Aku benar-benar terkejut dengan sikap Danil. Sepertinya dia sengaja melakukannya di depanku. Selama ini dia tidak pernah memanggil Hida dengan panggilan Adik. Ada rasa tak rela dan cemburu, apalagi saat kulihat Hida kemudian beranjak mengikuti langkah Danil. Tapi aku bisa berbuat apa? Aku hanya bisa memandangi mereka dari belakang dengan hati tak menentu.
***
Pagi ini aku terlambat bangun. Kejadian semalam  terus menghantui. Ada rasa sesal, marah, dan kecewa. Tapi pada siapa? Pantaskah aku marah kepada mereka? Sementara taka da gunanya kami saling mencari kambing hitam .
Aku bergegas berkemas. Pagi ini jadwal kami mengantar para relawan Jawa Timur ke bandara. Sesampai di posko aku terkejut karena suasana sudah sepi. Salah seorang penduduk memberitahuku, mereka sudah berangkat lima menit yang lalu.
Segera kupacu kuda besiku menuju bandara. Ada sesal yang mendalam menyesak di dada. Terbayang kemarahan Danil, menatapku dengan pandangan tajam dan dingin. Kubayangkan Hida tertunduk sedang menangis terisak, saat melihatku tak ada di tempat. Belum lagi aku harus mengonsep argumen yang meyakinkan mereka.
Sesampai di bandara aku segera berlari ke pintu keberangkatan. Lega. Kulihat mereka masih ada di sana. Segera aku mengejarnya. Semua mata mengarah padaku. Aku berusaha tenang.
"Assalamu'alaikum. Maaf aku terlambat!"
"Wa alaikumsalam. Aku kira sudah enggak sempat."
Danil tampak sinis meskipun dia berusaha tersenyum. Sementara Hida dan Firdaus bersikap datar, seolah tak terjadi apapun.
"Kenapa berangkatnya tergesa-gesa tadi?"
"Ya . Sengaja kita berangkat lebih awal. Mau menikmati kebersamaan terakhir. Kita tak pernah tahu apakah kita bisa bertemu lagi. Â Harus ada kesan terakhir sebelum kami pergi.