" Baiklah Kak, aku tidak memaksa Kakak mempercayainya. Namun setidaknya dari penjelasanku ini Kakak lebih terbuka tentang apa yang terjadi di antara kita. Kalau Kakak belum yakin, kita bisa tanyakan kepada keluarga Kakak tentang kebenarannya. Terutama adik Kakak. Apakah surat yang Kakak titipkan disampaikan  kepada ku atau tidak,"
Aku makin bingung saat Hida makin menggebu-nggebu. Dia tampak semangat mengorek cerita lama kami. Aku tak tahu harus berargumentasi apa lagi. Kenyataannya saat itu memang kami terlibat pembicaraan saling mengungkapkan rasa. Saat itu kami  paham  saling menyayangi. Namun setelah mendengar paparan Hida, aku juga menjadi ragu. Benar-benar irasional!
"Kak. Kenapa Kakak baru sampaikan semua? Selama ini aku anggap Kakak tidak serius."
"Bagaimana adik beranggapan seperti itu? Bila tidak serius, apa mungkin aku meminta orang tua meminangmu?"
Hida tak menjawab. Dia menatapku dengan tatapan serius. Mungkin dia terkejut aku berbicara dengan intonasi agak tinggi.
"Pernah nggak, ada utusan keluargaku datang ke rumahmu?"Â
 Hida mengangguk pasti, namun tak sekalimat pun keluar dari bibirnya. Tampak dia berpikir keras. Dia berusaha memutar kenangan lamanya.
"Itu bukti keseriusan Kakak. Tapi ternyata Adik menolak, kan?."
"Maafkan aku, Kak. Saat itu aku masih sangat muda. Sama sekali belum pernah kepikiran untuk menikah, apalagi aku masih harus kuliah."
"Sudahlah. Jawaban itu masih terekam rapi dalam benakku. Aku menyadari  siapa diriku. Kalau memang nggak mau kan nggak bisa dipaksa."
" Kenapa Aku anggap Kakak kurang serius? Karena setelah keluargaku memberikan jawaban melalui kurir bahwa aku belum siap menikah, tidak ada tindak lanjut lagi dari pihak Kakak!"