Secara sosio-historis, implementasi pembagian hak waris agar rasa keadilan di antara para ahli waris dapat dirasakan bisa saja dilaksanakan dengan pertimbangan. Kekeluargaan/kekerabatan, kearifan lokal, dan kesepakatan semua ahli waris. Pada hakikatnya Allah telah menetapkan hak bagian waris kepada masing-masing ahli waris seperti terlihat dalan surat al-Nisa' ayat 11, 12 dan 176 merupakan akumulasi tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya, sehingga jumlah bagian yang diterimanya sudah sama berimbang dengan tanggungjawab masing-masing dalam keluarganya. Demikian inilah standar keadilan dalam Islam, yaitu keadilan berimbang. Sebagai contoh, hak waris antara laki-laki dan perempuan (al-Nisa': 11) adalah 2: 1. Di kalangan ulama konvensional (mufassirin) di antaranya al-Thabari berpendapat bahwa ayat ini sudah final karena landasan hukumnya qath'I al-tsubut dan gath'I al-dalah sehingga tidak bisa lagi diinterpretasikan lain. Berarti formula 2:1 tersebut harus diaplikasikan kepada ahli waris apa adanya. Sementara di kalangan ulama kontemporer (muta'akhkhirin) seperti Muhammad Shahrur dengan teori nazhariyyat al-hudud-nya berpendapat bahwa ayat itu belum final, karena pada dasarnya tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan. Keadilan, tetapi pemberlakuannya secara bertahap. Pandangan Shahrur ini dilihat dari perspektif metodologis menurut penulis dia adalah menggunakan pendekatan mashlahat mulghat. Untuk itu, surat al-Nisa': 11 dalam tataran implementasinya dengan mengacu kepada konteks. Had al-a'la wa al-adna sekaligus, hak bagian waris laki-laki dan perempuan boleh berubah menjadi 2:2, 1: 1, atau menjadi 1: 2, tergantung pada kondisi para ahli waris itu sendiri. Pembagian hak waris demikian ini adalah kontradiksi dengan nash tetapi maslahat menghendakinya, yaitu mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam memelihara tujuan-tujuan syari'at (maqashid al-syari'ah). Manfaat yang didapatkan dari penerapan formula hak waris tersebut adalah tercapainya prinsip keadilan. Sedangkan mudarat yang ditolaknya adalah terjadinya perselisihan dan putus silaturrahim dalam keluarga ahli waris.
Pengertian Wasiat
Secara bahasa, yang dimaksud dengan wasiat yaitu pesan, atau pesan-pesan, atau sesuatu yang dipesankan kepada orang lain. Sedangkan secara terminologis, wasiat yaitu pesan sesuatu kebaikan kepada seseorang untuk dilaksanakan/dijalankan sesudah meninggalnya. Batasan lain, wasiat yaitu suatu tasarruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat.
Pada dasarnya, setiap orang berhak untuk mewasiatkan harta bendanya kepada siapa yang dikehendakinya, tetapi harus sesuai dengan aturan hukum yang mengaturnya. Adanya ketentuan aturan hukum agar pelaksanaan hak seseorang untuk berwasiat tidak merugikan pihak lain. Sejauh bacaan penulis, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama (empat mazhab) tentang hukum boleh (li al-nadb) mewasiatkan sebagian harta benda kepada siapa yang dikehendaki selain ahli waris, dengan syarat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan ajaran Islam.
Pandangan Ulama Tentang Wasiat
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa semua ulama sepakat mengenai boleh seseorang berwasiat kepada siapa saja yang dikehendakinya, selain ahli waris. Tetapi dalam konteks ini yang menarik penulis kemukakan adalah berwasiat kepada ahli waris yang beda agama.
Abdul Wahab Khallaf berpandangan bahwa apabila ada seorang anak beragama Islam mempunyai harta banyak, maka anak sebagai al-muwarrits diwajibkan untuk mewasiatkan (wasiat wajibah) sebagian hartanya untuk kedua orang tuanya, atau kerabatnya yang non muslim.
Pemikiran Khallaf ini kelihatannya sejalan dengan. Pandangan Ibn Hazm al-Zhahiri yang berpendapat bahwa wasiat itu wajib (al-fardh) hukumnya bagi setiap muslim, terutama kepada kerabat yang terhalang untuk mendapatkan hak waris. Lebih jauh Hazm mengatakan bahwa, apabila tidak diadakan wasiat untuk kerabat yang tidak mendapatkan. Hak waris, maka hakim harus bertindak sebagai muwarrits yaitu memberi sebagian dari harta waris (al-tirkah) kepada kerabat yang terhalang untuk mendapatkan hak warisnya. Sebagai suatu wasiat wajibah untuk mereka.
Berdasarkan beberapa pandangan ulama tersebut dapat ditegaskan bahwa Jumhur fuqaha (dari empat mazhab) sekalipun berpandangan boleh berwasiat kepada selain ahli waris maksimal sepertiga dari harta al-muwarrits, dengan syarat diizinkan (disepakati) oleh ahli waris yang lain, tetapi stresingnya kepada sesama muslim, tidak boleh kepada orang non muslim. Sedangkan Abdul Wahab Khallaf dan Ibn Hazm mewajibkan untuk berwasiat (wasiat wajibah) kepada al- waritsun sekiranya al-muwarrits di saat mau meninggal dunia (sakarat al-maut) tidak berwasiat bagi ahli waris atau kerabat. Yang non muslim. Tanpaknya pendapat Ibn Hazm dan Abdul Wahab Khallaf yang dipandang relevan dan kontekstual yang mewajibkan kepada al-muwarrits untuk berwasiat bagi ahli waris atau kerabat yang tidak mendapatkan warisan karena beda agama. Karena Jumhur fuqaha, sekalipun membolehkan berwasiat tetapi masih terbatas kepada selain ahli waris dan sesama muslim. Bahkan lebih jauh Ibn Hazm menegaskan. Kalau ternyata al-muwarrits tidak berwasiat, maka hakim. Harus bertindak sebagai muwarrits dengan memberikan tirkah kepada ahli waris yang terhalang untuk mendapatkan hak warisnya. Pendapat Ibn Hazm inilah kelihatannya yang dipraktikkan dan dipegangi oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam merekonstruksi Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta No. 83/pdt/1997/PA yk tanggal 4 Desember 1997 tentang Penetapan Ahli Waris non Muslim, tidak mendapatkan hak waris karena amar putusannya berpedoman kepada KHI, pasal 171 huruf b dan e yang menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris harus beragama Islam. Direkonstruksi dan diputuskan oleh MA dengan Keputusannya No. 51.K/AG/1999 tanggal 29 September 1999, dinyatakan dengan memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim yang kadar bagiannya sama dengan ahli waris saudara kandung muslim. Keputusan MA ini secara metodologis jelas bertentangan dengan nash (al-Baqarah: 180 dan hadis), tetapi mashlahat mulghat menghendaki demikian; Yakni maqashid- nya adalah untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan keluarga dengan tetap saling menghargai dan menghormati, mengakomodir adanya realitas sosial masyarakat Indonesia yang pluralitas yang terdiri dari berbagai etnis dan keyakinan agama, dan kemaslahatan untuk memenuhi rasa keadilan.
Pengertian PerwakafanÂ
Kata wakaf atau Waqf berasal dari bahasa Arab Waqafa. Asal kata Waqafa berarti menahan atau berhenti atau diam di tempat. Wakaf berarti menahan, karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Selain itu dikatakan menahan juga karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang berhak atas wakaf tersebut.