" Ada Dik. Saat itu Kakak tawarkan  agar Adik melanjutkan studi di Palu saja.  Saat itu Kakak ajukan dua opsi. Pertama kita nikah dahulu sambil adik melanjutka kuliah di Palu. Sedangkan Opsi yang kedua, Kakak akan menunggu sampai Adik siap dan menyilakan Adik tetap kuliah di Jawa.
"Kenapa saat itu Kakak nggak langsung menghubungi aku?"
"Ya, sudahlah. Mungkin itu yang harus terjadi. Â Saat ini sudah tak ada manfaatnya kita bahas. Itu masa lalu."
Hida menunduk dalam. Helaan napas panjang. Bersamaan mukanya dia angkat, terlihat air matanya mengucur deras. Aku tak sanggup melihatnya. Dalam kondisi bingung ini. Allah mengirim Firdaus menemui kami.
"Ya Allah ... ternyata kalian di sini? Ayo, sejak tadi Pak Syaifuddin mencari kalian!"
Tanpa menjawab, kami segera beranjak. Acara sudah siap dimulai. Kulihat Danil menatap kami dengan tatapan aneh. Aku jadi salah tingkah. Kulirik Hida. Matanya tampak sembab. Dia segera menempatkan diri di barisan ibu-ibu.
Acara dilaksanakan  dengan hikmat dan sederhana. Kami merasa sangat dekat meskipun baru dua minggu. Kebersamaan kami dalam bahu membahu mengatasi masalah kemanusiaan di sini. Tidak mengherankan suasana haru yang mendalam menyelimuti.
Pak Syaifuddin memberi sambutan atas nama masyarakat Palu. Beliau  mewakili masyarakat Palu untuk menyampaikan ucapan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada para relawan yang telah memberikan bantuan selama ini. Permintaan maaf juga disampaikan apabila kami dalam menerima dan mendampingi banyak kekurangan.
Danil tampak serius memberikan sambutan sebagai wakil para relawan.Ucapan terima kasih dan permohonan maaf juga disampaikannya menanggapi sambutan Pak Syaifuddin.
Di akhir pidatonya Danil menyampaikan kesan yang mendalam selama bersama kami menangani bencana ini. Â Kebersamaan yang luar biasa. Persaudaraan yang tak dapat dinilai dengan apapun.
Saat Danil mengakhiri pidatonya  dengan salam perpisahan,  disambut tepuk tangan yang meriah di antara isak tangis yang tumpah. Pak Syaifuddin menyambut Danil dan memeluknya dengan sangat erat.