Mohon tunggu...
Cerpen

Bapakku Bukan Penculik

7 November 2016   15:21 Diperbarui: 7 November 2016   15:45 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kamu ditahan.”

Sepasang borgol membelenggu kedua tangan Tejo. Tejo tak diam, dia berusaha melepaskan borgol itu, namun tangan-tangan polisi yang berbadan gempal itu lebih kuat memeganginya.

“Apa salah saya, pak?” elak Tejo.

“Dijelaskan di kantor polisi saja. Sekarang kamu diam, dan ikut kami kalau kamu tidak mau hukumannya makin berat.”

Tejo digelandang ke kantor polisi untuk dimintai beberapa keterangan. Sesampainya di kantor polisi, tejo didudukkan di kursi kayu. Lampu di atas kepalanya agak membuatnya kepanasan. Tiga orang polisi berbadan besar dengan otot-otot yang kekar mengelilingi Tejo. Seorang polisi maju menutup mata Tejo dengan kain hitam.

***

Pagi-pagi buta Tejo sudah siap-siap mencari nafkah. Disiapkannya semua peralatan kerjanya. Pria paruh baya yang masih membujang ini seorang penghibur jalanan yang taat pada Tuhannya. Tiap pagi tak jarang ia bangun sebelum adzan subuh berkumandang. Ia pun memasak nasi beserta lauk seadanya untuk anak-anak asuhnya yang tinggal bersamanya sejak bencana banjir 2009 lalu di Jakarta.

“Pak, biar Sri bantu masak.”

“Bangunin adik-adik yang lain saja.”

“Pak,” panggil Ilham.

“Kenapa?” jawab Tejo.

“Ilham ngimpi bapak masuk penajara.”

“Kamu takut?”

“Ilham jangan ngawur ngomongnya,” tukas Rani yang baru bangun.

“Syuuut, jangan ribut. Nggak akan masuk penjara kalau tidak salah.”

“Ah, banyak yang kelihatan sedang korupsi, tapi tidak dipenjara,” celetuk Ragil.

“Ih, Ragil sok tahu, deh,” lanjut Sri.

“Sri, sudah matang belum? Cepat sarapan dulu. Berdebatnya nanti lagi.”

“Makan!!!”

***

“Bapak Tejo. Masih single, tapi punya lima orang anak,” ucap salah seorang polisi.

“Mereka anak-anak asuh saya,” ucap Tejo tenang.

“Seorang pemusik jalanan, untuk apa punya lima orang anak asuh?” tanya seorang polisi seraya menyudutkan Tejo.

Peluh Tejo mulai membasahi seluruh permukaan wajahnya. Perlahan jatuh ke leher dengan derasnya.

“Kenapa keringetan seperti itu? Takut, ya?”

“Tidak. Di sini sangat pengap.” Tejo tetap berusaha tenang dengan keadaan yang kini menimpanya.

Salah seorang polisi mengancamnya dengan memainkan belati ke sekitar lehernya.

“Apa yang anda perbuat pada anak-anak itu?” tanya seorang polisi lagi.

Tejo mendengar tidak hanya tiga jenis suara di sana. Dua kali ia mendengar suara pintu terbuka lalu tertutup dan suara langkah orang masuk tanpa ada suara keluar. Ia yakin ada lima polisi sekarang. Ia masih bingung dengan apa yang ia perbuat hingga ia dibawa ke ruangan ini.

“Saya merawat mereka, menyekolahkan mereka agar mereka tidak mengamen di jalanan atau menjadi seorang pemulung. Saya menyayangi mereka seperti anak saya sendiri.” Tejo meneteskan air mata.

Pikirannya berkecamuk. Ia memikirkan satu per satu hal yang ia perbuat pada anak-anaknya. Ia mengingat-ingat kesalahan yang ia perbuat pada anak-anaknya sambil membayangkan wajah anak-anaknya.

“Sok baik rupanya kamu, ya. Mana mungkin, pengamen seperti kamu mampu menghidupi bahkan sampai menyekolahkan mereka.” Sangkal seorang polisi.

“InsyaAllah rejeki yang saya dapatkan itu cukup untuk kami ber-enam.”

***

“Pak, kenapa bapak tidak mencarikan kami ibu?” tanya Ilham polos.

“Buat apa? Cepat pakai sepatunya, kalian hampir terlambat.” Tejo memakaikan sepatu Ilham.

Ilham berumur paling muda diantara anak lainnya. Tak ayal Tejo paling memperhatikannya karena Ilham sangat manja. Orangtuanya meninggal tertabrak truk ketika sedang memulung.

“Ya, Ilham mau punya ibu dan bapak.”

Tejo memandangi wajah Ilham yang terlihat kecewa. Ia mencium keningnya

“Bapak bisa jadi bapak yang baik buat Ilham dan kakak-kakak. Kak Sri bisa masak seperti ibu. Bukankah sudah cukup?”

Tejo sebenarnya ingin sekali menikah. Umurpun belum menginjak kepala empat. Tapi dia selalu berpikir, wanita mana yang mau dengannya, laki-laki tanpa pekerjaan yang baik dan punya lima orang anak.

“Sri, Ragil, Rani, dan Dimas, pun mau punya Ibu.” Sri memandangi wajah sang bapak yang agak malu mendengar permintaan anak-anaknya itu.

“Baiklah, nanti malam, semua doakan bapak, ya. Supaya cepet dapat ibu untuk kalian.”

Sri anak tertua, memandangi ayahnya penuh haru. Ia bukan tidak mau memasak lagi untuk adik-adiknya, tapi ia ingin lihat bapaknya ada yang menemani semasa tuanya nanti.

“Kami sayang bapak.”

***

“Apa hal saya ditangkap. Saya berhak tahu sebab saya ditangkap.” Tejo mencoba membela dirinya.

“Sebab apa? Jelas sebabnya,” sahut si polisi.

Seorang polisi menarik rambut Tejo yang agak panajng dan menjambaknya perlahan. Seorang lainnya menggebrak meja dengan kuat.

‘brakkk…!!!’

“Ya Allah. Lindungi anak-anak dimanapun mereka berada,” batin Tejo.

“Kamu tidak punya ijin mengasuh mereka.” Seru polisi lain.

“Allah memberi saya ijin.” Tejo menegakkan dagunya.

“Apa buktinya?!” bentak seorang yang lain lagi.

“Saya bisa menyekolahkan mereka. Memberi makan mereka atas rejeki yang diberikan Allah.”

Suasana seketika hening. Tejo meneteskan air mata. Tak terdengar hela napas para polisi yang menginterogasi Tejo. Tejo terus menangis.

“Sudah-sudah. Kita break dulu.”

***

Seorang perempuan paruh baya berjalan mondar-mandir di depan rumah Tejo. Tinggi dan ramping. Ia mengenakan jilbab hijau muda dan mengenakan gamis pink. Sebuah rantang susun lima ia tenteng ditangan sebelah kanannya. Ia memperhatikan rumah Tejo dengan seksama dari warung di sebrang jalan.

“Tante.” Ilham menegur wanita itu.

“Eh. Iya. Siapa, ya?”

“Saya Ilham. Anak bapak Tejo. Pemilik rumah itu.”

Wanita diam tak mengatakan apa-apa lagi. Ia memandangi anak itu dengan seksama.

“Bukankah mas Tejo itu masih bujangan?” batinnya.

“Tante.”

“Eh. Boleh tante masuk? Kalau mas, eh, bapak kamu ada, sampaikan salam dari tante maryati, ya.”

Maryati memberikan rantang itu pada Ilham. “Ini buat kalian makan malam.”

“Makasih, tante.”

Tanpa berkata lagi Maryati pergi meninggalkan Ilham.

“Tantenya baik, tapi aneh,” gumam Ilham.

***

“Pak, bagaimana? Apa sudah tertangkap?” tanya seorang laki-laki muda.

Kantor polisi yang agak ramai siang itu, membuat semua orang berubah garang dan emosi tinggi. Polisi-polisi di sana pun terdengar membicarakan penajahat yang katanya sangat sadis namun telah tertangkap.

“Sebentar, ya, pak.”

Krisna dan istrinya, orangtua dari korban penculikan yang sampai sekarang belum diketahui rimbanya, masih sabar menunggu kabar dari pihak kepolisian.

“Mas, bagaimana keadaan Tasya. Aku khawatir.”

“Sabar. Kita serahkan pada pihak kepolisian.”

“Pak Krisna.” Seorang polisi memanggilnya.

“Bagaimana, pak. Ada perkembangan?”

“Ada seorang yang kami curigai sebagai penculik anak bapak dan ibu. Namun belum pasti.”

Wajah keduanya agak muram. Mereka masih belum yakin dengan yang dibilang polisi itu. Digenggamnya tangan istrinya kuat-kuat untuk meredakan kesedihan.

“Bisa kami bertemu dengannya?” pinta sang istri.

“Boleh. Mari kita temui dia.”

Mereka berjalan menuju ruang interogasi yang di sana ada Tejo. Pintu dibuka oleh polisi itu. Tejo terperangah agak terkejut. Ia berpikir untuk lebih kuat dan sabar lagi menghadapi pertanyaan selanjutnya.

“Silahkan duduk.”

“Bapak. Saya orang tua Tasya. Apa bapak menculik anak saya?” tanya si istri sendu.

“Betul. Saya ayahnya.”

“Maaf. Saya ini pengamen. Saya juga punya anak. Lima orang. Tapi tidak ada yang bernama Tasya. Kalau kalian tidak percaya. Silahkan datangi rumah saya. Tanya pada Rt setempat.”

“Pak polisi…” keluh si istri.

“Pak Tejo. Mengakulah!” pinta si polisi.

“Apa yang mau saya akui jika saya tidak melakukan?” jawab Tejo. “Sampai kalian membunuh saya sekalipun, saya tidak akan mengakuinya. Karena bagaimana saya mengembalikan anak kalian kalau saya tidak ambil? Kalian yang berdosa karena telah ambil saya dari anak-anak saya.”

‘praaakkk!!!’

Sebuah tamparan keras melayang ke wajah Tejo.

“Bunuh saya saja!!! Saya tidak bersalah!!!”

***

 Sri duduk di teras rumah. Langit semakin gelap. Awan terlihat agak mendung. Bapak yang biasanya pulang sebelum adzan magrib berkumandang, sampai kini masih belum nampak batang hidungnya. Sri sangat mencemaskan bapaknya itu. Dua jam lebih ia sengaja menunggu bapaknya. Perasaannya tidak baik.

“Mba Sri. Siap-siap solat dulu. Nanti bapak marah, lho.”

“Ya.”

Tak berapa lama usai waktu magrib suara ketuk pintu membuyarkan sekejap kesedihan Sri. Segera ia buka pintu dan memeluk orang yang ketuk pintu itu.

“Bapak.”

“Eh. Maaf, init ante Maryati.”

Sri tersipu malu dan melepaskan pelukannya. Iamencium tangan Maryati.

“Tante ini kawannya bapak?” tanya Ragil.

Maryati mengangguk dan masuk lalu menutup pintunya. “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Tunggu bapak, ya?”

“Iya, tante.”

“Tante temani sampai bapak datang, ya. Ini tante bawa makanan. Sri, tolong tante ambil nasi dan piring, ya.”

Maryati telah mengetahui apa yang terjadi pada Tejo. Ia membuktikan cintanya pada Tejo dengan datang menemani anak-anak. Maryati dan Tejo berhubungan sejak lama, namun Maryati di Taiwan dan Tejo tetap di Jakarta. Minggu lalu Maryati pulang ke Slawi dan segera ia ke Jakarta untuk menemui Tejo. Namun, musibah datang pada Tejo. Di sini, Maryati mau membuktikan pada Tejo, bahwa ia bukanlah wanita seperti yang dulu Tejo pernah ucapkan padanya.

“Aku ini laki-laki miskin. Manmungkin, Maryati yang akan jadi kaya raya ini akan mau kupinang.” Ingatnya.

“Bagaimana? Enak?”

“Enak banget tante.” Anak-anak itu terlihat bahagia.

***

Tejo semakin disudutkan. Orang tua Tasya tetap meminta polisi untuk memaksa Tejo mengaku. Tejo dihujam pukulan di sana dan di sini. Tapi mulutnya terus berdzikir.

“Sok alim kamu!!!”

‘kreeekkk!!!”

“Pak, permisi.” Seorang pegawai polisi masuk.

“Ada, apa,?”

“Bripda Natsir membawa penjahat yang menculik Tasya.”

“Alhamdulillah.” Seru Tejo.

Wajah polisi-polisi itu memerah. Mereka terhenyak mendengar kabar itu. Dibukanya borgol dilengan Tejo.

“Bawa dia keluar.”

Tejo yang sudah tak berdaya dipapah keluar ruangan. Penutup matanya dibuka. Wajahnya lebam dan bercucuran darah. Dia di bawa keruang perawatan kepolisian.

“Gawat, kapten. Bapak Tejo sekarat.”

***

Pandangannya agak buram. ia pun tak mendapati satu orang pun bersamanya. Ia tahu, ia telah sadar dan dinyatakan tidak bersalah. Luka pun tak lagi ia bisa rasakan. Tempat yang kini ia tempati pun tidak dikenalnya. Bersih, terang, dan wangi.

“Aku di mana?” batinnya.

“Surga.” Jawab sebuah suara.

“Bagaimana anak-anak?”

“Apa kamu masih sanggup merawat mereka?”

“Mereka masih membutuhkanku, wahai penjaga tempat.”

“Tidak.”

Sri, Ragil, Rani, Ilham, dan Dimas, menangis sejadi-jadinya diluar ruang perawatan. Mereka menangisi bapaknya yang kini terkapar tak berdaya di ruang ICU. Tak luput, orangtua Tasya pun turut serta ada di sana. Mereka yang menanggung semua pengobatan Tejo. Mereka benar-benar merasa ikut bersalah.

“ANak-anak, mari kita doakan bapak.” Ajak Maryati.

“Tante. Kami nggak punya siapa-siapa lagi. Cuma bapak yang mau merawat kami,” kata Sri sesenggukan.

“Mas, aku akan jaga anak-anak jika ini adalah yang kamu mau untuk membuktikan cintaku padamu,” batin Maryati.

“Mba, maafkan kami.” Ibu Tasya menggenggam tangan Maryati.

“Kalau mas Tejo sadar, pastilah beliau memaafkan kalian. Mas Tejo itu laki-laki yang sangat bijaksana dan pemaaf.”

Dokter berlari tergesa-gesa bersama dua orang perawat memasuki ruang ICU. Semua mata tertuju pada keadaan itu. Degub jantung kekhawatiran makin kuat memacu jantung mereka.

“Tante. Bapak,” seru Sri.

“Bapak, akan kembali sehat.”

Seorang dokter keluar dengan wajah yang entah. Ia masih memakai masker.

“Ibu Maryati.”

“Saya, dok.”

“Mari ikut saya.”

Maryati dan dokter itu masuk ke sebuah ruangan. Mereka berbincang masalah Tejo. Dokter menyampaiakn keadaan Tejo membaik.

“Nyawanya hamper dan bahkan sempat terpisah dari raga. Namun tiba-tiba ia menyerukan nama anda. Mari ikut saya ke dalam.”

Dipandanginya wajah Tejo. Ia terlihat bersih meskipun lebam di wajahnya sangat nampak. Maryati mendekatinya dan mengelus kepalanya. Ia mnecium kening Tejo perlahan. Air matanya tak lagi sanggu ia sembunyikan. Tetes demi tetes ia tumpahkan.

“Maryati.”

“Mas. Mas sudah sadar?”

“Aku ingin melamarmu, menjadi ibu dari anak-anakku.”

“Ya, aku mau, mas. Aku bersedia menjadi ibu dari mereka.”

***

“Saya terima nikah dan kawinnya Maryati binti Daud dengan mas kawin seperangkat alat solat dibayar tunai.”

“Bagaimana, sah?” tanya penghulu.

“Sah.”

“Alhamdulillah.”

“Ketidakadilan di muka bumi banyak terjadi. Tujuan daripada itu adalah Allah mau menunjukkan kebesaran-Nya dan keadilan-Nya pada manusia di bumi yang banyak berlaku tidak adildengan cara yang Allah atur sendiri. Dan bersabarlah dengan setiap cobaan yang Allah berikan, sesungguhnya Dia pun telah menyiapkan jalan keluar yang baik daripada setiap kesulitan.Allahuaalam bi sawab.” (Tejo Raharjo)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun