Mohon tunggu...
Fikriadi Loebis
Fikriadi Loebis Mohon Tunggu... Atlet - Belum ada

Main bola

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aspek-aspek Ketuhanan dalam Teologi dan Pluralitas

24 Juni 2024   16:07 Diperbarui: 24 Juni 2024   16:07 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abstract:

The study of this article is the aspects of God in theological and plurality of beings by raising

three sub-problems, namely: 1) theological views about God (nature, justice, power, and the

absolute will of God; 2) the concept of plurality in terms of various aspects; and 3) analysis of

the plurality of beings and the unity of Khalik in Islamic perspective. This type of research is a

text study using content analysis techniques. The results showed that Mu'tazilah views that

God as not having nature and human actions is the will of man himself as a manifestation of

God'sjustice, because humans have freedom. While Ash'ariyah views that God has nature and

human actions are manifestations of God's will. The plurality of beings is a necessity as well as

sunnatullah. The rejection of the plurality of beings is the rejection of something that is

supposed to happen and the disbelief of God's destiny. Plurality is not only an awareness of a

diverse society, consisting of various tribes and religions, which only illustrates the impression

of fragmentation. But the recognition of plurality must be accompanied by a deep awareness to

jointly build a relationship based on appreciation for diversity. Muslims, as the majority of the

nation quantitatively, must set an example in realizing unity, unity and peace in the midst of

the plurality and diversity of this nation by referring to the Prophet himself.

Keywords: content, formatting, article.

Abstrak:

Kajian artikel ini adalah aspek-aspek ketuhanan dalam teologis dan pluralitas makhluk dengan

mengangkat tiga sub masalah, yaitu: 1) pandangan teologi tentang ketuhanan (sifat, keadilan,

kekuasaan, dan kehendak mutlak Tuhan; 2) konsep pluralitas ditinjau dari berbagai aspek; dan

3) analisis pluralitas makhluk dan keesaan Khalik perspektif Islam. Jenis penelitian ini adalah

studi teks dengan menggunakan teknik analisis konten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

Mu'tazilah memandang Tuhan tidak mempunyai sifat dan perbuatan manusia adalah kehendak

manusia sendiri sebagai manifestasi dari keadilan Tuhan, karena manusia mempunyai

kebebasan. Sedangkan Asy'ariyah memandang bahwa Tuhan mempunyai sifat dan perbuatan

manusia adalah manifaestasi dari kehendak Allah. Pluralitas makhluk adalah suatu keniscayaan

sekaligus sunnatullah. Penolakan terhadap pluralitas makhluk adalah penolakan terhadap

sesuatu yang seharusnya terjadi serta kekufuran terhadap takdir Allah. Pluralitas tidak hanya

disadari adanya masyarakat yang majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan

agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Namun pengakuan adanya

pluralitas harus disertai dengan kesadaran yang mendalam untuk bersama-sama membangun

suatu pergaulan yang dilandasi penghargaan atas kemajemukan. Muslim sebagai mayoritas

bangsa secara kuantitatif, haruslah memberikan teladan dalam mewujudkan persatuan,

kesatuan, dan kedamaian di tengah-tengah pluralitas dan kemajemukan bangsa ini dengan

merujuk pada diri Nabi saw.

Kata Kunci: Ketuhanan, teologis, pluralitas, makhluk

PENDAHULUAN

Masalah teologi sangat luas dan mencakup banyak persoalan. Teologi sebagaimana

dipahami adalah membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin

mendalami seluk beluk agamanya secara mendetail perlu mempelajari dan mengkaji teologi

yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Pengetahuan yang mendalam mengenai teologi

akan memberikan keyakinan-keyakinan yang memiliki landasan yang kuat, yang tidak

mudah diombang ambingkan oleh peredaran zaman. Adapun sebahagian kajian teologi

meliputi wujud Allah, sifat-sifat Tuhan yang wajib, dan sifat-sifat yang boleh disifatkan

kepada-Nya.

Selama ini, masih banyak kita jumpai saudara-saudara kita, termasuk para ustaz dan

mubalig dan bahkan juga beberapa kiai yang masih kurang perhatian dalam menanamkan

akidah umat Islam. Alangkah riskannya, apabila dalam berakidah standarnya hanya cukup

menghafalkan dalam perkara Tauhid sifat-sifat wajib 20, sifat-sifat mustahil 20, dan sifat

Ja

>iz atau boleh hanya satu bagi Allah. Apalagi itu dilantunkan secara verbal dan berulangulang, bagaimana bisa dikatakan sebagai sebuah keyakinan atau akidah jika hanya di

amalkan sebatas di bibir? Bisakah seseorang yang telah hafal sifat-sifat tersebut dijamin

sebagai seorang muslim yang sejati? Sebagaimana halnya seorang yang hafal Pancasila dan

Undang Undang Dasar, apakah ada jaminan bahwa orang itu sudah menjadi insan pancasilais

dan Negarawan sejati? betapa banyak dijumpai para orientalis atau sarjana Barat tentang

Islam, yang hafal al-Quran, tetapi hatinya kering dari keimanan. Tidak sedikit para pejabat

yang ditatar P-4 sampai tingkat manggala tetapi realitanya menginjak-injak esensi Pancasila,

terutama sila keadilan sosial. Sehingga sangat urgen untuk mengkaji dan mengungkap

perdebatan aspek-aspek ketuhanan dalam teologi dan kaitannya dengan kalimat Tauhid

(Siroj, 2009).

Tauhid adalah istilah arab yang secara harfiah berarti "membuat jadi satu" atau

"menyatukan" (Esposito, 2002). Kata Tauhid mengandung arti satu atau esa dan ke Esaan

dalam pandangan Islam, sebagai agama Monoteisme, merupakan sifat yang terpenting

diantara segala sifat-sifat Tuhan. Selanjutnya teologi Islam disebut juga 'ilm al-qala>m

(Harun Nasution, 2006).

