Sri, Ragil, Rani, Ilham, dan Dimas, menangis sejadi-jadinya diluar ruang perawatan. Mereka menangisi bapaknya yang kini terkapar tak berdaya di ruang ICU. Tak luput, orangtua Tasya pun turut serta ada di sana. Mereka yang menanggung semua pengobatan Tejo. Mereka benar-benar merasa ikut bersalah.
“ANak-anak, mari kita doakan bapak.” Ajak Maryati.
“Tante. Kami nggak punya siapa-siapa lagi. Cuma bapak yang mau merawat kami,” kata Sri sesenggukan.
“Mas, aku akan jaga anak-anak jika ini adalah yang kamu mau untuk membuktikan cintaku padamu,” batin Maryati.
“Mba, maafkan kami.” Ibu Tasya menggenggam tangan Maryati.
“Kalau mas Tejo sadar, pastilah beliau memaafkan kalian. Mas Tejo itu laki-laki yang sangat bijaksana dan pemaaf.”
Dokter berlari tergesa-gesa bersama dua orang perawat memasuki ruang ICU. Semua mata tertuju pada keadaan itu. Degub jantung kekhawatiran makin kuat memacu jantung mereka.
“Tante. Bapak,” seru Sri.
“Bapak, akan kembali sehat.”
Seorang dokter keluar dengan wajah yang entah. Ia masih memakai masker.
“Ibu Maryati.”