" Sudahlah, Dik. Kalau memang tak bisa diingat jangan dipaksakan."
" Enggak Kak, izinkan aku klarifikasi tentang hal ini. Aku tidak mau salah faham di antara kita berkepanjangan. Dalam cerita Kakak, ada kesan kalau aku dalam posisi yang salah."
" Loh siapa yang menyalahkan. Kakak nggak menyalahkan Adik. Cuma sepertinya nggak rasional saja. Beberapa kali kita berkomunikasi, tapi Adik kog nggak merasa."
" Nah, sebenarnya permasalahannya memang terfokus di sini Kak. Kita sama-sama memegang argument masing-masing. Mari kita coba  memadukan masalah ini kemudian kita tarik simpulan."
" Kalau menurut Adik itu penting, silakan!"
Kuperhatikan Hida menggeser duduknya. Tampak dia berfikir keras untuk mengurai masalah ini. Aku maklumi apabila dia getol mencari kebenaran untuk pembelaan dirinya. Sesungguhnya aku pun merasakan ada sebuah kejanggalan, dengan masalah ini.
" Kakak masih ingat,  berapa kali  menulis surat buat Adik?"
" Wah, berapa kali ya? Yang jelas sering kali."
" Saat Adik masih di SMP?"
" Ya. Sejak SMP sampai Adik kuliah."
Hida terperanjat mendengar pengakuanku. Tampak wajahnya makin tegang.