Komitmen umat beriman terhadap eksistensi Tuhan atau tauhid membawa pengaruh

sangat berarti dalam setiap langkah mereka. Berbeda dengan orang-orang kafir, munafik,

dan Musyrik yang jiwanya keropos serta gersang dari cahaya Ilahi, setiap umat beriman

memiliki ikatan bathin dan kejiwaan yang kuat dengan Tuhan. Dengan sikap penyembahan dan penghambaan di hadapan Tuhan, hidup mereka benar-benar hanya dipersembahkan bagi

sang pencipta, penguasa alam semesta. Keyakinan ini pada akhirnya memberikan legitimasi

moral kepada mereka untuk menjalani kehidupan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di dunia

yang nisbi ini (Siroj, 2009). Dalam kitab suci berbagai agama, banyak ayat yang

mengajarkan betapa pentingnya kedamaian, dan kerukunan dalam kehidupan manusia (Katu,

2004).

Realitas kehidupan membuktikan bahwa, tidak ada satu pun ciptaan Tuhan (makhluk)

yang benar-benar tunggal (unitary), tanpa ada unsur-unsur perbedaan di dalamnya.

Kemajemukan atau pluralitas adalah kepastian dari Allah swt. Bahkan Alquran sendiri

merupakan referensi paling autentik bagi pluralitas. Contoh, suatu anggota keluarga adalah

bentuk pluralitas dalam kerangka kesatuan keluarga dan sebagai antitesis darinya. Pria dan

wanita adalah bentuk pluralitas dari kerangka kesatuan jiwa manusia.

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan tersebut, pokok kajian artikel ini adalah

perdebatan aspek-aspek ketuhanan dalam teologi dan pluralitas makhluk. Sehingga penulis

mengangkat tiga sub masalah, yaitu: 1) Bagaimana pandangan teologi tentang sifat Tuhan,

keadilan Tuhan, kekuasaan dan kehendak Mutlak Tuhan? 2) Bagaimana konsep pluralitas di

tinjau dari berbagai aspek? 3) Bagaimana analisis pluralitas makhluk dan keesaan Khalik

perspektif Islam?

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pandangan Teologi tentang Ketuhanan

Sifat Tuhan

Kaum Mu'tazilah bertentangan paham dengan kaum Asy'ariah yang mengatakan

bahwa Tuhan itu punya sifat. Tuhan itu Esa, jika Tuhan mempunya sifat sifat itu mestilah

kekal seperti halnya dengan zat Tuhan, jika demikian halnya maka yang bersifat kekal bukan

satu tetapi banyak, atau istilahnya ta'addud al qudama (Harun Nasution, 2006).

Menurut Washil, kepada Tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud

tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena bersifat qadi

>m maka apa yang

melekat pada zat itu bersifat qadi

>m pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim. Hal

ini tentu akan membawa pada adanya dua Tuhan, karena yang boleh bersifat qadi

>m hanyalah

Tuhan, dengan kata lain kalau ada sesuatu yang bersifat qadi

>m maka itu mestilah Tuhan.

Oleh karena itu, ajaran dasar yang terpenting bagi Mu'tazilah ialah Tauhid atau

Kemahaesaan Tuhan. Zat yang unik tidak ada yang serupa dengan Dia. Mereka menolak Aspek-aspek Ketuhanan dalam

paham anthropomorphism yaitu menggambarkan Tuhan dekat menyerupai dengan makhlukNya (Ahmad, 1965).

Sedangkan Asy'ariayah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil

menurut Asy'ariayah Tuhan mengetahui dengan zat Nya, karena dengan demikian zat-Nya

adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan ('ilm)

tetapi yang Maha Mengetahui ('Ali

>m).

Selanjutnya, Asy'ariayah berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat.

Alasannya ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada tuhan hanyalah sifat-sifat

yang akan membawa kepada arti diciptakannya tuhan. Sifat dapatnya tuhan dilihat tidak

membawa kepada hal ini: karena apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa

ia mesti bersifat diciptakan (Ahmad, 1965).

Keadilan Tuhan

Mu'tazilah berpendapat sebagaimana yang diungkapkan oleh 'Abd al-Jabbar, bahwa

semua perbuatan Tuhan bersifat baik; Tuhan tidak berbuat buruk, dan tidak melupakan apa

yang wajib dikerjakan-Nya (Ahmad, 1965). Dengan demikian Tuhan tidak berdusta, tidak

bersikap zalim, tidak menyiksa anak-anak orang-orang polytheist lantaran dosa orang tua

mereka, tidak menurunkan mu'jizat bagi pendusta dan tidak memberi beban yang tak dapat

dipikul manusia (Ahmad, 1965).

Mu'tazilah menganut paham Qadariyah yang berpendapat bahwa manusia

mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut

paham ini manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan

perbuatan-perbuatannya. Maka Tuhan tidak dapat disebut adil sekiranya ia menghukum

orang yang berbuat buruk bukan atas kemauannya sendiri, tetapi atas paksaan diluar dirinya.

Manusia dipandang mempunyai daya yang besar dan kebebasan atau disebut Free will.

Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan

perbuatan. Karena itu, manusia adalah makhluk yang dapat memilih (Ahmad, 1965).

Menurut al-Asy'ari, perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri,

tetapi diciptakan oleh Tuhan. Tidak ada pembuat (fa'il) bagi kasb kecuali Allah, yang

mewujudkan kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan sendiri. Menurut paham

Asy'ari terdapat dua unsur penggerak yang mewujudkan gerak dan badan yang bergerak.

Penggerak yaitu pembuat gerak yang sebenarnya (al fa'il laha 'ala haqiqatiha) adalah Tuhan

dan yang bergerak adalah manusia. Paham Asy'ariyah dalam hal perbuatan manusia lebihdekat kepada paham Jabariyah. Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung kepada

kehendak dan kekuasaan Tuhan. Sesuai dengan dalil yang di pakai adalah QS al-Insan/76: 30.

Adapun keadilan tuhan menurut Asy'ariyah tuhan berkuasa mutlak dan tak ada

satupun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya sehingga ia memasukkan

seluruh manusia kedalam syurga bukanlah ia bersifat tidak adil dan jika ia memasukkan

seluruh manusia kedalam neraka tidaklah ia bersifat zalim (Abduh, 1992).

Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

Mu'tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak lagi bersifat

mutlak semutlak mutlaknya, karena telah dibatasi oleh kebebasan yang telah diberikan

kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Seterusnya kekuasaan mutlak

itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan, tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan

yang kalau dilanggar, membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim. Kekuasaan dan

kehendak mutlak tuhan juga dibatasi oleh kewajiban-kewajiban tuhan terhadap manusia dan

dibatasi oleh hukum alam (sunnatullah) yang tidak mengalami perubahan, sebagaimana QS

al-Ahzab/33: 23.

