan digali dari teks-teks al-Qur'an dan hadis Nabi SAW. Dari lima asas yang berkaitan dengan peralihan harta benda dari pewaris (al-muwarrits) kepada penerima waris (al-warits), yaitu asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas semata akibat kematian, maka di sini hanya akan diuraikan asas keadilan berimbang saja.

Kata 'adil' merupakan serapan bahasa Indonesia dari bahasa arab al-'adl. Kata al-'adl ini banyak ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur'an, tidak kurang dari 28 kali disebutkan. Dalam kaitan dengan konteks kewarisan, kata adil dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Atas dasar pengertian ini, secara mendasar dapat dikatakan bahwa hak bagian warisan antara laki-laki dan perempuan sama kuat dan tidak membedakan status gender. Hal ini terlihat dalam surt al-Nisa': 7, 11, 12 dan 176. Pada ayat-ayat ini secara substansial, mereka semua mendapatkan warisan dari pewaris. Akan tetapi, jika dilihat dari segi jumlah bagian yang diperoleh disaat menerima hak, memang terdapat ketidak-samaan. Ini bukan berarti tidak adil, justru perlu dipahami oleh semua ahli waris bahwa adil dalam pelaksanaannya itu tidak mesti sama dalam mendapatkan bagian hak waris. Keadilan dalam konteks ini dikaitkan dengan tingkat kegunaan dan kebutuhan.

Secara sosio-historis, implementasi pembagian hak waris agar rasa keadilan di antara para ahli waris dapat dirasakan bisa saja dilaksanakan dengan pertimbangan. Kekeluargaan/kekerabatan, kearifan lokal, dan kesepakatan semua ahli waris. Pada hakikatnya Allah telah menetapkan hak bagian waris kepada masing-masing ahli waris seperti terlihat dalan surat al-Nisa' ayat 11, 12 dan 176 merupakan akumulasi tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya, sehingga jumlah bagian yang diterimanya sudah sama berimbang dengan tanggungjawab masing-masing dalam keluarganya. Demikian inilah standar keadilan dalam Islam, yaitu keadilan berimbang. Sebagai contoh, hak waris antara laki-laki dan perempuan (al-Nisa': 11) adalah 2: 1. Di kalangan ulama konvensional (mufassirin) di antaranya al-Thabari berpendapat bahwa ayat ini sudah final karena landasan hukumnya qath'I al-tsubut dan gath'I al-dalah sehingga tidak bisa lagi diinterpretasikan lain. Berarti formula 2:1 tersebut harus diaplikasikan kepada ahli waris apa adanya. Sementara di kalangan ulama kontemporer (muta'akhkhirin) seperti Muhammad Shahrur dengan teori nazhariyyat al-hudud-nya berpendapat bahwa ayat itu belum final, karena pada dasarnya tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan. Keadilan, tetapi pemberlakuannya secara bertahap. Pandangan Shahrur ini dilihat dari perspektif metodologis menurut penulis dia adalah menggunakan pendekatan mashlahat mulghat. Untuk itu, surat al-Nisa': 11 dalam tataran implementasinya dengan mengacu kepada konteks. Had al-a'la wa al-adna sekaligus, hak bagian waris laki-laki dan perempuan boleh berubah menjadi 2:2, 1: 1, atau menjadi 1: 2, tergantung pada kondisi para ahli waris itu sendiri. Pembagian hak waris demikian ini adalah kontradiksi dengan nash tetapi maslahat menghendakinya, yaitu mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam memelihara tujuan-tujuan syari'at (maqashid al-syari'ah). Manfaat yang didapatkan dari penerapan formula hak waris tersebut adalah tercapainya prinsip keadilan. Sedangkan mudarat yang ditolaknya adalah terjadinya perselisihan dan putus silaturrahim dalam keluarga ahli waris.

Pengertian Wasiat

Secara bahasa, yang dimaksud dengan wasiat yaitu pesan, atau pesan-pesan, atau sesuatu yang dipesankan kepada orang lain. Sedangkan secara terminologis, wasiat yaitu pesan sesuatu kebaikan kepada seseorang untuk dilaksanakan/dijalankan sesudah meninggalnya. Batasan lain, wasiat yaitu suatu tasarruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat.

Pada dasarnya, setiap orang berhak untuk mewasiatkan harta bendanya kepada siapa yang dikehendakinya, tetapi harus sesuai dengan aturan hukum yang mengaturnya. Adanya ketentuan aturan hukum agar pelaksanaan hak seseorang untuk berwasiat tidak merugikan pihak lain. Sejauh bacaan penulis, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama (empat mazhab) tentang hukum boleh (li al-nadb) mewasiatkan sebagian harta benda kepada siapa yang dikehendaki selain ahli waris, dengan syarat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan ajaran Islam.

Pandangan Ulama Tentang Wasiat

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa semua ulama sepakat mengenai boleh seseorang berwasiat kepada siapa saja yang dikehendakinya, selain ahli waris. Tetapi dalam konteks ini yang menarik penulis kemukakan adalah berwasiat kepada ahli waris yang beda agama.

Abdul Wahab Khallaf berpandangan bahwa apabila ada seorang anak beragama Islam mempunyai harta banyak, maka anak sebagai al-muwarrits diwajibkan untuk mewasiatkan (wasiat wajibah) sebagian hartanya untuk kedua orang tuanya, atau kerabatnya yang non muslim.

Pemikiran Khallaf ini kelihatannya sejalan dengan. Pandangan Ibn Hazm al-Zhahiri yang berpendapat bahwa wasiat itu wajib (al-fardh) hukumnya bagi setiap muslim, terutama kepada kerabat yang terhalang untuk mendapatkan hak waris. Lebih jauh Hazm mengatakan bahwa, apabila tidak diadakan wasiat untuk kerabat yang tidak mendapatkan. Hak waris, maka hakim harus bertindak sebagai muwarrits yaitu memberi sebagian dari harta waris (al-tirkah) kepada kerabat yang terhalang untuk mendapatkan hak warisnya. Sebagai suatu wasiat wajibah untuk mereka.

Berdasarkan beberapa pandangan ulama tersebut dapat ditegaskan bahwa Jumhur fuqaha (dari empat mazhab) sekalipun berpandangan boleh berwasiat kepada selain ahli waris maksimal sepertiga dari harta al-muwarrits, dengan syarat diizinkan (disepakati) oleh ahli waris yang lain, tetapi stresingnya kepada sesama muslim, tidak boleh kepada orang non muslim. Sedangkan Abdul Wahab Khallaf dan Ibn Hazm mewajibkan untuk berwasiat (wasiat wajibah) kepada al- waritsun sekiranya al-muwarrits di saat mau meninggal dunia (sakarat al-maut) tidak berwasiat bagi ahli waris atau kerabat. Yang non muslim. Tanpaknya pendapat Ibn Hazm dan Abdul Wahab Khallaf yang dipandang relevan dan kontekstual yang mewajibkan kepada al-muwarrits untuk berwasiat bagi ahli waris atau kerabat yang tidak mendapatkan warisan karena beda agama. Karena Jumhur fuqaha, sekalipun membolehkan berwasiat tetapi masih terbatas kepada selain ahli waris dan sesama muslim. Bahkan lebih jauh Ibn Hazm menegaskan. Kalau ternyata al-muwarrits tidak berwasiat, maka hakim. Harus bertindak sebagai muwarrits dengan memberikan tirkah kepada ahli waris yang terhalang untuk mendapatkan hak warisnya. Pendapat Ibn Hazm inilah kelihatannya yang dipraktikkan dan dipegangi oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam merekonstruksi Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta No. 83/pdt/1997/PA yk tanggal 4 Desember 1997 tentang Penetapan Ahli Waris non Muslim, tidak mendapatkan hak waris karena amar putusannya berpedoman kepada KHI, pasal 171 huruf b dan e yang menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris harus beragama Islam. Direkonstruksi dan diputuskan oleh MA dengan Keputusannya No. 51.K/AG/1999 tanggal 29 September 1999, dinyatakan dengan memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim yang kadar bagiannya sama dengan ahli waris saudara kandung muslim. Keputusan MA ini secara metodologis jelas bertentangan dengan nash (al-Baqarah: 180 dan hadis), tetapi mashlahat mulghat menghendaki demikian; Yakni maqashid- nya adalah untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan keluarga dengan tetap saling menghargai dan menghormati, mengakomodir adanya realitas sosial masyarakat Indonesia yang pluralitas yang terdiri dari berbagai etnis dan keyakinan agama, dan kemaslahatan untuk memenuhi rasa keadilan.

Pengertian Perwakafan 

Kata wakaf atau Waqf berasal dari bahasa Arab Waqafa. Asal kata Waqafa berarti menahan atau berhenti atau diam di tempat. Wakaf berarti menahan, karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Selain itu dikatakan menahan juga karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang berhak atas wakaf tersebut.

Menurut Abu Hanifah, wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik siwakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebaikan. Berdasarkan definisi ini, pemilik harta wakaf tidak lepas dari wakif bahkan ia dibenarkan untuk menarik kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif meninggal maka harta wakaf menjadi harta warisan bagi ahli warisnya, jadi yang timbul dari wakaf tersebut hanyalah "menyumbangkan manfaat".

Macam-macam Wakaf

Wakaf dilihat dari perspektif peruntukannya, maka dapat dibedakan pada dua macam, yaitu wakaf ahli, dan wakaf khairi. Pertama, dimaksudkan dengan wakaf ahli yaitu wakaf yang diperuntukkan kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini disebut juga dengan wakaf zurri, atau kerabat. Apabila ada seseorang mewakafkan harta bendanya baik berupa benda bergerak seperti motor, mobil, dan yang semacamnya maupun berupa benda tidak bergerak seperti sebidang tanah kepada anaknya, atau cucunya, atau kepada kerabat keluarganya, maka wakafnya sah, dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan ketika ia berwakaf. Wakaf yang diperuntukkan untuk keluarga besar demikian ini secara hukum Islam adalah dibolehkan dan dibenarkan. Dasarnya mengacu pada sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik bahwa Abu Thalhah mewakafkan hartanya untuk keluarga atau kerabatnya. Diujung pernyatannya itu dikatakan: Aku telah mendengar pernyataanmu tentang hal tersebut, saya berpendapat sebaiknya kamu memberikannya kepada keluarga terdekat, maka Abu Thalhah membagikannya untuk keluarga, dan anak-anak pamannya.

Dalam praktik wakaf ahli, atau zurri, istilah lain wakaf kerabat ini adalah baik sekali karena semua keluarga terpelihara kekeluargaannya, merasa ditolong secara materi, terbantu di antara kebutuhan dan kekurangannya, dan persatuan keluarga terorganisir dengan baik. Tetapi tidak jarang juga justru menimbulkan permasalahan baru di antara keluarga, terutama ketika dalam proses pendistribusian dari hasil tanah wakafnya, atau misalnya dari hasil sebuah toko (ruko) yang diwakafkannya secara adil dan merata. Oleh karena demikian, di beberapa negara seperti Mesir, Turki, Maroko dan Aljazair, wakaf ahli/zurri ini telah dihapuskan karena dengan berbagai pertimbangan dinilai tidak produktif,

Kedua, dimaksudkan dengan wakaf khairi, atau wakaf untuk umum yaitu wakaf yang secara tegas dinyatakan oleh si wakif untuk kepentingan umum masyarakat. Misalnya wakaf tanah yang diberikan untuk kepentingan pembangunan masjid, lembaga pendidikan, lembaga dakwa, rumah sakit Islam, tempat pemeliharaan dan pemberdayaan anak-anak jalanan secara profesional, dan lain-lain. Jenis wakaf ini diperuntukkan untuk kepentingan umum yang mencakup semua aspek kehidupan umat manusia, sehingga permasalahan yang berkaitan dengan jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain sebagainya terkoordinasi dan terkelola dengan baik. Semua itu tujuannya tidak ada lain kecuali untuk kesejahteraan masyarakat umum.

Conclusion

Perkawinan dalam Islam dijelaskan sebagai sebuah akad yang menghalalkan hubungan antara seorang pria dan seorang wanita, dengan adanya rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya pernikahan.

Perceraian, atau talak dalam konteks hukum Islam, merupakan pembatalan ikatan perkawinan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, dengan faktor-faktor penyebabnya meliputi ketidakharmonisan, krisis moral, pernikahan tanpa cinta, dan perzinahan..

Kewarisan dalam hukum Islam mengacu pada pembagian harta peninggalan kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an dan hadis, dengan prinsip keadilan berimbang sebagai landasan utama.

Wasiat adalah pesan untuk melakukan kebaikan setelah meninggal, dengan pembatasan tertentu sesuai dengan aturan hukum Islam.

Wakaf adalah penahanan harta untuk kebaikan umum atau untuk individu tertentu, dengan dua jenis utama: wakaf ahli (untuk kerabat) dan wakaf khairi (untuk umum).

Criticism and Suggestions

Buku ini memberikan gambaran yang komprehensif tentang hukum keluarga Islam di Indonesia, terutama fokus pada hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat, dan perwakafan. Penulis dengan jelas menguraikan konsep-konsep penting seperti rukun dan syarat perkawinan, sebab-sebab perceraian, batasan hak waris, serta pandangan ulama tentang wasiat.

Bab-bab dalam buku ini dirangkum dengan baik dan disusun dengan struktur yang logis, memudahkan pembaca untuk mengikuti pembahasan dari konsep dasar hingga penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam bab tentang hukum perkawinan, penulis tidak hanya membahas rukun dan syarat perkawinan, tetapi juga menyoroti pentingnya kafa'ah dalam perkawinan, yang merupakan aspek yang sering diabaikan namun penting dalam membangun hubungan yang harmonis.

Selain itu, penulis juga menyertakan referensi hukum Islam yang relevan, seperti Al-Qur'an dan hadis, serta pendapat ulama terkemuka, sehingga membantu memperkuat argumen yang disampaikan. Ini memberikan kepercayaan kepada pembaca bahwa isi buku didasarkan pada landasan yang kuat dan sahih.

Namun, ada beberapa aspek yang mungkin dapat diperbaiki dalam buku ini. Salah satunya adalah penggunaan bahasa yang lebih sederhana dan jelas agar lebih mudah dipahami oleh pembaca yang mungkin tidak memiliki latar belakang hukum yang kuat. Selain itu, beberapa bagian mungkin terasa agak kering atau terlalu teknis, sehingga penambahan contoh atau ilustrasi praktis dapat membantu pembaca untuk lebih memahami konsep-konsep yang disampaikan.

Melalui pembahasan yang mendalam dalam setiap bab dan sub bab, pembaca dapat memahami secara lebih baik tentang hukum-hukum tersebut dan bagaimana penerapannya dalam konteks masyarakat Indonesia. Terdapat juga referensi yang kuat terhadap sumber-sumber hukum Islam serta pandangan para ulama, sehingga membantu memperkuat argumen yang disampaikan oleh penulis.

Namun, beberapa pembaca mungkin akan merasa bahwa bahasan tentang kewarisan dan perwakafan memerlukan lebih banyak contoh atau studi kasus untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam. Selain itu, akan lebih baik jika buku ini mencakup juga aspek praktis dalam penerapan hukum keluarga Islam di Indonesia, seperti prosedur perkawinan.

Tambahan yang mungkin juga dapat meningkatkan kualitas buku ini adalah penambahan analisis terhadap perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia seiring dengan perubahan sosial, budaya, dan politik. Dengan memperhatikan konteks sosial yang dinamis, pembaca dapat memahami bagaimana hukum keluarga Islam terus berkembang dan beradaptasi dengan kondisi zaman.

Selain itu, penulis dapat mempertimbangkan untuk menambahkan diskusi tentang perbandingan antara hukum keluarga Islam di Indonesia dengan hukum keluarga Islam di negara lain atau dengan hukum keluarga non-Islam. Hal ini akan membantu pembaca untuk memahami konteks unik hukum keluarga Islam di Indonesia dan bagaimana hal tersebut berbeda atau serupa dengan praktek-praktek hukum keluarga di tempat lain.

Selanjutnya, penulis juga mungkin dapat menambahkan bab atau sub-bab yang membahas isu-isu kontroversial atau perdebatan dalam hukum keluarga Islam di Indonesia, seperti poligami, hak-hak perempuan dalam perceraian, atau peran agama dalam sistem hukum nasional. Dengan menghadapi isu-isu yang kompleks dan kontroversial ini, pembaca dapat mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang tantangan dan peluang dalam menerapkan hukum keluarga Islam di Indonesia.

Dengan demikian, dengan peningkatan tersebut, buku "Hukum Keluarga Islam di Indonesia" dapat menjadi sumber yang lebih lengkap dan relevan dalam memahami hukum keluarga Islam di Indonesia. Ini tidak hanya akan bermanfaat bagi para akademisi dan praktisi hukum, tetapi juga bagi masyarakat umum yang ingin memahami lebih dalam tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mendasari hukum keluarga Islam.

Disusun oleh:

Muhammad Ghazza Ardiyanto 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun