Kedudukan Jaksa Penuntut Umum dalam konteks Upaya Hukum Luar Biasa   Peninjauan Kembali  Dalam Sistem Penegakan Hukum Pidana[1]
Oleh : Abdul Ficar Hadjar[2]
Pendahuluan
Â
Upaya hukum  Peninjauan Kembali (PK) dalam system peradilan pidana (SPP) Indonesia dimaksudkan untuk mengoreksi putusan yang keliru terhadap perkara yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada pihak yang kepentingannya dirugikan, baik kepentingan Terpidana maupun kepentingan korban tindak pidana yang diwakili oleh Negara melalui proses penuntutan yang secara atributif kewenangannya dilaksanakan oleh Penuntut Umum.
Â
Demikian juga upaya hukum luar biasa PK ini juga dimaksudkan untuk tegaknya kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice), karena pada dasarnya hukum pidana (formil maupun materil) untuk memenuhi rasa keadilan, karena itu juga upaya pencarian kebenaran materiil itu selayaknya tidak dibatasi oleh waktu (Putusan MK).
Â
Dasar pengajuan Peninjauan Kembali (PK)
Â
Mencermati peraturan perundang-undangan yang ada dan pernah ada antara lain UU No.14 tahun 1970, UU No. 4 Tahun 2004, UU No. 48 Tahun 2009 yang kesemuanya tentang Kekuasaan Kehakiman, dan UU No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka dasar pengajuan PK, dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu:
Â
- Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (PTMKHT) yang menghukum;
- Terhadap putusan yang  telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang apabila suatu perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti oleh pemidanaan.
Â
Ad.1. Â PTMKHT yang menghukum;
Â
Dasar pengajuannya adalah Pasal 263 ayat (1) KUHAP:Â
 "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan lepas atau bebas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan kembali kepada Mahkamah Agung."
Â
Dari ketentuan ini secara jelas ditentukan bahwa putusan perkara pidana (PTMKHT) yang dapat diajukan upaya hukum luar biasa PK adalah putusan yang menghukum atau bukan putusan lepas atau bebas.
Â
Ad.2. PTMKHT yang apabila suatu perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti oleh pemidanaan.Â
Dasar pengajuannya adalah Pasal 263 ayat (3) KUHAP:
Â
"Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tsb pada ayat (2) terhadap suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti oleh pemidanaan."
Â
Ketentuan ini menyuratkan secara jelas bahwa PK dapat diajukan terhadap putusan yang berdasarkan fakta persidangan telah terbukti secara nyata sesuai dengan yang didakwakan, tetapi tidak diikuti oleh pemidanaan.
Â
Siapa yang memiliki hak (legal standing) untuk mengajukan PK ?
Â
Mencermati peraturan perundang-undangan yang ada dan pernah ada antara lain UU No.14 tahun 1970, UU No. 4 Tahun 2004, UU No. 48 Tahun 2009 yang kesemuanya tentang Kekuasaan Kehakiman, dan UU No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pihak-pihak yang mempunyai hak (legal standing) untuk mengajukan PK, dapat dikelompokan menjadi antara lain:
Â
- Terpidana atau ahli warisnya;
- Para pihak yang bersangkutan atau berkepentingan dalam suatu perkara;
Â
Ad. a). Terpidana atau ahli warisnya.Â
Terpidana atau ahli warisnya berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah salah satu pihak yang mempunyai legal standing untuk mengajukan upaya hukum PK. Artinya selain Terpidana sendiri dapat juga diajukan oleh ahli warisnya. Terminologi "ahli waris" dalam hukum perdata khususnya yang berkaitan dengan kewarisan atau faraid dalam hukum islam.
Â
Diksi Ahli waris ini berdasarkan kelompok keutamaan penerima warisan (legitimaforci) antara lain : Suami/Istri dan anak yang menutup kemungkinan munculnya pihak lain sebagai ahli waris. Jika dua pihak ini (suami/istir dan anak) tidak ada, maka pihak lain dapat muncul menjadi ahli waris sperti ayah, ibu, adik dan kakak, paman, tante dan lain-lain. Namun yang pasti bahwa ahli waris ini bari akan muncul ketika sang pewaris sudah meninggal dunia.
Â
Ad. b).Para pihak yang bersangkutan atau berkepentingan dalam suatu perkara; Â Â
Pasal 24 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Â
"Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang."
Â
Pasal 23 ayat (1) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
 "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam Undang-undang"
Â
Pasal  21 UU No. 1 tahun 1970 tentang Pokok pokok Kekuasaan KehakimanÂ
"Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan",
Â
Siapa dan dalam konteks apa "pihak-pihak yang berkepentingan / bersangkutan" mempunyai hak atau legal standing untuk mengajukan PK ?Â
Untuk menjawab pertanyaan diatas, maka harus dilihat siapa pihak-pihak yang terlibat dalam system peradilan pidana di Indonesia. KUHAP secara jelas telah menyebutkannya, yaitu:Â
- Terlapor/Tersangka/Terdakwa/Terpidana;
- Penyelidik/Penyidik;
- Jaksa / Penuntut Umum;
- Penasehat hukum / Advokat; dan
- Hakim.Â
Sistem peradilan pidana dapat dibagi dalam beberapa tahapan atau fase ajudikasi, yang terdiri:Â
- Fase Pra-Ajudikasi, yang termasuk didalamnya aktivitas-aktivitas : pelaporan / pengaduan /Tertangkap tangan, penyelidikan dan penyidikan dan pra-penuntutan;
- Fase Ajudikasi, yang termasuk didalamnya pemeriksaan oleh hakim di pengadilan, dengan kehadiran  Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa didampingi/tidak  oleh Advokat;
- Fase Purna Ajudikasi, yang merupakan kegiatan pelaksanaan hukuman di LP, dalam hal ini termasuk juga  upaya hukum baik biasa (Banding, Kasasi) maupun upaya hukum luar biasa dhi Peninjauan Kembali (PK), yang tentu saja dalam fase ini pihak-pihak yang berkepentingan adalah Terdakwa/Terpidana dan Jaksa Penuntut Umum.
Â
Pada permohonan PK berdasarkan PTMKHT yang menghukum, pihak yang secara jelas mempunyai kedudukan hukum (legal standing) adalah Terpidana atau ahli warisnya. Adalah tidak mungkin secara logis yuridis Terpidana atau ahli waris mengajukan upaya hukum PK terhadap PTMKHT yang meskipun telah terbukti sesuai dakwaan tetapi tidak diikuti oleh pemidanaan, karena dapat dipastikan putusan tsb. Â membebaskan atau melepaskannya.
Â
Siapa  pihak yang dapat mempunyai hak dan kewenangan (legal standing) mengajukan upaya hukum PK terhadap PTMKHT yang apabila suatu perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti oleh pemidanaan ? Tentu tidak mungkin Terpidana atau ahli warisnya. Yang merupakan pihak yang mempunyai kepentingan atau yang bersangkutan dalam perkara aquo adalah Jaksa Penuntut Umum. Beberapa Yurisprodensi Mahkamah Agung[3] menafsirkan pihak yang berkepentingan dalam konteks Pasal 263 ayat (3)  KUHAP adalah Jaksa, bahkan dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHP tersebut ditujukan kepada Jaksa, karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan Terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti pemidanaan terhadap Terdakwa.Â
Â
Pasal 263 KUHAP sama sekali tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum PK, bahkan secara khusus Pasal 263 ayat (3) KUHAP justru memberikan dasar hukum bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan PK terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang meskipun telah terbukti sesuai dakwaan tetapi tidak diikuti oleh pemidanaan,
Â
Demikian juga berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan Hak Asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon PK) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara dilain pihak disamping perseorangan (Terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut adalah sepatutnya Jaksa juga  dapat melakukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK).
Â
Berdasarkan uraian dan argument diatas, maka dalam kontek pelaksanaan system penegakan hukum pidana khususnya dalam perkara korupsi, maka yang mempunyai hak dan kewenangan secara hukum (legal standing) mengajukan Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) adalah:
Â
- Terpidana atau ahli warisnya, dan
- Jaksa atau Jaksa Penuntut Umum.
Â
Syarat-syarat dapat diajukannya upaya hukum Peninjauan Kembali (PK)Â
Â
Pasal 263 ayat (2) KUHP menentukan, bahwa permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar :
Â
- Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
- Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
- Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Â
Ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP juga sejalan dengan Penjelasan Pasal 24 ayat (1) Undang-undang No mor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang  menyebutkan  bahwa yang dimaksud dengan "hal atau keadaan tertentu" antara lain adalah ditemukannya bukti baru  (novum) dan/atau adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya.
Â
Konteks  Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016  tentang Pasal 263 ayat (1) KUHAP
Â
Putusan Mahkamah Konstitusi No.33/PUU-XIV/2016 tgl.12 Mei 2016 Â tentang Pasal 263 ayat (1) KUHAP amarnya berbunyi, sebagai berikut:
Â
Menyatakan: Â Mengabulkan permohonan Pemohon;
Â
1.1. Pasal  263  ayat  (1)  Undang-Undang  Nomor  8 Tahun 1981 tentang Hukum  Acara  Pidana  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun 1981 Nomor  76,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  3209) bertentangan  dengan  UUD  1945  secara  bersyarat,  yaitu  sepanjang  dimaknai  lain  selain  yang  secara  eksplisit  tersurat  dalam  norma a quo;
Â
1.2. Pasal 263 ayat  (1)  Undang-Undang  Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum  Acara  Pidana  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 1981 Nomor  76,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  3209) tidak  mempunyai  kekuatan  hukum  mengikat secara bersyarat,  yaitu  sepanjang  dimaknai  lain  selain  yang secara  eksplisit  tersurat dalam norma a quo;
Â
Amar putusan itu didasarkan atas pertimbangan bahwa rumusan  Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 menurut MK mengandung empat landasan pokok yang  tidak  boleh  dilanggar  dan  ditafsirkan  selain  apa  yang  secara  tegas  tersurat  dalam Pasal dimaksud, yaitu:
Â
- 1.  Peninjauan  Kembali  hanya  dapat  diajukan  terhadap  putusan  yang  telah
- Â Â Â memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak);
- Peninjauan  Kembali  tidak  dapat  diajukan  terhadap  putusan  bebas  atau  lepas  dari segala tuntutan hukum;
- Permohonan  Peninjauan  Kembali  hanya  dapat  diajukan  oleh  terpidana  atau  ahli Â
- Â Â Â warisnya;
- Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan;
Â
Pertanyaannya adalah bagaimana dengan kedudukan Jaksa Penuntut Umum pihak yang mewakili korban dalam konteks upaya hukum PK ini ? atau pertanyaan lain bagaimana kedudukan Jaksa Penuntut Umum dalam konteks Pasal 263 ayat (3) KUHAP ?
Â
Putusan Mahkamah Konstitusi No.33/PUU-XIV/2016 tgl.12 Mei 2016 secara eksplisit jelas hanya menafsir dan memutus tentang Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang memang tidak menyebutkan sama sekali Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang berwenang mengajukan upaya hukum PK dan dipertegas oleh putusan MK aquo, tetapi demikian halnya Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak membahas atau menafsir Pasal 263 ayat (3) KUHAP yang tidak juga menyebutkan pihak mana yang boleh mengajukan upaya hukum luar biasa PK.
Â
Artinya, putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 jelas memang ditujukan sebagai dasar hukum Terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan PK terhadap "putusan yang menghukum" sedangkan terhadap putusan bebas/lepas Terpidana tidak bisa mengajukan PK. Demikian juga artinya MK tidak pernah melarang Jaksa penuntut Umum mengajukan upaya hukum luar biasa PK dalam konteks Pasal 263 ayat (3) KUHAP. Ada sebagian praktisi dan akademisi menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (3) KUHAP adalah bagian tak terpisahkan dari Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang melarang terhadap "putusan lepas" untuk diajukan upaya hukum PK, namun pertanyaannya jika memang Pasal 263 ayat (3) itu bagian dari Pasal 263 ayat (1) KUHAP pertanyaannya mengapa pembuat undang-undang mengecualikan dan mendudukannya sendiri Pasal 263 ayat (3) KUHAP sebagai landasan mengajukan upaya PK terhadap putusan yang terbukti tapi tidak ada pemidanaan.Â
Â
Pasal 263 ayat (3) KUHAP berbunyi : "Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan."
Â
Dari ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP ini dapat ditarik beberapa prinsip yang menjadi landasan pokok :
Â
1.  Peninjauan  Kembali  hanya  dapat  diajukan  terhadap  putusan  yang  telah memperoleh    kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak);
Â
2. Peninjauan  Kembali  dapat  diajukan  terhadap  putusan  dimana perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan
Â
3. Permohonan  Peninjauan  Kembali  terbuka diajukan oleh para pihak;
Â
4. Peninjauan Kembali dapat juga diajukan terhadap putusan yang tidak menghukum.
Â
Siapa para pihak yang dapat mengajukan upaya hukum luar biasa PK berdasar Pasal 263 ayat (3) KUHAP ini, tentu saja dikembalikan pada para pihak yang bersangkutan atau yang mempunyai kepentingan dalam perkara aquo. Dalam konteks ini Pasal 24 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga memberikan landasan hukum : "Terhadap  putusan  pengadilan  yang  telah  memperoleh kekuatan  hukum  tetap,  pihak-pihak  yang  bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada MahkamahAgung,  apabila  terdapat  hal  atau  keadaan  tertentu  yang ditentukan dalam undang-undang. Dan "pihak-pihak yang bersangkutan" dalam sebuah perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (putusan Pengadilan Negeri yang tidak dilakukan upaya hukum banding, putusan Pengadilan Tinggi /Banding yang tidak dilakukan upaya hukum Kasasi dan Putusan Kasasi MA) adalah terpidana dan korban yang dalam hal ini diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum.
Â
Dengan demikian pihak yang bersangkutan yang paling berkepentingan dalam upaya hukum luar biasa PK berdasarkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adalah korban yang atas nama kepentingan umum diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum, dan tidak mungkin Terpidana atau ahli warisnya mengajukan PK terhadap putusan tanpa pemidanaan. Oleh karenanya  Pasal 263 ayat (1) dan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adalah pengejawantahan asas keseimbangan antara penghormatan terhadap Hak asasi Manusia (HAM Terpidana) dengan penegakan hukum sebagai kepentingan umum (korban) yang juga harus dihormati. Ini juga bisa disebut sebagai pelaksanaan asas "audi et alterum partem" memberi kesempatan yang sama pada para pihak untuk mengajukan argumennya.
Â
Â
Bentuk : putusan yang memuat  suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan (Pasal 263 ayat (3) KUHAP).
Â
Dalam perspektif yuridis dijatuhkannya pemidanaa terhadap seseorang didasarkan pada empat hal: pertama, pelaku telah melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman pidana oleh peraturan perundangan. Kedua; terbukti ada kesalahannya, baik berupa kelalaian maupun kesengajaan, ketiga; pelaku dapat dipertanggung jawabkan jiwanya, bukan anak-anak atau terganggu kesadarannya, dan keempat; tidak ada alasan pemaaf. Â Jadi sangat mungkin meskipun sudah terbukti seorang pelaku melakukan tindak pidana, demikian juga terbukti kesalahannya baik karena disengaja maupun karena kelalaian dan dapat dipertanggung jawabkan jiwanya, dalam putusan tidak ada pemidanaan karena adanya alasan pemaaf.
Â
Alasan pemaaf itu antara lain; karena pengaruh daya paksa (Psl 48 KUHP), karena pembelaan terpaksa yang melampauai batas (Psl 49 KUHP), karena melaksanakan ketentuan undang-undang (Psl 50 KUHP) dan karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang (Psl 51 KUHP). Disamping itu alasan pemaaf juga dapat lahir dari "hilangnya" sifat melawan hukum formil maupun materiil sebuah aturan, adanya izin dari pemilik bagi tindak pidana perusakan. Demikian juga alasan pemaaf juga bisa lahir karena alasan profesi (sebagai contoh imunitas bagi profesi advokat yang tidak dapat dituntut dalam melaksanakan profesinya dengan itikad baik). Â
Â
Â
Â
Dari perspektif sosiologis: putusan yang memuat  suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan (Pasal 263 ayat (3) KUHAP) dapa berbentuk putusan-putusan yang didalamnya mengandung judisial corruption, putusan yang didalamnya menggambarkan ada pemihakan (partiality), putusan yang mengandung kekeliruan dan/atau kekhilafan.Â
Â
Salah satu bentuk putusannya adalah putusan yang pada tingkat pertama di pengadilan negeri menghukum, pada taingkat banding di pengadilan tinggi menghukum dan pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung justru melepaskan (onslag) karena ada tiga pendapat berbeda dari ketiga hakim Kasasi. Hakim Ketua memutus "perbuatan pidana" terdakwa terbukti, hakim anggota pertama memutus itu perbuatan perdata dan hakim anggota ketiga memutus sebagai perbuatan administrasi. Putusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak (voting) menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa terbukti tetapi bukan merupakan perbuatan pidana.
Â
Pada suatu ketika mendapat kesempatan mem"profil assessment" bidang hukum seorang calon hakim agung yang kebetulan jabatan strukturalnya di bidang pengawasan, info gambaran tentang profil hakim yang berintegritas atau tidak dapat dilihat dari beberapa indicator dalam putusan-putusannya, antara lain:
Â
Posisi kasus
Pertimbangan hukum
Amar putusan
Profil Hakim
  A
      A
    A
Berintegritas / hakim putih
  A
      A
    A.1
Kompromis / hakim abu-abu
  A
      B
    C
Tidak berintegritas/ hakim hitam
Â
Â
Dari gambaran indicator putusan tersebut sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk mendeteksi integritas dan profil seorang hakim, meskipun kebebasan seorang hakim (independency judiciary) sesuatu yang melekat mutlak pada profesi ini yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun dalam konteks kebebasan menafsir, namun tetap ada koridor logis yuridis seharusnya  menjadi acuan mutlak. Dalam diksi yuridis putusan-putusan seperti ini dapat digolongkan sebagai putusan yang mengandung kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Â
Kekuatan mengikat Putusan MK bagi peradilan dalam lingkup MAÂ
Â
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat menjadikan lembaga ini sangat vital peranya dalam negara. Keputusan yang dikeluarkan Makamah Konstitusi akan mempunyai kekuatan hukum yang langsung mengikat.
Â
Namun demikian tidak semua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dipatuhi, meski sebagian besar menjadi perubahan hukum yang disesuaikan dengan substansi putusan  MK. Ada beberapa putusan yang oleh dunia peradilan spertinya tidak dihiraukan, diantaranya putusan MK tentang unsur "melawan hukum bersifat materiil" dalam Undang-undang tindak pidana korupsi dimana sifat "melawan hukum" itu harus formil yaitu melawan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar asas kepastian hukumnya terpenuhi. Akan tetapi dalam praktek peradilan piidana ada sejumlah banyak putusan-putusan tindak pidana korupsi yang mengurai dan menafsir unsur melawan hukum itu sebagai "melawan hukum materiil" melanggar kepatutan, kewajaran dan kesusilaan baik.
Â
Demikian juga putusan MK tentang peninjauan kembali yang dapat diajukan berkali-kali, secara terbuka Mahkamah Agung membuat Surat Edaran (SEMA) yang menyatakan bahwa upaya hukum luar biasa peninjauan kembali dalam perkara pidana hanya dapat dilakukan satu kali saja dalam rangka mencapai kepastian hukum dalam perkara pidana. Saya kira ada banyak lagi putusan-putusan MK yang tidak diikuti bahkan dalam hal tertentu sulit untuk dieksekusi.
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H