Setelah sambutan selesai, diadakan acara ramah tamah. Dalam acara ini tampak masyarakat sangat dekat dengan para relawan. Banyak di antara mereka  berpelukan dan saling mengungkapkan keberatan mereka untuk berpisah.
Hida tampak dikerumuni anak-anak  dan para orang tua. Ku lihat dia tampak tegar. Bercanda ria dengan anak-anak. Sesekali tampak dia akrap berbincang dengan para ibu yang tampak mengelu-elukan dia.
Danil dan Firdaus juga tampak membaur di antara masyarakat. Aku kehilangan semangat untuk berbaur. Perbincanganku dengan Hida tadi masih mengganggu hatiku. Pertanyaan besar masih bersemayam di kepalaku.
Suasana berangsur sepi. Para undangan dan masyarakat segera membubarkan diri menuju rumah masing-masing. Aku, Hida, Danil, dan Firdaus masih tetap di tempat. Sebuah budaya yang selalu kami lakukan, selalu berkumpul berempat.
Namun malam ini tampak adanya sebuah keganjilan. Kami sama-sama diam. Entah apa yang membuat suasana di antara kami menjadi sangat kaku.
Firdaus yang selalu ada celoteh lucu dan menyegarkan suasana, malam ini seperti tidak ada gairah berbicara. Danil bersikap serius. Kedua tangannya disilangkan di dadanya. Pandangannya tampak lurus ke depan. Sedangkan Hida tampak murung. Tangannya asyik memainkan tisu yang sudah tak berbentuk. Aku sendiri bingung mau bicara apa. Melihat kekakuan mereka aku takut salah bicara.
Tiba-tiba Firdaus berdeham. Dia mulai angkat bicara. "Teman-teman, tak terasa kebersamaan kita sudah dua minggu. Aku belum pernah bersama teman sekompak ini. Benar-benar nyaman rasanya. Â Namun sayang, esok kita harus berpisah. Sebelum kita terjeda adanya tempat dan waktu, sebaiknya kita sama-sama jujur. Jangan sampai ada dusta di antara kita."
"Aku sepakat dengan Mas Firdaus. Sebaiknya malam ini kita terbuka. Keterbukaan kita malam ini menentukan seperti apa kita. Tanggung jawab kita. Demi kebaikan bersama. Akan lain ceritanya bila kebenaran itu terkuak esok hari."
Aku merasa tertampar. Meski tatapan mereka tak mengarah kepadaku. Aku ingin menyampaikan sesuatu. Tapi aneh suaraku tak mampu keluar. Suaraku tersekat, lidahku kelu, aku tak mampu berkata apa-apa. Aku  menghela napas Panjang.
Tiba-tiba Danil berdiri menghampiri Hida. Kulihat tangan Danil menyentuh bahu Hida. Aku benar-benar terkejut. Kenapa Danil lakukan itu di depanku? Hida tampak terkejut juga, pandangannya langsung mengarah kepadaku. Belum hilang rasa terkejutku, Danil menyapa Hida dengan manis.
"Dik Hida, udah malam. Ayo Adik istirahat. Â Besok pagi kita akan melakukan perjalanan. Adik harus fit!"