Mohon tunggu...
Fitri Hidayati
Fitri Hidayati Mohon Tunggu... Pendidik -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengakuan yang Tertunda

30 Desember 2018   10:58 Diperbarui: 30 Desember 2018   11:19 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini terlihat aktivitas lebih padat dari biasanya. Semua orang terlibat dalam persiapan perpisahan sederhana yang akan kami gelar . Besok pagi para relawan dari Jawa Timur tugasnya akan purna. Malam ini adalah malam terakhir kami bersama.

Ada gundah mendalam yang kurasa. Sebuah beban yang makin menekan dalam hati. Aku tak tahu harus berbuat apa. Otakku tak mampu berpikir jernih. Hilir mudik orang dan gelak tawa mereka tak mampu mengusir gundah hatiku. Aku merasa sepi di tengah keramaian. Aku merasa sendiri di antara banyak orang.

Kutangkap sosok seseorang yang duduk di sudut ruang. Sendiri.  Sejenak kuperhatikan. Oh ... Hida. Aku lihat dia tampak murung. Ingin rasanya aku mendekati, menghibur, dan bercerita. Cerita yang selalu membuatnya tertawa. Namun kali ini aku tak kuasa. Ada berjuta tangan yang menahan langkahku.

Kututup rapat muka dengan kedua telapak tangan. Aku mengutuk diriku sendiri yang tak mampu menghadapi kenyataan. Bahkan untuk menghadapi Hida, aku tak memiliki keberanian. Ya Allah ... berikan kekuatan pada jiwaku untuk menghadapi semuanya. Berikan keberanian hatiku untuk menerima semua konsekuensi  yang akan terjadi.

Kaki ini melangkah gontai. Bagai terbelenggu rantai, gemetar dan berat. Hida, bagaimana aku harus menyapamu? Sementara aku tak mampu meredakan gemuruh gundah hatiku. Rasa bersalah  berlumur rasa tak tega makin menghimpit.

"Kakak !"

"Iya, Dik?"

"Kenapa nggak bergabung dengan mereka?"

Aku tak mampu menjawab. Aku tahu perasaan Hida sama dengan perasaanku. Kami sama-sama tak mampu melampaui masa-masa terakhir ini. Masa yang sangat berat untuk berpisah. Tanpa kami sadari, selama kami bersama, lambat tapi pasti perasaan kami bersemi kembali. Seiring cerita lama yang kami untai .

"Besok pagi aku sudah kembali, Kak. Aku tak akan dengar cerita Kakak lagi." Suara Hida memecah keheningan di antara kami. Dia yang biasanya selalu menunggu, kali ini berani memulai. Hatiku mulai gentar. Ada kekhawatiran tentang perubahan Hida. Perubahan yang membuat dia makin berani. Keberaniannya dalam memperjuangkan sesuatu.

"Kak Imam tak mendengarku?"

"Oh, ya ... ya .... Kakak juga tak ingin Adik pergi. Pengen bersama terus." Aku sangat gugup. Aku keceplosan berbicara. Bahkan aku tak sadar apa yang kuucapkan. Tiba-tiba kata itu  meluncur dari mulut. Kulihat ada binar bahagia di mata Hida. Jantungku makin berdebar.

"Kenapa Kakak saat itu tiba-tiba menghilang?" Hida mulai menyelidik.

"Apakah aku masih harus bertahan? Setelah semuanya berakhir?"

"Kakak tak pernah memberi kabar padaku."

 Aku tersentak. Sebenarnya enggan mengenang kembali perjalanan hidup yang kami lalui. Mengorek luka lama. Aku tak menyangka Hida mengajukan pertanyaan yang sangat mengejutkan.

"Adik, beberapa kali Kakak kirim surat padamu. Bukankah itu berarti Adik sudah mengetahuinya?"

"Innalillahi ... aku tidak pernah menerimanya, Kak."

"Ah ... nggak mungkinlah. Adik membalasnya. Saat Kakak minta fotomu, adik kirimkan juga."

"Maaf, Kak. Sedikitpun tak ada yang tersisa di ingatanku. Mungkin orang lain yang membalasnya."

"Ah, tidak mungkin orang lain membalasnya. Saat itu pembicaraan kita juga nyambung. Kalau orang lain yang balas tak mungkin dia tahu permasalahan kita."

"Aneh, kenapa aku tidak ingat?"

" Sudahlah, Dik. Kalau memang tak bisa diingat jangan dipaksakan."

" Enggak Kak, izinkan aku klarifikasi tentang hal ini. Aku tidak mau salah faham di antara kita berkepanjangan. Dalam cerita Kakak, ada kesan kalau aku dalam posisi yang salah."

" Loh siapa yang menyalahkan. Kakak nggak menyalahkan Adik. Cuma sepertinya nggak rasional saja. Beberapa kali kita berkomunikasi, tapi Adik kog nggak merasa."

" Nah, sebenarnya permasalahannya memang terfokus di sini Kak. Kita sama-sama memegang argument masing-masing. Mari kita coba  memadukan masalah ini kemudian kita tarik simpulan."

" Kalau menurut Adik itu penting, silakan!"

Kuperhatikan Hida menggeser duduknya. Tampak dia berfikir keras untuk mengurai masalah ini. Aku maklumi apabila dia getol mencari kebenaran untuk pembelaan dirinya. Sesungguhnya aku pun merasakan ada sebuah kejanggalan, dengan masalah ini.

" Kakak masih ingat,  berapa kali  menulis surat buat Adik?"

" Wah, berapa kali ya? Yang jelas sering kali."

" Saat Adik masih di SMP?"

" Ya. Sejak SMP sampai Adik kuliah."

Hida terperanjat mendengar pengakuanku. Tampak wajahnya makin tegang.

" Astaghfirullah, selama itu?"

" Ya. Selama itu kita berkomitmen."

Hida menatapku. Seolah dia ingin menyelami hatiku. Ada kecurigaan mendalam di matanya.

" Kenapa Dik? Adik tidak percaya?"

Hida menggeleng lemah. Dia menghela napas Panjang.

" Kak, Adik makin yakin. Ada seseorang yang bermain di belakang kita."

" Maksud Adik?"

" Selama kita berpisah, Kakak hanya tiga kali mengirim surat padaku. Itu pun saat aku masih di SMP. Saat SMA tidak pernah aku terima surat kakak, apalagi saat aku kuliah."

" Faktanya aku selalu mengirim dan selalu Adik membalasnya."

" Oke, anggap saja Adik percaya Kakak megirimnya, tapi apakah Kakak pernah mencermati tulisanku? Ada perbedaan nggak?"

" Wah ya enggak. Tiap balasan datang aku segera membalasnya dan menyimpan surat itu dengan baik."

" Saat aku SMA dan kuliah Kakak alamatkan ke mana surat itu?

" Aku alamatkan ke rumah orang tuaku dan aku minta adikku menyampaikan padamu."

" Kenapa tidak langsung ke aku?"

" Aku tidak tahu alamat rumahmu. Yang kutahu hanya alamat SMP mu. Itulah alasanku kenapa menitipkan surat itu kepada adikku. Bukankah sekolah kalian berdekatan?"

" Betul, sekolah kami berdekatan. Tapi adik Kakak itu tidak pernah menyampaikan apapun. Bahkan aku tidak kenal secara langsung, tapi dikenalkan sahabatku, tetangga Kakak."

Kali ini aku yang terbengong. Hida tidak mengenal adikku dengan baik? Bahkan mereka kenal sambil lalu, hanya saling senyum bila bertemu. Kepalaku terasa makin berat. Aku tak mampu mencerna fakta yang disampaikan Hida. Tapi Hida tampak bersungguh-sungguh. Aku yakin apa yang disampaikan Hida benar. Tapi selama ini siapa yang membalasnya?

" Bahkan saat Adik sudah kuliah pun , Kakak masih terima balasan itu."

" Aku dan adik Kakak memang kuliah di universitas yang sama. Namun kami tidak pernah berbincang. Apalagi memberikan titipan surat Kakak."

" Kok aneh banget sih."

" Bukankah sudah makin jelas terkuak Kak? Setelah kita telusuri satu demi satu. Kalau jelas seperti ini, Kakak tidak akan menganggap Adik hanya membela diri untuk mencari pembenaran kan?"

Aku semakin bingung. Tak sepatah kata pun ku menjawabnya.

" Baiklah Kak, aku tidak memaksa Kakak mempercayainya. Namun setidaknya dari penjelasanku ini Kakak lebih terbuka tentang apa yang terjadi di antara kita. Kalau Kakak belum yakin, kita bisa tanyakan kepada keluarga Kakak tentang kebenarannya. Terutama adik Kakak. Apakah surat yang Kakak titipkan disampaikan  kepada ku atau tidak,"

Aku makin bingung saat Hida makin menggebu-nggebu. Dia tampak semangat mengorek cerita lama kami. Aku tak tahu harus berargumentasi apa lagi. Kenyataannya saat itu memang kami terlibat pembicaraan saling mengungkapkan rasa. Saat itu kami  paham  saling menyayangi. Namun setelah mendengar paparan Hida, aku juga menjadi ragu. Benar-benar irasional!

"Kak. Kenapa Kakak baru sampaikan semua? Selama ini aku anggap Kakak tidak serius."

"Bagaimana adik beranggapan seperti itu? Bila tidak serius, apa mungkin aku meminta orang tua meminangmu?"

Hida tak menjawab. Dia menatapku dengan tatapan serius. Mungkin dia terkejut aku berbicara dengan intonasi agak tinggi.

"Pernah nggak, ada utusan keluargaku datang ke rumahmu?" 

 Hida mengangguk pasti, namun tak sekalimat pun keluar dari bibirnya. Tampak dia berpikir keras. Dia berusaha memutar kenangan lamanya.

"Itu bukti keseriusan Kakak. Tapi ternyata Adik menolak, kan?."

"Maafkan aku, Kak. Saat itu aku masih sangat muda. Sama sekali belum pernah kepikiran untuk menikah, apalagi aku masih harus kuliah."

"Sudahlah. Jawaban itu masih terekam rapi dalam benakku. Aku menyadari  siapa diriku. Kalau memang nggak mau kan nggak bisa dipaksa."

" Kenapa Aku anggap Kakak kurang serius? Karena setelah keluargaku memberikan jawaban melalui kurir bahwa aku belum siap menikah, tidak ada tindak lanjut lagi dari pihak Kakak!"

" Ada Dik. Saat itu Kakak tawarkan  agar Adik melanjutkan studi di Palu saja.  Saat itu Kakak ajukan dua opsi. Pertama kita nikah dahulu sambil adik melanjutka kuliah di Palu. Sedangkan Opsi yang kedua, Kakak akan menunggu sampai Adik siap dan menyilakan Adik tetap kuliah di Jawa.

"Kenapa saat itu Kakak nggak langsung menghubungi aku?"

"Ya, sudahlah. Mungkin itu yang harus terjadi.  Saat ini sudah tak ada manfaatnya kita bahas. Itu masa lalu."

Hida menunduk dalam. Helaan napas panjang. Bersamaan mukanya dia angkat, terlihat air matanya mengucur deras. Aku tak sanggup melihatnya. Dalam kondisi bingung ini. Allah mengirim Firdaus menemui kami.

"Ya Allah ... ternyata kalian di sini? Ayo, sejak tadi Pak Syaifuddin mencari kalian!"

Tanpa menjawab, kami segera beranjak. Acara sudah siap dimulai. Kulihat Danil menatap kami dengan tatapan aneh. Aku jadi salah tingkah. Kulirik Hida. Matanya tampak sembab. Dia segera menempatkan diri di barisan ibu-ibu.

Acara dilaksanakan  dengan hikmat dan sederhana. Kami merasa sangat dekat meskipun baru dua minggu. Kebersamaan kami dalam bahu membahu mengatasi masalah kemanusiaan di sini. Tidak mengherankan suasana haru yang mendalam menyelimuti.

Pak Syaifuddin memberi sambutan atas nama masyarakat Palu. Beliau  mewakili masyarakat Palu untuk menyampaikan ucapan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada para relawan yang telah memberikan bantuan selama ini. Permintaan maaf juga disampaikan apabila kami dalam menerima dan mendampingi banyak kekurangan.

Danil tampak serius memberikan sambutan sebagai wakil para relawan.Ucapan terima kasih dan permohonan maaf juga disampaikannya menanggapi sambutan Pak Syaifuddin.

Di akhir pidatonya Danil menyampaikan kesan yang mendalam selama bersama kami menangani bencana ini.  Kebersamaan yang luar biasa. Persaudaraan yang tak dapat dinilai dengan apapun.

Saat Danil mengakhiri pidatonya  dengan salam perpisahan,  disambut tepuk tangan yang meriah di antara isak tangis yang tumpah. Pak Syaifuddin menyambut Danil dan memeluknya dengan sangat erat.

Setelah sambutan selesai, diadakan acara ramah tamah. Dalam acara ini tampak masyarakat sangat dekat dengan para relawan. Banyak di antara mereka  berpelukan dan saling mengungkapkan keberatan mereka untuk berpisah.

Hida tampak dikerumuni anak-anak  dan para orang tua. Ku lihat dia tampak tegar. Bercanda ria dengan anak-anak. Sesekali tampak dia akrap berbincang dengan para ibu yang tampak mengelu-elukan dia.

Danil dan Firdaus juga tampak membaur di antara masyarakat. Aku kehilangan semangat untuk berbaur. Perbincanganku dengan Hida tadi masih mengganggu hatiku. Pertanyaan besar masih bersemayam di kepalaku.

Suasana berangsur sepi. Para undangan dan masyarakat segera membubarkan diri menuju rumah masing-masing. Aku, Hida, Danil, dan Firdaus masih tetap di tempat. Sebuah budaya yang selalu kami lakukan, selalu berkumpul berempat.

Namun malam ini tampak adanya sebuah keganjilan. Kami sama-sama diam. Entah apa yang membuat suasana di antara kami menjadi sangat kaku.

Firdaus yang selalu ada celoteh lucu dan menyegarkan suasana, malam ini seperti tidak ada gairah berbicara. Danil bersikap serius. Kedua tangannya disilangkan di dadanya. Pandangannya tampak lurus ke depan. Sedangkan Hida tampak murung. Tangannya asyik memainkan tisu yang sudah tak berbentuk. Aku sendiri bingung mau bicara apa. Melihat kekakuan mereka aku takut salah bicara.

Tiba-tiba Firdaus berdeham. Dia mulai angkat bicara. "Teman-teman, tak terasa kebersamaan kita sudah dua minggu. Aku belum pernah bersama teman sekompak ini. Benar-benar nyaman rasanya.  Namun sayang, esok kita harus berpisah. Sebelum kita terjeda adanya tempat dan waktu, sebaiknya kita sama-sama jujur. Jangan sampai ada dusta di antara kita."

"Aku sepakat dengan Mas Firdaus. Sebaiknya malam ini kita terbuka. Keterbukaan kita malam ini menentukan seperti apa kita. Tanggung jawab kita. Demi kebaikan bersama. Akan lain ceritanya bila kebenaran itu terkuak esok hari."

Aku merasa tertampar. Meski tatapan mereka tak mengarah kepadaku. Aku ingin menyampaikan sesuatu. Tapi aneh suaraku tak mampu keluar. Suaraku tersekat, lidahku kelu, aku tak mampu berkata apa-apa. Aku  menghela napas Panjang.

Tiba-tiba Danil berdiri menghampiri Hida. Kulihat tangan Danil menyentuh bahu Hida. Aku benar-benar terkejut. Kenapa Danil lakukan itu di depanku? Hida tampak terkejut juga, pandangannya langsung mengarah kepadaku. Belum hilang rasa terkejutku, Danil menyapa Hida dengan manis.

"Dik Hida, udah malam. Ayo Adik istirahat.  Besok pagi kita akan melakukan perjalanan. Adik harus fit!"

Aku benar-benar terkejut dengan sikap Danil. Sepertinya dia sengaja melakukannya di depanku. Selama ini dia tidak pernah memanggil Hida dengan panggilan Adik. Ada rasa tak rela dan cemburu, apalagi saat kulihat Hida kemudian beranjak mengikuti langkah Danil. Tapi aku bisa berbuat apa? Aku hanya bisa memandangi mereka dari belakang dengan hati tak menentu.

***

Pagi ini aku terlambat bangun. Kejadian semalam  terus menghantui. Ada rasa sesal, marah, dan kecewa. Tapi pada siapa? Pantaskah aku marah kepada mereka? Sementara taka da gunanya kami saling mencari kambing hitam .

Aku bergegas berkemas. Pagi ini jadwal kami mengantar para relawan Jawa Timur ke bandara. Sesampai di posko aku terkejut karena suasana sudah sepi. Salah seorang penduduk memberitahuku, mereka sudah berangkat lima menit yang lalu.

Segera kupacu kuda besiku menuju bandara. Ada sesal yang mendalam menyesak di dada. Terbayang kemarahan Danil, menatapku dengan pandangan tajam dan dingin. Kubayangkan Hida tertunduk sedang menangis terisak, saat melihatku tak ada di tempat. Belum lagi aku harus mengonsep argumen yang meyakinkan mereka.

Sesampai di bandara aku segera berlari ke pintu keberangkatan. Lega. Kulihat mereka masih ada di sana. Segera aku mengejarnya. Semua mata mengarah padaku. Aku berusaha tenang.

"Assalamu'alaikum. Maaf aku terlambat!"

"Wa alaikumsalam. Aku kira sudah enggak sempat."

Danil tampak sinis meskipun dia berusaha tersenyum. Sementara Hida dan Firdaus bersikap datar, seolah tak terjadi apapun.

"Kenapa berangkatnya tergesa-gesa tadi?"

"Ya . Sengaja kita berangkat lebih awal. Mau menikmati kebersamaan terakhir. Kita tak pernah tahu apakah kita bisa bertemu lagi.  Harus ada kesan terakhir sebelum kami pergi.

"Ayo kita duduk di sana, sambil menikmati minuman hangat!" Firdaus menunjuk sebuah tempat yang terlihat nyaman. Dia langsung melangkah, Kami bertiga mengikuti dari belakang.

Beberapa saat kami terlibat perbincangan akrab. Kekakuan semalam sudah tak terasa lagi. Kami saling mengucapkan terima kasih dan saling meminta maaf.

Tampak Danil melihat arlojinya. Kemudian dia mengisyaratkan untuk segera bergabung dengan teman-teman relawan yang lain. Kami bersiap melangkah tiba-tiba kudengar suara memanggil.

" Papa...!"

Spontan kami menoleh. Dua anak laki-laki yang tampan berlari kearah kami. Langsung memelukku. Aku tak mampu berbuat apapun. Ada ekspresi  kaget luar biasa di wajah Hida.

Hida menatapku dengan tatapan penuh tanya. "Anakmu, Kak?" Suara Hida nyaris tak terdengar.

" Iya."  Hanya kata itu yang terucap. Aku tak mampu menatapnya lagi.

Hida melangkah mendekatiku. Jantungku berdetak keras. Aku tak mau membayangkan apa yang akan Hida lakukan. Wajahnya tampak kaku. Dia mendekati kedua anakku.

Tiba-tiba dia berjongkok. Kedua tangannya dikembangkan meraih tubuh kedua anakku. Dia menarik tubuh mungil itu dalam peluknya. Di antara isak tangisnya dia dekap keduanya dengan erat. Perlahan dia mulai  melepaskan. Satu per satu diciumilah anakku. Tak sepatah kata pun terucap.  Kembali tangannya membelai rambut mereka dengan penuh kasih

Semua orang terdiam, tampak menahan napas. Tak seorangpun yang mampu berkata-kata. Ketegangan makin menyelimuti semua yang menyaksikan, mereka saling berpandangan.

Hida bangkit. Dia usapn air mata yang membasahi pipi. Perlahan dia melangkah mendekatiku. Dia berdiri tepat berhadapan denganku. Pandangannya tajam menatapku.

Tangannya diulurkan, menjabat  erat tanganku. "Selamat, Kak! Jaga anak-anak dengan baik. Doakan aku kuat!"

Aku tak mampu menjawab. Kulihat kembali air mata Hida membanjir, Sementara aku tak mampu membendung air mata yang sejak tadi berusaha aku tahan.

Firdaus segera menghampiri Hida. Tangannya segera menggamit Hida dan membawanya pergi menjauh dariku. Aku berusaha menahan, namun tak mampu.

"Maafkan aku, Dik!" Hanya itu kata yang mampu terucap. Hida tak menjawab. Dia terus melangkah tanpa menoleh kembali.

Danil mendekatiku dan menepuk-nepuk pundakku. Pelukan erat di antara isak tangis, menandai perpisahan kami.Tanpa terucap kata perpisahan.  Entah kapan akan berjumpa lagi atau tidak sama sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun