“Seorang pemusik jalanan, untuk apa punya lima orang anak asuh?” tanya seorang polisi seraya menyudutkan Tejo.
Peluh Tejo mulai membasahi seluruh permukaan wajahnya. Perlahan jatuh ke leher dengan derasnya.
“Kenapa keringetan seperti itu? Takut, ya?”
“Tidak. Di sini sangat pengap.” Tejo tetap berusaha tenang dengan keadaan yang kini menimpanya.
Salah seorang polisi mengancamnya dengan memainkan belati ke sekitar lehernya.
“Apa yang anda perbuat pada anak-anak itu?” tanya seorang polisi lagi.
Tejo mendengar tidak hanya tiga jenis suara di sana. Dua kali ia mendengar suara pintu terbuka lalu tertutup dan suara langkah orang masuk tanpa ada suara keluar. Ia yakin ada lima polisi sekarang. Ia masih bingung dengan apa yang ia perbuat hingga ia dibawa ke ruangan ini.
“Saya merawat mereka, menyekolahkan mereka agar mereka tidak mengamen di jalanan atau menjadi seorang pemulung. Saya menyayangi mereka seperti anak saya sendiri.” Tejo meneteskan air mata.
Pikirannya berkecamuk. Ia memikirkan satu per satu hal yang ia perbuat pada anak-anaknya. Ia mengingat-ingat kesalahan yang ia perbuat pada anak-anaknya sambil membayangkan wajah anak-anaknya.
“Sok baik rupanya kamu, ya. Mana mungkin, pengamen seperti kamu mampu menghidupi bahkan sampai menyekolahkan mereka.” Sangkal seorang polisi.
“InsyaAllah rejeki yang saya dapatkan itu cukup untuk kami ber-enam.”