Hari Keenam Tahlilan
Pagi itu, Adam, Fikri, Roby, dan Budi bangun dengan perasaan was-was. Malam sebelumnya, meskipun tidak ada penampakan pocong pinjol, ketakutan masih menyelimuti mereka. Kang Asep, yang menginap di rumah Budi, juga merasa perlu lebih mendalami gangguan yang mereka alami.
"Kalian harus tetap tenang. Kita akan hadapi ini bersama," kata Kang Asep saat sarapan bersama.
Adam, Fikri, dan Roby mengangguk, mencoba menenangkan diri. Budi pun tak kalah tegang. Mereka berharap bisa melewati hari ini dengan aman.
Saat siang menjelang, suasana mulai berubah. Fikri, yang sedang membantu menyiapkan makanan di dapur, tiba-tiba merasa ada yang mengawasinya. Saat ia menoleh, bayangan putih melintas cepat di depan pintu dapur.
"Adam, kamu lihat itu nggak?" tanya Fikri dengan suara gemetar.
"Lihat apa, Fik?" jawab Adam yang baru saja masuk ke dapur.
"Tadi ada bayangan putih di depan pintu. Cepat banget gerakannya," jawab Fikri.
Adam merasa bulu kuduknya merinding, tapi ia mencoba tetap tenang. "Mungkin cuma bayangan, Fik. Ayo, kita lanjutkan saja persiapan ini."
Namun, tidak lama kemudian, Roby, yang sedang membantu Budi membereskan kursi di ruang tamu, tiba-tiba merasakan hawa dingin. Ia melihat ke arah jendela dan mendapati sesosok pocong pinjol menempel di kaca jendela, menatapnya dengan mata kosong.
"Astagfirullah! Pocong!" teriak Roby sambil mundur ketakutan.
Budi langsung berlari mendekati Roby dan melihat pocong itu dengan jelas. "Ya ampun, Rob! Ini nggak bisa dibiarkan terus-terusan."
Adam dan Fikri, yang mendengar teriakan Roby, segera berlari ke ruang tamu. Mereka semua melihat pocong pinjol itu, yang kemudian menghilang secepat ia muncul.
Kang Asep, yang sedang di kamar mandi, segera datang setelah mendengar keributan. "Tenang, tenang. Ini memang ujian kita. Jangan sampai mereka membuat kita takut. Kita harus lebih banyak berdoa."
Mereka berempat mengikuti Kang Asep untuk berdoa bersama. Namun, gangguan pocong pinjol semakin menjadi-jadi. Setiap kali mereka berpindah tempat, sosok pocong pinjol selalu muncul, baik di kamar, di halaman, bahkan di kamar mandi. Hawa dingin dan bau busuk semakin terasa kuat, membuat mereka merasa mencekam.
Saat malam tiba, acara tahlilan hari keenam pun dimulai. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan, dan suasana semakin ramai. Meskipun begitu, ketegangan masih terasa di antara Adam, Fikri, Roby, dan Budi.
Ketika acara tahlilan berlangsung, tiba-tiba lampu di rumah Budi padam. Suasana menjadi gelap gulita, dan dalam kegelapan itu terdengar suara ketukan pintu dan langkah kaki menyeret. Hati mereka semakin was-was, sementara doa-doa terus dipanjatkan.
"Kita harus tetap tenang. Jangan panik," kata Kang Asep dengan suara tegas.
Namun, ketakutan semakin memuncak ketika mereka mulai mendengar suara tangisan dan jeritan di luar rumah, tepat di kebun pisang milik Budi, sumber suara itu. Ketika lampu kembali menyala, mereka melihat beberapa tamu sudah pingsan karena ketakutan, sementara yang lain mencoba menenangkan diri dan melanjutkan bacaan Surat Yasin dan doa-doa lainnya sampai selesai.
Seusai tahlilan, warga yang ketakutan segera kembali ke rumah masing-masing. Sementara yang tadi pingsan, Kang Asep berupaya menyadarkannya. Setelah sadar, mereka langsung pulang sambil berlari ketakutan.
"Entah apa yang mereka lihat sampai pingsan seperti itu," ucap Kang Asep.
"Yang pasti itu serem banget, Kang, sepertinya," sahut Budi.
"Kita harus hadapi ini. Mari kita ke makam ibumu lagi, Bud. Mungkin ada sesuatu yang harus kita selesaikan di sana," usul Kang Asep.
"Yasalaaammm, ke makam lagi, Kang?" tanya Adam dengan nada meringis ketakutan.
"Gimana yang lain?" Tanya Kang Asep.
"Saya sih ikut saja, Kang," jawab Budi.
"Ah, nggak ada pilihan lagi, kita semua harus ikut," tegas Roby.
Dengan penuh ketakutan, mereka berlima berangkat ke makam. Di sana, Kang Asep mulai melakukan ritual pembersihan lagi. Saat ritual berlangsung, sosok pocong pinjol mulai bermunculan di sekitar makam, jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya. Mereka berdiri di setiap pohon yang ada di pemakaman desa, mengelilingi mereka dengan tatapan kosong.
"Tetap berdoa! Jangan biarkan rasa takut menguasai kalian!" teriak Kang Asep.
Dengan doa yang semakin kuat, perlahan-lahan sosok-sosok pocong pinjol dan pocong lainnya mulai menghilang. Bau busuk pun perlahan-lahan memudar, dan suasana mulai terasa lebih tenang.
Setelah beberapa saat, Kang Asep akhirnya menyelesaikan ritualnya. "Insya Allah, gangguan ini akan berkurang. Kalian harus tetap kuat dan terus berdoa. Ini adalah ujian yang harus kita lewati bersama."
Mereka pun kembali ke rumah Budi dengan perasaan lega meskipun masih sedikit was-was. Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama, saling menguatkan dan berharap kejadian mengerikan seperti itu tidak akan terulang lagi. Sesampainya di rumah Budi, mereka melanjutkan untuk menyusun rencana berikutnya.
"Kang, pocong yang di pemakaman kok bukan cuma satu ya, yang muncul?" tanya Fikri.
"Iya, Fik. Saya juga masih bingung dengan penampakan tadi, begitu banyak yang muncul," jawab Kang Asep dengan raut muka bingung.
"Tapi setidaknya ritual tadi berhasil mengusir mereka," timpal Kang Asep.
"Lalu, bagaimana kelanjutannya, Kang?" tanya Budi.
"Besok saya coba menemui guru saya, Kang Bahrul, menanyakan tentang hal ini," jawab Kang Asep.
Mereka berlima pun beristirahat dengan perasaan lebih tenang, berharap bahwa hari-hari ke depan akan lebih damai tanpa gangguan pocong pinjol lagi.
Hari Ketujuh Tahlilan
Pagi itu, Kang Asep merasa perlu mencari penjelasan lebih lanjut mengenai kejadian-kejadian aneh yang terjadi sejak ia mulai membantu Fikri, Adam, Roby, dan Budi. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk menemui gurunya, Kang Bahrul, seorang ahli spiritual yang sangat dihormati di daerah mereka.
Kang Asep tiba di rumah Kang Bahrul menjelang siang. Ia disambut dengan ramah oleh gurunya dan segera menceritakan semua kejadian yang mereka alami, termasuk penampakan banyak pocong di pemakaman.
"Kang Bahrul, saya merasa ada yang tidak beres. Semalam, penampakan pocong semakin banyak, dan mereka semakin agresif," kata Kang Asep dengan wajah serius.
Kang Bahrul mendengarkan dengan seksama, kemudian merenung sejenak sebelum berbicara. "Asep, keris yang kamu bawa memang memiliki kekuatan magis yang sangat kuat. Ritual yang kamu lakukan mungkin telah membuka portal gaib di pemakaman itu."
Kang Asep terkejut mendengar penjelasan tersebut. "Jadi, maksud Kang Bahrul, keris dan ritual itu yang membuat portal gaib terbuka dan mengundang banyak pocong berkeliaran di pemakaman?"
Kang Bahrul mengangguk. "Benar, Asep. Portal itu menarik makhluk-makhluk halus yang merasa terganggu atau tertarik oleh energi magis dari kerismu. Kita harus menutup portal itu secepat mungkin agar tidak semakin banyak makhluk halus yang berkeliaran."
"Bagaimana cara menutup portal itu, Kang Bahrul?" tanya Kang Asep.
"Ritualnya sama seperti kamu membuka portalnya malam itu, namun di akhir ritual kamu harus memandikan kerismu dengan kembang tujuh rupa dan darah ayam cemani," ucap Kang Bahrul.
"Baiklah, Kang, saya akan mencari syaratnya dulu, seperti kembang dan ayam cemaninya. Tapi, apakah ayam cemani bisa diganti dengan ayam yang lain, Kang Bahrul?" ujar Kang Asep.
"Tidak bisa, Sep, itu syarat mutlak," tegas Kang Bahrul.
"Baiklah, Kang, saya berusaha mencarinya, soalnya ayam cemani lumayan mahal dan langka," seru Kang Asep.
"Kalau tidak salah, Pak Dulloh punya ayam cemani beberapa ekor. Coba kamu ke sana dan tawar ayamnya, Sep," saran Kang Bahrul.
"Baiklah, kalau begitu saya segera menuju ke rumah Pak Dulloh agar tidak kesorean, Kang," ucap Kang Asep dengan semangat menuju rumah Pak Dulloh.
Dengan pemahaman baru tersebut, Kang Asep merasa bertanggung jawab untuk segera menyelesaikan masalah ini. Ia berterima kasih kepada Kang Bahrul dan berjanji akan melakukan segala cara untuk menutup portal gaib itu.
Sesampainya Kang Asep di rumah Pak Dulloh.
"Assalamualaikum, Pak Dulloh," ucap Kang Asep sambil menggedor-gedor pagar Pak Dulloh.
"Waalaikumsalam," terdengar jawaban dari dalam rumah Pak Dulloh.
"Siapa ya?" tanya Pak Dulloh berjalan menuju pagar sambil membetulkan sarungnya yang melorot.
"Asep, Pak Dulloh," jawab Kang Asep.
Pak Dulloh membuka pagar rumahnya dan mempersilakan Kang Asep untuk masuk. "Masuk, Sep, silakan duduk. Tumben amat ke sini, Sep?"
"Iya, Pak, mau nanya ini. Infonya Pak Dulloh punya ayam cemani, betul demikian, Pak?" tanya Kang Asep sambil malu-malu.
"Oh ya, saya punya lima ekor di belakang. Kenapa memang, Sep?" Pak Dulloh bertanya balik.
"Boleh saya beli satu ekor, Pak?" pinta Kang Asep.
"Boleh sekali, Sep. Kebetulan saya butuh uang buat keperluan lain," jawab Pak Dulloh.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, Kang Asep langsung memasang raut bahagia.
"Dijual berapa, Pak, ayamnya?"
"Dua juta saja, Sep," jawab Pak Dulloh.
Kang Asep merasa ayam milik Pak Dulloh kemahalan, namun Kang Asep dengan gigih negosiasi harga agar bisa sesuai dengan kantongnya.
"Okelah, Sep. Deal," setelah negosiasi panjang akhirnya Pak Dulloh menyetujui harga dari Kang Asep.
Sore harinya, Kang Asep kembali ke rumah Budi dan mengumpulkan Fikri, Adam, dan Roby. Ia menceritakan hasil pertemuannya dengan Kang Bahrul dan penyebab sebenarnya dari penampakan pocong yang semakin banyak.
"Jadi, Kang, kita harus menutup portal itu?" tanya Roby dengan cemas.
"Betul, Roby. Kita harus melakukan ritual penutupan portal. Saya akan mempersiapkan semuanya nanti malam setelah tahlilan. Saya juga sudah membeli persyaratannya, yaitu kembang tujuh rupa dan ayam cemani," jawab Kang Asep.
"Hah, ayam cemani kan mahal, Kang Asep," ucap Budi.
"Benar, Bud, mahal," saut Kang Asep.
"Wah, Kang Asep totalitas banget ini dalam membasmi pocong. Bagaimana kalau kita juga patungan, teman-teman, agar beban Kang Asep sedikit berkurang?" tanya Budi kepada Adam, Fikri, dan Roby.
"Jangan! Kalian belum ada penghasilan, biar saya saja yang nanggung semuanya," tegas Kang Asep.
"Bener nih, Kang?" tanya Adam, Roby, Fikri, dan Budi.
"Iya, kalian fokus bantu saya saja," jawab Kang Asep.
Mereka semua merasa sedikit lega mendengar penjelasan tersebut, meskipun tetap merasa khawatir dengan apa yang akan terjadi nanti malam.
Saat malam tiba, tahlilan terakhir untuk ibu Budi dimulai. Para tamu sudah berkumpul, dan suasana sedikit tegang karena kabar tentang penampakan pocong yang sudah tersebar di antara warga. Doa-doa dipanjatkan dengan khusyuk, berharap malam ini menjadi akhir dari gangguan makhluk halus tersebut.
Namun, seiring berjalannya waktu, gangguan mulai muncul kembali. Lampu-lampu tiba-tiba padam, meninggalkan kegelapan yang pekat. Suara-suara aneh dan ketukan-ketukan pintu terdengar dari segala penjuru rumah. Para tamu mulai panik, beberapa warga bahkan memutuskan untuk pulang lebih awal.
Dalam kegelapan itu, Fikri, Adam, Roby, dan Budi melihat bayangan-bayangan putih melintas di halaman. Sosok-sosok pocong pinjol semakin banyak dan tampak semakin menyeramkan. Mereka melayang-layang dan mendekati rumah dengan gerakan yang menakutkan.
Lalu pocong-pocong itu berteriak, "Lunasi hutang saya!"
Semakin menambah ketakutan para warga dan tamu tahlilan hari ketujuh ibunya Budi. Budi melihat ke semua tamu yang hadir semuanya panik, namun ada satu orang yang sangat tenang sedari tadi, yaitu, ustaz Kaizen. Budi takjub dengan sikap tenangnya dalam situasi seperti ini, bahkan ia masih melanjutkan doa-doa dalam situasi gaduh riuh ketakutan para tamu tahlilan. Ustaz Kaizen adalah pemimpin doa tahlilan ibunya Budi, lalu Budi menghampirinya.
"Pak ustaz, bagaimana ini?" tanya Budi dengan nada panik.
"Kita fokus berdoa saja, Bud, pocong-pocong itu tidak nyata," ucap Ustaz Kaizen.
Tanpa banyak bertanya lagi, Budi langsung melanjutkan doa-doa tahlilan dengan fokus, dan benar saja Budi merasa gangguan-gangguan yang terjadi terasa hening.
Teman-teman Budi melihat Budi sangat tenang, lalu mengikutinya. Adam, Roby, dan Fikri ikut melanjutkan berdoa dan menyelesaikan tahlilan malam itu. Sementara itu, Kang Asep menghilang dalam kegelapan tidak tahu ia ke mana.
Setelah menyelesaikan doa-doa dan suasana mulai terkendali dan damai, Budi dan teman-temannya membagikan besek/berekat ke tamu-tamu yang hadir dan masih berada di rumahnya.
Budi mendekati Ustaz Kaizen sambil membawa besek dan amplop untuk Ustaz Kaizen sambil menanyakan kejadian malam itu.
"Pak ustaz, menurut pandangan Pak Ustaz kejadian ini bagaimana?" tanya Budi.
"Kamu harus hati-hati, Bud. Sepertinya pocong-pocong itu ada yang mengundang ke sini," ujar Ustaz Kaizen.
"Apa! Ada yang ngundang!" ucap Budi dengan nada kaget.
"Iya, Bud, kamu harus hati-hati. Sepertinya ada yang sedang bermain-main dengan setan. Saya izin pulang dulu ya, Bud, anak dan istri saya belum makan, takut mereka menunggu di rumah," ucap Ustaz Kaizen.
"Tunggu sebentar, Pak Ustaz," Budi menahan Pak Ustaz untuk beranjak pergi.
"Ini saya tambahin beseknya, Pak Ustaz, untuk anak dan istri Pak Ustaz," ucap Budi sambil menyodorkan besek.
"Ini kebanyakan, Bud," kata Ustaz Kaizen.
"Tidak apa-apa, Pak Ustaz. Lagian, ada beberapa tamu yang sudah pergi dari tadi, itu jatah mereka yang pergi," tegas Budi.
"Baiklah, hatur nuhun, Nak Budi. Saya izin pamit. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Pak Ustaz," jawab Budi menutup perbincangan malam itu dengan Ustaz Kaizen, lalu Ustaz Kaizen pulang menuju rumahnya.
Sementara itu, Kang Asep tiba-tiba muncul entah dari mana ia dari tadi, padahal situasi sedang genting-gentingnya dengan banyaknya penampakan pocong.
"Kang Asep, dari mana saja? Apa kita harus melakukan ritualnya sekarang?" teriak Fikri di tengah lalu-lalang tamu tahlilan yang hendak pulang.
"Kita tunggu sampai jam 12 malam, Fik," jawab Kang Asep.
Setelah semua tamu pulang, mereka berlima mengadakan diskusi untuk melakukan ritual menutup portal di pemakaman.
"Nanti kita menggunakan formasi bintang ya, teman-teman, saat ritual di pemakaman. Saya nanti paling depan posisinya," kata Kang Asep.
"Lalu kami bagaimana, Kang?" tanya Budi.
"Kalian cukup bawa persyaratan untuk ritualnya saja," tegas Kang Asep.
Jam menunjukkan pukul 23:30 malam. Suasana desa yang sangat sepi tanpa seorang pun berkeliaran, mereka berlima sedang mempersiapkan pelaksanaan ritual di pemakaman.
"Kalian semua sudah siap?" tanya Kang Asep.
"Sudah, Kang," jawab Budi, Adam, Fikri, dan Roby dengan kompak.
Sesampainya di pemakaman, tepat di depan pohon sawo tempat kemunculan pocong pertama kali, mereka mempersiapkan semua bahan-bahan ritual dan mengatur posisi dalam bentuk bintang. Kang Asep berada di depan diikuti Budi dan Fikri di belakang Kang Asep, sedangkan Roby dan Adam di belakang Fikri dan Budi. Mereka semua duduk bersila.
Tepat pukul 12 malam, Kang Asep memulai ritualnya. Lima menit pertama tidak ada tanda-tanda apa pun. Setelah sepuluh menit berjalan, mereka mulai mendengar suara teriakan-teriakan dan tertawa dari sekitar mereka. Lima belas menit berjalan, pocong-pocong mulai bermunculan di setiap sudut makam dan di atas pohon-pohon yang ada di pemakaman.
Roby dan Adam ketakutan setengah mati, namun mereka melihat Fikri dan Budi tak bergerak sedikit pun.
"Apa mereka berdua tidak merasa takut, ya?" ucap Adam dalam hati.
Adam dan Roby di barisan belakang saling lirik, ketakutan di wajah mereka tidak bisa disembunyikan lagi. Lalu tiba-tiba Budi dan Fikri mendadak berdiri, sedangkan Kang Asep masih membaca mantra-mantra ritual. Budi dan Fikri saling bertatap-tatapan dan kemudian saling mencekik leher satu sama lain. Adam dan Roby yang melihat langsung panik dan mencoba memisahkan Budi dan Fikri, namun begitu kuat tenaga mereka sehingga cekikannya tak bisa dilepaskan.
"Kang Asep, Budi sama Fikri kesurupan kayanya," ucap Roby dengan nada panik.
Namun, Kang Asep tidak bergeming sedikit pun, seolah fokus dalam ritualnya. Dalam kepanikan Adam dan Roby, tiba-tiba muncul Ustaz Kaizen dari belakang mereka dan memisahkan Fikri dan Budi. Dengan bacaan ayat-ayat Al-Quran, Ustaz Kaizen berhasil memisahkan Budi dan Fikri, namun belum bisa menyadarkan Fikri dan Budi dari pengaruh kesurupan mereka.
Ustaz Kaizen lalu menendang sesajen atau persyaratan ritual yang berada di depan Kang Asep. Kang Asep yang merasa terganggu menjadi emosi, dan terjadilah perkelahian di antara mereka.
"Pak Ustaz, jangan ikut campur urusan saya," kata Kang Asep.
"Kalau kamu sedang melakukan hal baik, saya tidak akan ikut campur. Namun, yang kamu lakukan ini sudah sangat keterlaluan, sampai bersekutu dengan setan hanya untuk hasrat duniawi," ujar Ustaz Kaizen.
Perkelahian tak terhindarkan. Kang Asep langsung melayangkan tendangan ke arah Ustaz Kaizen, namun Ustaz Kaizen mampu menghindarinya. Tak puas dengan tendangannya yang tak mengenai Ustaz Kaizen, Kang Asep melayangkan tinju ke arah muka Ustaz Kaizen, namun lagi-lagi Ustaz Kaizen mampu menghindarinya.
"Cukup, Sep, sadarlah atas perbuatanmu," ujar Ustaz Kaizen.
"Kau mengganggu ritual yang saya sedang lakukan, Ustaz," ucap Kang Asep dengan muka marah.
Lalu Kang Asep mengambil keris yang ia taruh di balik bajunya dan menodongkannya ke Ustaz Kaizen, mengancam akan membunuhnya jika tidak segera pergi.
Sementara itu, Adam dan Roby sedang menyadarkan Fikri dan Budi yang masih pingsan.
Tanpa ragu, Kang Asep langsung mengarahkan pisaunya tepat ke badan Ustaz Kaizen. Ustaz Kaizen kali ini tak mampu menghindar sepenuhnya. Keris yang dilayangkan Kang Asep mengenai lengan Ustaz Kaizen.
"Arrgghhh," Teriak ustaz kaizen kesakitan.
"Rasakan kau," ucap Kang Asep dengan muka kejam
Lalu Kang Asep kembali melayangkan keris yang sedang ia pegang, namun kali ini keris mampu dihalau Ustaz Kaizen. Tepat di pergelangan tangan Kang Asep yang sedang memegang keris, Ustaz Kaizen mampu menangkis sekaligus menjatuhkan keris yang sedang dipegang Kang Asep. Terpental keris itu jauh di kegelapan malam.
Ustaz Kaizen yang dari tadi menahan sabar akhirnya melayangkan tendangan yang cukup kuat ke arah perut Kang Asep sampai ia tersungkur ke tanah.
"Aaaaaaaagrrhh," bunyi suara kesakitan Kang Asep.
"Sep, sudah, Sep. Tobat," teriak Ustaz Kaizen ke arah Kang Asep.
Melihat Fikri dan Budi sudah bangun dari pingsannya, Kang Asep melarikan diri dari hadapan mereka, namun Ustaz Kaizen tidak mengejarnya. Ustaz Kaizen langsung menghampiri Adam dan Roby yang sedang membantu Budi dan Fikri berdiri.
"Pak Ustaz, ada apa ini?" tanya Roby dengan muka panik.
"Nanti saja jelasinnya. Kita bawa dulu Budi dan Fikri pulang untuk kita obati," kata Ustaz Kaizen.
"Baiklah, Pak Ustaz," jawab Adam dan Roby sambil menuntun Fikri dan Budi yang masih setengah sadar.
Setelah bersusah payah, Adam, Roby, dan Ustaz Kaizen menuntun Fikri dan Budi yang lemas karena kesurupan akhirnya mereka sampai di rumahnya Budi. Mereka memberikan Budi dan Fikri minum dan minyak telon untuk menyegarkan mereka. Tidak lama kemudian, Fikri dan Budi sadar dan mulai berbicara.
"Rob, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Budi dengan raut muka bingung.
"Tadi, lu sama Fikri kesurupan terus saling cekek. Gue sama Adam nggak bisa misahin kalian berdua. Untung Pak Ustaz muncul di waktu yang tepat, Bud," jawab Roby.
"Hah, gue kesurupan, kok ga kerasa ya," ucap Budi.
"Kalo gue sih, kepala tiba-tiba pusing, habis itu ga inget apa-apa lagi," timpal fikri sambil meminum teh yang di sediakan Adam.
"Nuhun, Pak Ustaz," ucap Budi dan Fikri.
"Sama-sama, Nak," jawab Ustaz Kaizen.
"Lantas, apa yang sebenarnya terjadi pada kami, Pak Ustaz, dan apa yang sedang dilakukan Kang Asep sebenarnya?" tanya Budi.
"Asep itu sedang melakukan ritual pesugihan dengan bantuan iblis. Budi dan Fikri tadi itu sedang dijadikan target tumbal untuk ritualnya. Untung saya tadi tidak terlambat menolong. Andai saja telat, mungkin Budi dan Fikri akan kehilangan nyawanya," kata Ustaz Kaizen.
Mereka berempat sangat terkejut mendengar penjelasan Ustaz Kaizen karena selama ini mereka sangat percaya dengan Kang Asep dan menganggap Kang Asep ikhlas membantu, namun kenyataannya adalah mereka sedang dijadikan target tumbal pesugihan yang dilakukan oleh Kang Asep.
"Terus bagaimana dengan penampakan pocong yang selama ini terjadi, Ustaz?" tanya Fikri.
Ustaz Kaizen pun menjelaskan, "Itu semua skenario Asep dengan bantuan iblis untuk menakuti kalian semua dan menggiring kalian dalam jeratannya. Bud, ibumu tidak pernah gentayangan atau mati penasaran. Begitu juga dengan isu yang ada di kampung sebelah, semuanya adalah rencana Asep untuk menjadikan kalian tumbal pesugihan."
Mereka berempat semakin terkejut dan bingung dengan semua kejadian ini dan masih belum percaya bahwa Kang Asep adalah orang yang jahat di balik kebaikannya selama ini.
"Asep sedang bersekutu dengan iblis untuk hasrat duniawinya. Dia terobsesi ingin menjadi kaya raya. Saya mengetahui itu semua baru kemarin. Dia sering berguru dan mencari-cari ilmu kebatinan di berbagai daerah. Sampailah ia berguru di salah satu dukun di kaki Gunung Karang yang sangat sakti dan bisa mendatangkan kekayaan secara instan," ucap Ustaz Kaizen.
"Wah, Pak Ustaz paham betul seluk-beluk Kang Asep," Fikri berkata.
"Saya beberapa hari ini mencari tahu siapa sebenarnya Asep. Saya sengaja tidak memberitahu kalian karena kalian sudah sangat percaya dengan Asep. Saya kenal dengan temannya yang sudah bertobat, yang dulu selalu ikut Asep ke mana pun dia pergi dalam melakukan hal-hal sesat," timpal Ustaz Kaizen.
"Kami sangat bersyukur Pak Ustaz datang membantu. Kalau saja Pak Ustaz tidak membantu, mungkin salah satu dari kami sudah menjadi tumbal," ucap Roby.
"Benar kata Roby, Pak Ustaz," timpal Budi.
"Ya sudah, yang terpenting kalian sekarang baik-baik saja," jawab Ustaz Kaizen.
Lalu Roby bertanya,"Bagaimana dengan luka pak ustaz yang ada di tangan, soalnya saya tadi lihat keris kang Asep sempat mengenai lengan pak ustaz?"
"Tidak apa-apa Rob lukanya tidak dalam, semoga kerisnya tidak beracun," jawab ustaz Kaizen
"Sialan selama ini kita masuk dalam drama pesugihannya kang Asep, gue minta maaf ya teman-teman sudah terlalu percaya sama kang Asep," ucap penyesalan dan permintaan Maaf Budi terhadap teman-temannya.
Semenjak kejadian itu, penampakan pocong di desa tersebut sudah tidak ada lagi. Budi, Fikri, Roby, dan Adam bisa bernapas lega dan bisa menjalani hidup dengan aman dan tenteram lagi seperti sediakala.
Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H