Kaum Asy'ari dalam menjelaskan tentang kehendak Tuhan mengatakan bahwa Tuhan

tidak tunduk kepada siapa pun di atas Tuhan, tidak ada satu zat lain yang dapat membuat

hukum dan menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Tuhan

bersifat absolute dalam kehendak dan kekuasaan-Nya, bahkan al-Dawwani salah seorang

Asy'ariyah mengatakan bahwa Tuhan maha pemilik (Al-Malik) yang bersifat absolut dan

berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Sungguhpun perbuatan perbuatan itu oleh manusia

dipandang bersifat tidak baik atau tidak adil (Harun Nasution, 2006).

Pluralitas Makhluk

Pluralitas antonim dari kata singular, secara umum berarti kejamakan atau

kemajemukan (Echol & Shadily, 1996). Dalam arti kata pluralitas adalah kondisi objektif

dalam suatu masyarakat yang terdapat di dalamnya sejumlah kelompok saling berbeda, baik

strata ekonomi, ideology, keimanan serta latar belakang etnis (al-Munawar, 2005). Pada

awalnya tema ini hanya dipahami secara etimologis dan tidak memiliki konotasi

terminologis dan idiom khusus secara filosofis dan sosiologis. Akan tetapi akhir-akhir ini

pluralitas telah menjadi diskursus intelektual dari kedua perspektif tersebut. Sejumlah para

pakar telah menulis tentang pluralitas. Imarah (1999) menjelaskan bahwa pluralitas adalah

kemajemukan yang didasari oleh keutamaan, keunikan dan kekhasan. Karena itu pluralitasidak dapat terwujud atau diadakan atau terbayangkan keberadaannya, kecuali sebagai

antitesis dan sebagai objek komparatif, keseragaman, dan kesatuan yang merangkum seluruh

dimensinya. Pluralitas tidak pula dipahami kepada situasi "cerai-berai" dan "permusuhan"

tanpa mempunyai tali persatuan yang mengikat dan merangkum semua bagian atau pihak.

Tidak juga kepada kondisi "cerai-berai" yang sama sekali tidak memiliki hubungan antar

masing-masing pihak (Imarah, 1999).

Secara filosofi, pluralitas dibangun dari prinsip pluralisme, yaitu sikap pemahaman

dan kesadaran terhadap kenyataan adanya kemajemukan, keragaman merupakan sebuah

keniscayaan, sekaligus ikut serta makna signifikansinya dalam konteks pembinaan dan

perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah manusiawi dan bermartabat (alMunawar, 2005).

Secara sosiologis manusia terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang saling berbeda

dan mengikatkan dirinya antara satu dengan yang lainnya. Sehingga perbedaan-perbedaan

seperti itu merupakan bagian pluralitas (al-Munawar, 2005). Dari penjelasan ini dapat

dipahami bahwa suatu bangsa terdiri dari berbagai macam suku, masyarakat terdiri dari

keluarga-keluarga yang berlainan, keluarga itu sendiri terdiri dari individu-individu yang

tidak sama, semuanya menunjukkan perbedaan namun tetap dalam persatuan.

Kemajemukan itu terjadi karena itu merupakan kehendak Allah, karena seandainya

Tuhan mengehendaki kesatuan dan tidak mengehendaki peluralitas maka manusia diciptakan

tanpa akal budi. Seandainya saja Tuhan menciptakan manusia seperti binatang atau bendabenda tak bernyawa, tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih maka pastilah

manusia akan bersatu. Perbedaan manusia telah menjadi kehendak Allah, agar terjalin kerja

sama serta perlombaan dalam mencapai kebajikan dan keridhaanNya. Hal ini sesuai dengan

firman Allah dalam QS Hud (11): 118.

Terjemahnya:

 

 

 

 

 

 

Jikalau Tuhanmu mengehendaki tentu menjadikan manusia umat yang satu, tetapi

mereka senantiasa berselisih pendapat (Departemen Agama RI, 2008: 345).

Secara realitas jika diperhatikan segala alam yang maujud ini, tanpa difikirkan lagi

bahwa kesemuanya itu adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Namun sulit juga dihindari

ternyata para pakar Islam terutama filosof Islam tertarik untuk membahas maujud itu secara

rasional menurut mereka. Pembahasan ini banyak dipengaruhi oleh filosuf Yunani sepertiteori emanasinya, suatu teori penciptaan yang belum pernah diajukan oleh filosuf lain

(Mudhofir, 1996). Tujuan teori ini untuk menjelaskan bahwa yang banyak (makhluk) ini

tidak menimbulkan pengertian bahwa di dalam Yang Esa ada pengertian yang banyak.

Maksud teori emanasi ini tidak menimbulkan pengertian bahwa Tuhan itu sebanyak makhluk

(Tafsir, 1997). Ternyata teori emanasi yang telah dicetuskan oleh Neo Platonisme mendapat

pengaruh yang besar terhadap filosuf Islam dan ahli tasawuf.

Filosuf Islam yang sangat terkenal dan menganut paham emanasi adalah al-Farabi

(870-950 M). Ia mencoba untuk menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang

Satu. Menurut al-Farabi, bahwa Tuhan sebagai akal berfikir tentang diri-Nya dan dari

pemikiran ini timbul maujud lain dan seterusnya (Zar, 2004). Jika dicermati pendapat kedua

filosuf tersebut, maka mereka mengakui bahwa ada Tuhan sebagai wujud pertama sebagai

sumber segala yang ada. Hanya saja kedua filosuf tersebut tidak mengakui Tuhan sebagai

pencipta menurut kehendak-Nya. Adanya wujud benda pertama secara otomatis agar

terpancar wujud-wujud lain bukan lagi urusan Tuhan, tetapi semuanya memancar secara

otomatis.

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa teori emanasi al-Farabi mempunyai

pandangan yang mirip dengan hasil teori yang dikemukakan oleh Neo Platonisme. Hanya

yang membedakan adalah pada benda-benda yang mengitari bumi. Al-Farabi tetap mengakui

adanya Tuhan, segala yang maujud merupakan pancaran dari Tuhan, tetapi al-Farabi tidak

mengakui adanya kekuasaan Tuhan untuk menciptakan sesuatu menurut kehendak-Nya dan

kekuasan-Nya karena hal itu membawa kepada ketidaksempurnaan termasuk melimpahnya

yang banyak dari diri-Nya secara sekaligus, dan tidak terjadi dalam waktu (Nasution, 1999).

Selain pendapat filosuf tersebut, Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M)

berpendapat bahwa terjadinya makhluk yang pluralitas yang dapat disaksikan oleh mata

kepala terletak pada kebebasan Tuhan berbuat. Menurut Abduh bahwa Tuhan berbuat

dengan kemauan bebas, tidak satupun di antara perbuatan-perbuatan dan kehendakkehendak-Nya dengan segala aktivitasnya menciptakan makhluk-makhluk-Nya yang timbul

karena adanya sebab atau karena adanya suatu tekanan (Abduh, 1992). Hal ini sesuai dengan

QS al-Mu'minun/23:Inilah yang dimaksudkan bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak bergantung kepada

sesuatu sebab, ia sunyi dari sifat main-main hal itu sangat mustahil, bahwa segala perbuatan

Tuhan itu sunyi dari hikmah, sekalipun hikmahnya itu tersembunyi dari tanggapan pikiran

manusia. Terkadang hikmah sesuatu itu beberapa lamanya tersembunyi bagi manusia, tetapi

kemudian ia menjadi jelas.

Menurut Al-Gazali (1972), Tuhan dalam keEsaan-Nya menciptakan sesuatu dari

tiada. Sehingga al-Gazali mengkritik pendapat filosuf yang mengatakan bahwa alam tidak

bermula (qadim), artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Kalau dikatakan

bahwa Tuhan adalah pencipta dan menciptakan sesuatu dari tiada dan kalau dikatakan alam

tidak bermula, maka alam bukanlah diciptakan dan dengan demikian Tuhan bukanlah

Pencipta (Nasution, 2003). Padahal semua umat Islam sepakat bahwa Tuhan Maha Pencipta.

Kesimpulannya bahwa semua alam maujud yang diciptakan oleh Tuhan adalah atas

kekuasaan dan kehendak-Nya tanpa campur tangan dengan orang lain. Lalu bagaimana

kaitannya dengan pemeliharaan pluralitas makhluk, dapat dikatakan bahwa Tuhan pasti

sibuk. Sehingga Muhammad Abduh mengatakan bahwa tidak ada satu pun di antara

kepentingan-kepentingan alam ini yang dapat memaksanya untuk mengawasi semuanya

(Abduh, 1992).

Jika ditelusuri sifat Allah al-Shamad (tempat bergantung segala sesuatu), maka

seluruh manusia bergantung kepada-Nya yang selalu didatangi untuk dimintai pertolonganNya atau untuk menyelesaikan segala persoalan (Al-Jauziyyah, 2000). Ketiadaan kekuasaan

yang dimiliki alam memaksa Tuhan untuk memelihara-Nya, sedangkan dari segi lain Tuhan

menjadi tempat ketergantungan semua makhluk ciptaan-Nya. Padahal kenyataannya bahwa

alam ini tersusun dengan rapi. Terpeliharanya alam ini dari segala yang maujud tiada lain

kecuali Tuhan adalah pemelihara segala alam.

Oleh karena itu Tuhan Maha Pencipta, sehingga pengabdian hanya kepada-Nya. Ia

juga kuasa meniadakan segala ciptaan-Nya. Adanya sebagian makhluk yang sudah lenyap

membuktikan bahwa semua maujud selain dari wujud Tuhan diciptakan dari tiada. Tidak ada

hikmah bagi makhluk yang lain jika benda-benda maujud tersebut lenyap baru akan

diciptakan lagi. Hal ini sesuai dengan QS al-Qashas/28: 88Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. Tidak

ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya lah

segala penentuan, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan (Departemen Agama

RI, 2008: 625).

Dalam Islam, ketunggalan diyakini hanya ada pada Zat Allah, Zat wajib wujud, selain

dari dirinya adalah nisbi relatif. Dia merupakan sumber kejamakan, keragaman dan

parsialitas. Meyakini adanya hakikat ketunggalan selain dari zat-Nya, merupakan

kemusyrikan. Dengan demikian keyakinan adanya pluralitas bagi makhluk adalah bagian dari

iman. Sebagaimana Firman Allah QS al-An'am/6: 38.

Dan tiadalah bintang-bintang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan

kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami siapkan

sesuatupun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan

(Departemen Agama RI, 2008: 192).

Selanjutnya pluralitas makhluk jika ditinjau dari pendekatan sufisme tentunya akan

dilihat pandangan dan penganut aliran sufi itu sendiri. Salah seorang sufi yang terkenal yaitu

Ibnu 'Arabi (1165-1240 M) yang menganut paham wahdatul wujud, maksudnya seluruh yang

ada, walaupun ia tampak hanya bayang-bayang dari yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan

tidak ada yang merupakan sumber bayang-bayang yang lainnya pun tidak ada, karena seluruh

alam ini tidak memiliki wujud dan sebenarnya yang memiliki wujud hanya Tuhan. Pada

intinya bahwa ajaran tasawuf Ibnu 'Arabi menekankan pengertian kesatuan keberadaan

hakikat (unity of existence) (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 2001).

Lebih lanjut Ibnu 'Arabi mengungkapkan bahwa Tuhanlah sebenarnya yang

mempunyai wujud hakiki dan yang lain hanya memiliki wujud nisbi serta bergantung dari

wujud selain dirinya, yaitu Tuhan. Semuanya akan kembali kepada Satu wujud yaitu wujud

Tuhan. Sehingga tampak dalam pernyataan Ibnu 'Arabi sendiri bahwa: Maha Suci Zat yang

menciptakan segala sesuatu dan Dialah esensi segala sesuatu itu (Dewan Redaksi

Ensiklopedi Islam, 2001).

Hubungan wahdat al-wujud dengan pluralitas makhluk yang sangat signifikan adalah

ketika diungkapkan "keadaan hanya ada Satu Diri". Satu diri tersebut diuraikan melalui

manifestasi menjadi berlipatgandanya wujud, pribadi, makhluk dan objek-objek dalam

eksistensi dan bahwasanya "keadaan Satu Diri" tersebut tiada lain adalah Allah, Tuhan YangAspek-aspek Ketuhanan dalam

Nyata, Yang absolute (mutlak), yakni identitas yang tersembunyi dari segala wujud: yangbanyak adalah cara Dia mengungkapkan diri dengan keterbatasan keanekaragaman

makhluknya dan yang banyak cara Dia menyembunyikan Diri Sendiri (Glass, 1999).

Berdasarkan pernyataan-pernyataan Ibnu 'Arabi tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa ibnu 'Arabi tidak mengakui penciptaan makhluk dari tiada menjadi ada. Karena

segala yang ada dianggap Tuhan. Olehnya itu ia dikritik oleh ahli filsafat Barat sebagai

penganut paham pantheisme. Paham ini sering disalahtafsirkan dengan pengertian sebuah

kontinuitas (kelanjutan) atau kesamaan substansi antara alam dan Tuhan, yakni bahwa alam

adalah Tuhan yang samar atau "laksana garis yang dipotong-potong" yang harus disatukan

kembali. Sehingga hal ini menimbulkan puncak kemarahan (Dewan Redaksi Ensiklopedi

Islam, 2001).

Konsep wahdat al-wujud dalam dunia sufi tidak hanya diungkapkan oleh Ibnu 'Arabi

tetapi banyak ahli-ahli sufi lainnya termasuk Mulla Sadra (1571-1640 M) (Nur, 2002).

Mengungkapkan bahwa keEsaan wujud dan keanekaragaman yang maujud. Di mana Yang

Esa memanifestasikan diri yang beraneka ragam di dalam Yang Esa. Sekalipun demikian

penetapan terhadap keEsaan wujud dan keanekaragaman yang maujud tidak berarti

meniadakan prinsip keEsaan wujud dan yang maujud, yang merupakan prinsip kaum sufi.

Mulla Sadra berupaya untuk mengsitesiskan berbagai pandangan tentang prinsip

metafisika yang paling dalam dan paling tersembunyi, tetapi juga paling nyata. Dia berusaha

menunjukkan bahwa sesungguhnya wujud adalah Esa, namun berbagai determinasi dan caracara memandangnya menyebabkan manusia memahami dunia keanekaragaman, yang

menutupi keesaanNya. Akan tetapi, bagi mereka yang memiliki visi spiritual, prinsip wahdat

al-wujud ini merupakan kebenaran yang paling nyata dan terbukti, sedangkan

keanekaragaman tersembunyi darinya (Nur, 2002).

Lebih lanjut ditegaskan bahwa keyakinan terhadap kebenaran prinsip wahdat alwujud bukan pembahasan yang bersifat rasional, melainkan berdasarkan pengalaman batin,

melaui praktik-praktik dan disiplin spiritual yang sulit, di samping adanya karunia dari

Tuhan (Nur, 2002). Oleh karena itu, tidak semua orang mampu mengalami, kecuali orangorang tertentu yang kehadiran mereka telah terbukti dalam sejarah.

Setelah dibahas kedua tokoh sufi tersebut, maka apa yang membedakan wahdat alwujud Ibnu 'Arabi dan Mulla Sadra. Menurut hemat penulis bahwa Ibnu 'Arabi telah

menolak penciptaan alam dari tiada menjadi ada. Menurutnya Allah al-Khalq (makhluk)

adalah sama dengan Allah al-Haqq (Pencipta). Oleh sebab itu jika pencipta dan ciptaannya

sama, maka ajaran tentang penciptaan dari tiada tidak bermakna. Sedangkan Mulla Sadramengakui bahwa hanya ada satu wujud yaitu wujud Yang Esa dan tidak ada yang lain tetapi

dia tidak menafikan keberadaan-keberadaan yang lain. Wujud-wujud yang lain hanyalah

manifestasi dari yang Esa. Jadi wujud yang sesungguhnya hanya Satu, bukan banyak.

Keesaan Khalik

Dalam memahami akidah Islam, mentauhidkan Allah: mengesakan menyatakan atau

mengakui Yang Maha Esa, merupakan suatu penyucian yang tidak dapat diungkapkan oleh

kata-kata, juga imajinasi rasio dalam mendefinisikan hakikat allah serta esensinya. Oleh

karena itu yang dilakukan adalah menafikan adanya sesuatu yang menyamai-Nya.

Umat Islam meyakini bahwa Tuhan adalah Esa tidak mempunyai sekutu dan tidak

ada makhluk yang meyerupainya. Hal ini diungkapkan oleh Reynold A. Nicholson bahwa

Tuhan itu adalah Esa dalam zat-Nya. Tentang eksistensi Tuhan, Milton K. Munitz

mengungkapkan bahwa Tuhan merupakan puncak dan mengatasi segala makhluk ciptaannya,

termasuk alam ini. Tuhan tidak sama dengan alam. Tetapi tetap mempunyai hubungan

dengan alam dengan melihat kenyataan bahwa alam ini sangat bergantung pada

pemeliharaannya (Munitz, 1979).

Penyataan-pernyataan tersebut dapat dipahami, bahwa makhluk walau bagaimanapun

pluralitasnya, tetap merupakan ciptaan Tuhan dan bukan bagian dari Tuhan serta makhluk

itu dipelihara oleh Tuhan. Pribadi Tuhan adalah menyangkut segala Kemahasucian-Nya dan

terhindar dari segala macam syirik baik dari segi penciptaan-Nya, pemeliharaan-Nya serta

pengabdian kepada-Nya.

Tuhan dalam konsep Islam adalah Tuhan yang Esa (wahid, ahad) yang menjadi

tempat bergantung seluruh makhluk (al-Samad) (Abduh, 1992). Dia tidak beranak, tidak

diperanakkan dan tidak ada saingan bagi-Nya. Dia tidak serupa dengan apapun. Al-Qur'an

melarang orang-orang yang beriman membuat penyerupaan untuk-Nya.

Pokok ajaran Islam itu adalah masalah tauhid, sehingga tauhid itu mengalami

tingkatan-tingkatan, yaitu:

Pertama, mengucapkan La ilalah Illallah "tidak ada Tuhan selain Allah" dengan lisan

tanpa keyakinan hati. Seluruh orang munafik berada dalam tauhid seperti ini.Tauhid ini juga

memiliki kehormatan, karena mereka dapat mencapai kebahagiaan dunia, harta,dan darahnya

terjaga, serta terjamin keluarga dan anak.

Kedua, Meyakini makna La Ilaha Illallah dengan taklid tanpa megetahui hakikatnya.

Semua orang awam sampai pada derajat ini.Ketiga, yaitu terbukanya makna La Ilaha Illallah dengan dalil yang kuat sehingga kita

mengetahuinya. Ketiga tingkatan tersebut saling berbeda nilainya. Yang pertama dimiliki

oleh ahli maqalah (ucapan). Yang kedua adalah pemilik akidah. Dan yang ketiga dimiliki

oleh ahli ilmu pengetahuan. Tidak ada dari ketiganya yang menjadi ahli hal. Pemilik derajat

hal ini adalah kaum sufi, bukan ahli pengetahuan atau ucapan.

Keempat, dimiliki bersama pengetahuan. Ia menjadi ahli hal (penyaksian).

Sembahannya hanayalah satu (Allah swt). Sedangkan, orang yang dikalahkan oleh nafsunya

maka sembahannya adalah nafsunya. Sebagaimana Firman Allah dalam QS al-Jatsiyah: 23,

pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.

Kelima, tidak saja tauhid dalam batinnya mengalahkan syahwatnya serta menjadikan

nafsunya sebagai pengikut. Namun ia juga menghancurkan syahwat dan nafsu itu sama

sekali sehingga ia tidak pernah menuruti nafsu dalam perbuatan apapun.

Keenam, yaitu tauhid yang mengeluarkan pemiliknya dari kekuasaan dirinya secara

total dan mengeluarkannya dari dunia ini, bahkan juga mengeluarkannya dari akhirat, seperti

mengeluarkannya dari ikatan dunia, sehingga tidak ada yang tersisa dirinya dan hanya

mengingat Allah swt. Ia melupakan dirinya dan hanya mengingat Allah swt. Tingkatan

terakhir ini menanamkan kondisi ini sebagai "fana dalam tauhid" karena segala sesuatu

selain al-Haq, adalah fana (Imarah, 1999).

Tauhid pada intinya, orang yang menafikan sembahan selain Allah swt. dan

merupakan bagian dari tauhid orang yang menafikan maujud selain-Nya, karena dalam

penegasian wujud, berarti penegasian sembahan juga. Dan seluruh tingkatan tauhid

terwujudkan dalam tauhid orang yang menegasikan (menafikan) sembahan selain Allah swt.

Tauhid dengan seluruh tingkatannya terwujudkan dalam tauhid orang yang menegasikan

wujud selain Allah swt (Al-Gazali, 1972). Demikianlah gambaran tingkatan-tingkatan tauhid

yang pada intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah swt, dan menghilangkan

hal-hal yang dapat mengganggu untuk mengingat kepada Allah.

Dalam konsepsi Islam tentang Zat Ilahi yang Satu, terdapat pluralitas sifat Zat

(Abduh, 1992). Di antara sifat-sifat itu adalah:

1. Qidam, baqa tidak tersusun. Qidam (lebih dahulu) adalah tidak berpemulaan karena kalau

berpemulaan berarti ia baharu, sedang yang baharu sesuatu yang wujudnya didahului oleh

tiada, memerlukan kepada sebab yang memberinya wujud. Termasuk pula hukum-hukum

wajib bahwa ia tidak tersusun dari sesuatu Zat karena apabila ia tersusun dari sesuatu

unsur, tentulah adanya tiap-tiap bagian dari bagiannya mendahului akan wujud yangbanyak adalah cara Dia mengungkapkan diri dengan keterbatasan keanekaragaman

makhluknya dan yang banyak cara Dia menyembunyikan Diri Sendiri (Glass, 1999).

Berdasarkan pernyataan-pernyataan Ibnu 'Arabi tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa ibnu 'Arabi tidak mengakui penciptaan makhluk dari tiada menjadi ada. Karena

segala yang ada dianggap Tuhan. Olehnya itu ia dikritik oleh ahli filsafat Barat sebagai

penganut paham pantheisme. Paham ini sering disalahtafsirkan dengan pengertian sebuah

kontinuitas (kelanjutan) atau kesamaan substansi antara alam dan Tuhan, yakni bahwa alam

adalah Tuhan yang samar atau "laksana garis yang dipotong-potong" yang harus disatukan

kembali. Sehingga hal ini menimbulkan puncak kemarahan (Dewan Redaksi Ensiklopedi

Islam, 2001).

Konsep wahdat al-wujud dalam dunia sufi tidak hanya diungkapkan oleh Ibnu 'Arabi

tetapi banyak ahli-ahli sufi lainnya termasuk Mulla Sadra (1571-1640 M) (Nur, 2002).

Mengungkapkan bahwa keEsaan wujud dan keanekaragaman yang maujud. Di mana Yang

Esa memanifestasikan diri yang beraneka ragam di dalam Yang Esa. Sekalipun demikian

penetapan terhadap keEsaan wujud dan keanekaragaman yang maujud tidak berarti

meniadakan prinsip keEsaan wujud dan yang maujud, yang merupakan prinsip kaum sufi.

Mulla Sadra berupaya untuk mengsitesiskan berbagai pandangan tentang prinsip

metafisika yang paling dalam dan paling tersembunyi, tetapi juga paling nyata. Dia berusaha

menunjukkan bahwa sesungguhnya wujud adalah Esa, namun berbagai determinasi dan caracara memandangnya menyebabkan manusia memahami dunia keanekaragaman, yang

menutupi keesaanNya. Akan tetapi, bagi mereka yang memiliki visi spiritual, prinsip wahdat

al-wujud ini merupakan kebenaran yang paling nyata dan terbukti, sedangkan

keanekaragaman tersembunyi darinya (Nur, 2002).

Lebih lanjut ditegaskan bahwa keyakinan terhadap kebenaran prinsip wahdat alwujud bukan pembahasan yang bersifat rasional, melainkan berdasarkan pengalaman batin,

melaui praktik-praktik dan disiplin spiritual yang sulit, di samping adanya karunia dari

Tuhan (Nur, 2002). Oleh karena itu, tidak semua orang mampu mengalami, kecuali orangorang tertentu yang kehadiran mereka telah terbukti dalam sejarah.

Setelah dibahas kedua tokoh sufi tersebut, maka apa yang membedakan wahdat alwujud Ibnu 'Arabi dan Mulla Sadra. Menurut hemat penulis bahwa Ibnu 'Arabi telah

menolak penciptaan alam dari tiada menjadi ada. Menurutnya Allah al-Khalq (makhluk)

adalah sama dengan Allah al-Haqq (Pencipta). Oleh sebab itu jika pencipta dan ciptaannya

sama, maka ajaran tentang penciptaan dari tiada tidak bermakna. Sedangkan Mulla Sadramengakui bahwa hanya ada satu wujud yaitu wujud Yang Esa dan tidak ada yang lain tetapi

dia tidak menafikan keberadaan-keberadaan yang lain. Wujud-wujud yang lain hanyalah

manifestasi dari yang Esa. Jadi wujud yang sesungguhnya hanya Satu, bukan banyak.

Keesaan Khalik

Dalam memahami akidah Islam, mentauhidkan Allah: mengesakan menyatakan atau

mengakui Yang Maha Esa, merupakan suatu penyucian yang tidak dapat diungkapkan oleh

kata-kata, juga imajinasi rasio dalam mendefinisikan hakikat allah serta esensinya. Oleh

karena itu yang dilakukan adalah menafikan adanya sesuatu yang menyamai-Nya.

Umat Islam meyakini bahwa Tuhan adalah Esa tidak mempunyai sekutu dan tidak

ada makhluk yang meyerupainya. Hal ini diungkapkan oleh Reynold A. Nicholson bahwa

Tuhan itu adalah Esa dalam zat-Nya. Tentang eksistensi Tuhan, Milton K. Munitz

mengungkapkan bahwa Tuhan merupakan puncak dan mengatasi segala makhluk ciptaannya,

termasuk alam ini. Tuhan tidak sama dengan alam. Tetapi tetap mempunyai hubungan

dengan alam dengan melihat kenyataan bahwa alam ini sangat bergantung pada

pemeliharaannya (Munitz, 1979).

Penyataan-pernyataan tersebut dapat dipahami, bahwa makhluk walau bagaimanapun

pluralitasnya, tetap merupakan ciptaan Tuhan dan bukan bagian dari Tuhan serta makhluk

itu dipelihara oleh Tuhan. Pribadi Tuhan adalah menyangkut segala Kemahasucian-Nya dan

terhindar dari segala macam syirik baik dari segi penciptaan-Nya, pemeliharaan-Nya serta

pengabdian kepada-Nya.

Tuhan dalam konsep Islam adalah Tuhan yang Esa (wahid, ahad) yang menjadi

tempat bergantung seluruh makhluk (al-Samad) (Abduh, 1992). Dia tidak beranak, tidak

diperanakkan dan tidak ada saingan bagi-Nya. Dia tidak serupa dengan apapun. Al-Qur'an

melarang orang-orang yang beriman membuat penyerupaan untuk-Nya.

Pokok ajaran Islam itu adalah masalah tauhid, sehingga tauhid itu mengalami

tingkatan-tingkatan, yaitu:

Pertama, mengucapkan La ilalah Illallah "tidak ada Tuhan selain Allah" dengan lisan

tanpa keyakinan hati. Seluruh orang munafik berada dalam tauhid seperti ini.Tauhid ini juga

memiliki kehormatan, karena mereka dapat mencapai kebahagiaan dunia, harta,dan darahnya

terjaga, serta terjamin keluarga dan anak.

Kedua, Meyakini makna La Ilaha Illallah dengan taklid tanpa megetahui hakikatnya.

Semua orang awam sampai pada derajat ini.Ketiga, yaitu terbukanya makna La Ilaha Illallah dengan dalil yang kuat sehingga kita

mengetahuinya. Ketiga tingkatan tersebut saling berbeda nilainya. Yang pertama dimiliki

oleh ahli maqalah (ucapan). Yang kedua adalah pemilik akidah. Dan yang ketiga dimiliki

oleh ahli ilmu pengetahuan. Tidak ada dari ketiganya yang menjadi ahli hal. Pemilik derajat

hal ini adalah kaum sufi, bukan ahli pengetahuan atau ucapan.

Keempat, dimiliki bersama pengetahuan. Ia menjadi ahli hal (penyaksian).

Sembahannya hanayalah satu (Allah swt). Sedangkan, orang yang dikalahkan oleh nafsunya

maka sembahannya adalah nafsunya. Sebagaimana Firman Allah dalam QS al-Jatsiyah: 23,

pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.

Kelima, tidak saja tauhid dalam batinnya mengalahkan syahwatnya serta menjadikan

nafsunya sebagai pengikut. Namun ia juga menghancurkan syahwat dan nafsu itu sama

sekali sehingga ia tidak pernah menuruti nafsu dalam perbuatan apapun.

Keenam, yaitu tauhid yang mengeluarkan pemiliknya dari kekuasaan dirinya secara

total dan mengeluarkannya dari dunia ini, bahkan juga mengeluarkannya dari akhirat, seperti

mengeluarkannya dari ikatan dunia, sehingga tidak ada yang tersisa dirinya dan hanya

mengingat Allah swt. Ia melupakan dirinya dan hanya mengingat Allah swt. Tingkatan

terakhir ini menanamkan kondisi ini sebagai "fana dalam tauhid" karena segala sesuatu

selain al-Haq, adalah fana (Imarah, 1999).

Tauhid pada intinya, orang yang menafikan sembahan selain Allah swt. dan

merupakan bagian dari tauhid orang yang menafikan maujud selain-Nya, karena dalam

penegasian wujud, berarti penegasian sembahan juga. Dan seluruh tingkatan tauhid

terwujudkan dalam tauhid orang yang menegasikan (menafikan) sembahan selain Allah swt.

Tauhid dengan seluruh tingkatannya terwujudkan dalam tauhid orang yang menegasikan

wujud selain Allah swt (Al-Gazali, 1972). Demikianlah gambaran tingkatan-tingkatan tauhid

yang pada intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah swt, dan menghilangkan

hal-hal yang dapat mengganggu untuk mengingat kepada Allah.

Dalam konsepsi Islam tentang Zat Ilahi yang Satu, terdapat pluralitas sifat Zat

(Abduh, 1992). Di antara sifat-sifat itu adalah:

1. Qidam, baqa tidak tersusun. Qidam (lebih dahulu) adalah tidak berpemulaan karena kalau

berpemulaan berarti ia baharu, sedang yang baharu sesuatu yang wujudnya didahului oleh

tiada, memerlukan kepada sebab yang memberinya wujud. Termasuk pula hukum-hukum

wajib bahwa ia tidak tersusun dari sesuatu Zat karena apabila ia tersusun dari sesuatu

unsur, tentulah adanya tiap-tiap bagian dari bagiannya mendahului akan wujud yangjumlahnya merupakan zat bagi-Nya. Sedang tiap-tiap bagian dari bagian-bagiannya itu

mendahului akkan wujud jumlahnya yang merupakan zat bagi-Nya.

2. Hidup (al-Hayat). Di antara sifat-sifat yang wajib ada pada diriNya adalah sifat "hidup".

Sifat ini diiringi oleh "ilmu" dan "iradah" (kemauan). Sifat hidup ini termasuk sifat

kesempurnaan bagi wujud-Nya. Maka sifat hidup dan sifat-sifat yang mengiringinya

adalah menjadi sumber segala peraturan dan menjadi kebijaksanaan. Maka yang wajib ada

itu pasti ia hidup, sekalipun hidupnya berlainan dengan segala sesuatu yang mungkin

hidup. Maka sesungguhnya maka sesuatu yang merupakan kesempurnaan bagi wujud

tentulah ia sumber bagi ilmu dan iradat.

3. Ilmu (Maha mengetahui). Di antara sifat yang wajib bagi Zat yang wajib Ada, adalah sifat

ilmu (Maha Mengetahui). Yang dimaksud adalah terbukanya tabir sesuatu bagi Zat yang

telah tetap sifat itu bagi-Nya. Yaitu yang menjadi sumber terbukanya sesuatu itu. Sebab

sifat ilmu termasuk sifat-sifat wujudiyah yang menjadi sifat bagi yang wajib ada.

Kenyataan menunjukkan, bahwa ilmu menjadi kesempurnaan bagi segala sesuatu yang

mungkin wujud itu adalah zat yang mempunyai ilmu ('alim). Oleh karena itu, sesuatu

yang mungkin ada itu tidak alim (berilmu), tentu akan terdapat dalam segala sesuatu yang

mungkin ada itu. Zat adalah substansi yang lebih sempurna (Abduh, 1992).

Demikian di antara sifat-sifat yang wajib ada pada diri Allah SWT, dan hal itu adalah

perkara yang wajib diimani. Bahwa Zat itu maujud (ada) dan tidak menyerupai apa yang ada

dalam alam semesta ini. Hanya yang sering diperdebatkan oleh berbagai aliran dalam kalam

dan para filosof dan pemikir lainnya adalah apakah sifat-sifat itu merupakan tambahan

kepada Zat substansi? Maka perkara itu sebenarnya tidak perlu terlalu jauh dipertengkarkan.

Karena tidak mungkin akal manusia sampai kepadanya dan tidak cukup kata-kata yang dapat

mencakup untuk menerangkannya.

Al-Qur'an menantang manusia ketika berbicara tentang Allah Yang Maha Esa,

meskipun konsep tersebut tampak sederhana dan jelas namun nalar manusia tidak mampu

mempersepsikan satu wujud yang tidak terdiri dari partikel bagi manusia. Jika tidak ada

partikel maka tidak ada wujud, yang ada adalah ketiadaan. Oleh karena itu, bagi manusia,

wujud harus terhindar dari partikel atau tidak ada sama sekali.

Tauhid menurut Ibnu Taimiyah, tauhid membawa kepada pembebasan manusia dari

berbagai macam kepercayaan palsu, seperti mitologi, yang selalu membelenggu manusia.

Kepercayaan palsu adalah segala bentuk praktik pemujaan kepada selain Allah sehingga

tercipta Tuhan-Tuhan palsu (al-Hanbali, 1990).Al-Maududi (1984) menyimpulkan bahwa asas terpenting dalam Islam adalah tauhid.

Bahkan seluruh Nabi dan Rasul mempunyai tugas pokok untuk mengajarkan tauhid kepada

seluruh umat manusia. Ajaran tauhid itu sangat sederhana, tidak ada Tuhan selain Allah dan

Muhammad itu Rasul Allah. Pernyataan itu mengandung ikrar kesediaan manusia mematuhi

kehendak Allah (al-Maududi, 1984).

Di pihak lain, Al-Faruqi (1988) menjelaskan bahwa tauhid sebagai prinsip dasar Islam

karena tauhid adalah esensi Islam. Sebagai landasan bagi pengelolaan hidup kemasyarakatan

dalam Islam, tauhid menurut al-Faruqi membawa kepada tiga implikasi, yaitu: Pertama,

masyarakat Islam adalah masyarakat yang egalitarian. Kedua, masyarakat Islam harus

mengusahakan aktualisasi kehendak Ilahi di semua bidang yang dapat dijangkaunya dan

selanjutnya mengarahkannya kea rah yang lebih baik. Ketiga, masyarakat Islam adalah

masyarakat yang bertanggung jawab untuk merealisasikan kehendak Ilahi.

Dalam

al

-

Qur'an

banyak

ayat

-

ayat

yang

menunjukkan

tentang

sifat

-

sifat

Allah,Terjemahnya:

 Dia Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Maha mengetahui yang gaib dan yang nyata,

Dialah ar-Rahman lagi al-Rahim. Dia Allah yang tiada Tuhan selain Dia, al-Malik, alquddus, as-salamal-Mu;min, al-Aziz al-Jabbar, al-Mutakabbir, maha suci Allah dari apa

yang mereka sekutukan. Dialah Allah al-Khalik, al-Bari, al-Mushawwir, MilikNya alasma al-Husna kepadaNya apa yang di langit dan di bumi dan Dialah al-Aziz al-Hakim(Departemen Agama RI, 2008: 138).

Kata al-Malik al-Quddus yang berarti Tuhan Allah adalah raja Yang Maha suci.

Menurut Shihab (2003), al-Malik mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu disebabkan

oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Malik yang biasanya diterjemahkan sebagai

raja adalah menguasai dan menangani perintah dan larangan, anugerah dan pencabutan.

Olehnya itu biasanya kerajaan terarah kepada manusia tidak kepada barang yang tidak

menerima perintah.

Lebih lanjut Imam al-Gazali, menafsirkan kata al-Malik yang merupakan salah satu

nama Allah Yang mulia adalah Dia Yang Zat dan sifat-Nya tidak membutuhkan segala yangwujud, bahkan segala yang wujud butuh kepada-Nya (Shihab, 2003). Jadi semua makhluk

yang ada di bumi ini tergantung kepada-Nya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun