Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Julijanto, S. Ag., M. Ag
Mata Kuliah: Sosiologi HukumÂ
Review Buku
Judul Buku: Konsep Dasar Sosiologi HukumÂ
Penulis: Hamzarief SantariaÂ
Penerbit: Setara PressÂ
Tahun Terbit: 2019
Tebal Buku: 174 halamanÂ
ISBN: 978-602-6344-85-4
Reviewer: Feri NurwahyudiÂ
Buku yang berjudul "Konsep Dasar Sosiologi Hukum" karya Hamzarief Santaria merupakan tulisan seorang sarjana hukum, yang memiliki latar belakang dan pola pikir khas seorang yuris yang telah memiliki pengetahuan tentang bermacam-macam teori ilmu hukum. Buku ini lebih banyak menyajikan tema-tema penting dalam pembahasan sosiologi hukum. Lebih dari itu, penyajian buku ini mengikuti perkembangan paling mutakhir mengenai sosiologi hukum; mencakup isi (content) seperti pembahasan hukum dan struktur sosial, hukum dan perubahan sosial, hukum sebagai kenyataan sosial, fungsi dan tujuan hukum di dalam masyarakat, tipe-tipe hukum di dalam masyarakat, efektivitas hukum di dalam masyarakat, konflik dan penyelesaiannya.
Dalam kaitannya dengan sosiologi hukum, sebagai objek studi kita kali ini, penulis (Hamzarief Santaria) akan mengkaji hukum dengan menggunakan pendekatan empiris, yakni berdasarkan kenyataan yang ada dalam masyarakat atau hukum dalam konteks suatu peristiwa konkret (dassein). Oleh karena itu, dalam buku ini anda tidak akan menemukan uraian secara khusus tentang norma-norma atau peraturan-peraturan hukum tertentu sebagaimana lazim kita temukan dalam studi hukum juridis-dogmatik dengan pendekatan normatifnya, begitu pula dengan kajian-kajian yang sifatnya filsafati.
BAB I: Hukum Dan Struktur Sosial
A. Pengertian Struktur Sosial
Secara sederhana, struktur sosial dapat kita definisikan sebagai kesatuan yang terdiri dari berbagai macam unsur-unsur pokok pembentuk masyarakat, yang meliputi kaidah sosial, kelompok sosial, lembaga sosial, stratifikasi sosial, dan kekuasaan atau wewenang. Untuk lebih memantapkan pemahaman tentang pengertian struktur sosial, berikut beberapa pengertian menurut para ahli:
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, struktur sosial merupakan keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, serta lapisan-lapisan sosial
Menurut Soerjono Soekanto, struktur sosial merupakan jaringan dari unsur-unsur sosial yang pokok, yakni; kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial dan kekuasaan atau wewenang.
Menurut William Kornblum, struktur sosial adalah susunan yang dapat terjadi karena adanya pengulangan pola perilaku undividu.
Menurut E.R. Lanch, struktur sosial adalah cita-cita tentang distribusi kekuasaan diantara individu dan kelompok sosial.
Dari pengertian di atas dapat diibaratkan bahwa strukur sosial merupakan sebuah bangunan yang terjalin dari berbagai unsur-unsur pokok.
B. Sifat Struktur Sosial
Berdasarkan pengertian di atas pula maka dapat disimpulkan tiga hal yang menjadi ciri-ciri atau sifat struktur sosial. Pertama bersifat abstrak, dimana dalam pengertian ini struktur sosial tidak dapat dirasakan secara indrawi. Kedua, struktur sosial bersifat dinamis, yakni selalu mengalami perubahan sesuai dengan kondisi dan zamannya. Ketiga adalah bahwa struktur sosial memiliki dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal maksudnya bahwa dalam masyarakat terdapat hubungan hierarki, seperti hubungan atasan dan bawahan, sedangkan dimensi horizontal adalah bahwa hubungan antara individu dalam masyarakat tidak didasarkan pada hierarki; contohnya suku, agama, ras, dan jenis kelamin.
C. Fungsi Struktur Sosial
Secara umum, struktur sosial memiliki tiga fungsi, yakni fungsi identitas, fungsi kontrol, dan fungsi pembelajaran. Berikut penjelasan tentang ketiga fungsi struktur sosial tersebut.
Fungsi identitas, maksudnya adalah bahwa struktur sosial menjadi penegas identitas atau ciri khas suatu kelompo
Fungsi kontrol atau pengawasan memiliki makna bahwa struktur sosial dapat mengontrol individu yang berada dalam struktur tersebut.
Fungsi pembelajaran maksudnya bahwa individu dalam masyarakat dapat belajar dari struktur sosial yang ada dalam kelompoknya.
BAB II: Hukum Dan Perubahan Sosial
A. Pengertian Perubahan Sosial
 Ada beberapa pengertian perubahan sosial dari pendapat beberapa pakar yaitu antara lain sebagai berikut:
1. William F. Ogburg dan Meyer F. Nimkof: Ruang lingkup perubahan-perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan baik materiil maupun immateriil, terutama menekankan pengaruh besar dari unsur- unsur kebudayaan materiil terhadap unsur-unsur immateriil.
2. Kingsley Davis: Perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masya rakat. Misalnya timbulnya pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis, menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan antara buruh dengan majikan yang kemudian menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi ekonomi dan politik.
3. R.M. Mac Iver dan Charles H. Page: Perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial tersebut.
4. Roucek dan Warren: Perubahan dalam proses sosial atau dalam struktur masyarakat.
5. Ogburn dan Nimkoff: Ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan, baik yang material maupun yang immaterial, dan yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur pengaruh besar kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.
6. Selo Soemardjian: Segala perubahan pada lembaga-lembaga kermasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Perubahan-perubahan mana, kemudian memengaruhi segi-segi lain dari struktur masyarakat yang bersangkutan.
7. Soerjono Dirdjosiswojo: Sebagai perubahan fundamental yang terjadi dalam struktur sosial, sistem sosial, dan organisasi sosial.
B. Teori Perubahan Sosial
 Beberapa teori yang berkaitan dengan perubahan sosial dikemukakan oleh Bruce J. Cohen. Beliau menyatakan bahwa terdapat empat teori yang berhubungan dengan perubahan sosial, yaitu:
1. Teori Evolusioner. Para teoritikus evolusioner beranggapan bahwa masyarakat sebagai perkembangan dari bentuk yang sederhana menjadi bentuk-bentuk yang lebih kompleks. Mereka meyakini bahwa masyarakat-masyarakat yang berada pada tahap-tahap pembangunan lebih maju akan lebih progresif dari pada masyarakat-masyarakat lainnya.
2. Teori Siklus atau Cylical Theories. Teori ini berpendapat bahwa masyarakat senantiasa berputar melewati tahap-tahap yang berbeda. Namun tidak seperti teori evolusioner yang mengatakan tahap-tahap teresebut terus bergerak tetapi lebih bersifat berulang-ulang.
3. Teori Keseimbangan. Menurut teori ini, masyarakat terdiri dari sejumlah bagian- yang saling bergantung satu sama lain dan setiap bagian tersebut berperan dalam menciptakan keefektifan di dalam masyarakat. Teori ini beranggapan bahwa apabila terjadi perubahan sosial yang berpotensi mengganggu salah satu dari bagian-bagian tersebut akan menggoyahkan masyarakat. Di dalam masyarakat yang tersebut selanjutnya akan muncul perubahan-perubahan tambahan pada bidang yang lain. Hal ini akan mengembalikan masyarakat ke dalam keseimbangan.Â
4. Teori Konflik. Inti dari teori ini adalah anggapannya bahwa masyarakat adalah mass of group yang selalu berkonflik satu dengan yang lainnya. Konflik terjadi karena adanya persaingan di antara kelompok-kelompok yang bersangkutan dalam menguasai barang dan sumber daya yang ada. Kondisi yang terus berkonflik tersebut selanjutnya akan mendorong terjadinya perubahan sosial.
C. Faktor-faktor Perubahan Sosial
 Umumnya, perubahan sosial tersebut dipicu oleh faktor-faktor umum seperti: kebudayaan, penduduk, pendidikan dan lain sebagainya. Pengklasifikasian faktor-faktor tersebut juga dikemukakan oleh Soerjono Seokanto, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang bersumber dari masyarakat itu sendiri adalah:
a. bertambah atau berkurangnya penduduk
b. penemuan-penemuan baru
c. pertentangan-pertentangan dalam masyarakat;
d. terjadinya pembrontakan atau revolusi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri.
2. Faktor-faktor yang bersumber dari luar masyarakat adalah:
a. sebab-sebab yang berasal dari lingkungan fisik yang ada di sekitar manusia;
b. peperangan dengan negara lain;
c. pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Di samping faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya perubahan sosial tersebut di atas, Soerjono Soekanto juga merangkum beberapa faktor yang dapat menjadi hambatan untuk terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut yaitu sebagai berikut:
a).kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain;
b).perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat;
c).sikap masyarakat yang tradisionalistis;
d).adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali atau vested interest;
e).rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan;
f).prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing
g).hambatan ideologis;
h).kebiasaan;
i).nilai pasrah.
BAB III: Hukum Sebagai Kenyataan Sosial
Salah satu hal pokok di dalam membicarakan hukum sebagai kenyataan sosial adalah bahwa hukum itu tidak otonom. Ini sekaligus menjadi pembeda dari pandangan kaum dogmatis yang melihat hukum sebagai kaidah normatif yang mandiri. Yuris yang beraliran sosiologis melihat hukum sebagai kenyatan dalam masyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh timbal balik dengan unsur-unsur nonhukum seperti ekonomi, politik, kultur, ketertiban, dan agama.
Kajian sosiologi hukum, bagaimana pun tidak dapat dilepaskan dari pembahasaan tentang unsur-unsur nonhukum tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa kajian ini sifatnya antardisiplin. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo", "Sekarang, hukum tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang otonom dan independen, melainkan dipahami secara fungsional dan dilihat senantiasa berada dalam kaitan interdependen dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat."
Pentingnya mempelajari unsur-unsur nonhukum tersebut dipicu oleh perkembangan dan perubahan yang belakangan semakin terasa di dalam masyarakat. Perkembangan zaman telah memaksa para yuris untuk lebih kreatif menciptakan metode baru dalam mempelajari hukum tersebut dan tidak hanya mengkaji hukum dari sudut normatifnya belaka. Para yuris dituntut untuk memperhatikan unsur-unsur di luar dari pada hukum itu sendiri sehingga dapat membuat ide dan konsep-konsep hukum yang selaras dengan kenyataan dalam masyarakat.
BAB IV: Fungsi Dan Tujuan Hukum Di Dalam Masyarakat
A. Fungsi Hukum
Joseph Raz mengemukakan bahwa terdapat dua jenis fungsi hukum, yakni fungsi hukum langsung dan fungsi hukum tidak langsung. Fungsi hukum langsung tersebut kemudian dikelompokkan menjadi dua, yaitu; yang bersifat primer dan yang bersifat sekunder. Termasuk bersifat yang sekunder antara lain pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong dilakukannya perbuatan tertentu. Sedangkan yang bersifat sekunder antara lain; prosedur bagi perubahan hukum dan pelaksanaan hukum.
Fungsi hukum tidak langsung, menurut Raz, adalah memperkuat atau memperlemah kecenderungan untuk menghargai nilai-nilai moral tertentu, seperti kesucian hidup, memperkuat atau memperlemah penghargaan terhadap otoritas tertentu di dalam masyarakat dan memengaruhi perasaan kesatuan nasional.
Selain fungsi hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Joseph Raz di atas, terdapat lima fungsi lainnya yang secara umum diajarkan dalam ilmu hukum. Kelima fungsi tersebut yakni; a tool of social control, a tool of social engineering, symbol, political instrument dan integrator.
a tool of social control
Hukum sebagai sarana pengendalian sosial, secara umum dapat diartikan bahwa hukum berperan dalam mengendalikan masyarakat adar di dalam pergaulannya tidak menyimpang dari kaidah-kaidah hukum yang telah ditetapkan.
a tool of social engineering
Hukum sebagai sarana rekayasa sosial merupakan instrument bagi pelaksana hukum yang digunakan untuk merubah perilaku masyarakat seperti yang ditetapkan dan diinginkan oleh hukum.
Symbol
Fungsi hukum sebagai simbol adalah memberi istilah sederhana terhadap peristiwa-peristiwa tertentu di dalam masyarakat sehingga dapat dimengerti secara konkrit dan menyeluruh.
political instrument dan integrator
Fungsi hukum sebagai alat politik yakni hukum yang mengendalikan negara dan hukum yang dikendalikan oleh negara. Sedangkan fungsi hukum sebagai sarana pengintegrasian untuk menyelesaikan konflik dan sengketa.
B. Tujuan Hukum
Untuk merumuskan tujuan hukum, terdapat dua ajaran utama yakni; ajanan konvensionaldan ajaran modern. Ajaran konvensional meliputi ajaran etis, ajaran utilistis, dan ajaran normatif-dogmatik. Sedangkan ajaran modern meliputi ajaran prioritas baku dan ajaran prioritas baku kasuistis. Berikut tujuan hukum berdasarkan ajaran-ajaran tersebut.
1. Ajaran Konvensional
Secara umum, ajaran ini mengajarkan tujuan hukum sebagaimana yang lazim dipahami di dalam masyarakat yaitu, Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian Aukum. Ketiga tujuan hukum tersebut masing-masing didasarkan pada ajaran etis, ajaran utilistis dan ajaran normatif-dogmatik
a).Ajaran Etis
Hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan di dalam masyarakat merupakan inti dari ajaran etis terkait dengan tujuan hukum.
b).Ajaran Utilistis
Penganut ajaran ini meyakini bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah memberi manfaat sebesar-besarnya kepada sebanyak-banyaknya manusia. Inti ajaran ini dapat disimpulkan dari doktrin Bentham yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mewujudkan the greatest happiness of the greatest number (kebahagian yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang).
c).Ajaran Normatif-Dogmatik
Ajaran ini menganggap bahwa hukum tidak lain bertujuan untuk mem- berikan kepastian hukum di dalam masyarakat. Penganut ajaran ini tidak mem- persoalkan apakah sebuah keputusan hukum itu adil atau tidak dan bermanfaa atau tidak bagi masyarakat. Menegakkan hukum sebagaimana yang diinginkar oleh undang-undang adalah misi utama dari ajaran ini. Singkatnya, untuk mewujudkan kepastian hukum tidak boleh ada tawar menawar terkait dengan keadilan atau manfaat dari penerapan hukum tersebut.
2. Ajaran ModernÂ
Ajaran modern dibedakan atas prioritas baku dan prioritas kasuistis. Ajaran ini pada dasarnya menerima ketiga tujuan hukum yang dimaksudkan oleh ajaran konvensional yakni keadilan, manfaat, dan kepastian. Bedanya adalah adanya skala prioritas terhadap ketiga tujuan hukum tersebut ketika harus diterapkan.
a).Ajaran Prioritas BakuÂ
Ajaran priotitas baku diperkenalkan oleh Gustav Radbruch, seorang filsuf Jerman. Beliau mengajarkan bahwa ketiga tujuan hukum sebagaimana diajarkan di dalam ajaran konvensional yakni keadilan, manfaat, dan kepastian secara bersama merupakan tujuan hukum yang dapat diterima, namun dalam penerapannya ketiga tujuan tersebut memiliki prioritas yang berbeda. Secara berurutan prioritas tersebut yaitu: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
Keadilan merupakan hal pertama yang harus dipertimbangkan dalam menegakkan hukum. Ketika hakim harus memilih antara keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam memutuskan suatu perkara, maka pilihan pertamanya adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir adalah kepastian hukum.
b).Ajaran Prioritas Kasuistis
Ajaran prioritas baku jauh lebih baik dibandingkan dengan ajaran konvensional, bahkan ajaran ini dianggap telah sangat maju dan arif. Akan tetapi, perkembangan kehidupan perlahan-lahan memperlihatkan kelemahan ajaran tersebut. Di kehidupan modern dengan segala kompleksitasnya, adakalanya prioritas-prioritas yang telah dibakukan tersebut justru bertentangan dengan kebutuhan hukum dari kasus-kasus tertentu.
Terkadang, sebuah kasus menuntut keadilan sebagai pertimbangan utamanya sehingga harus lebih diprioritaskan dari pada kemanfaatan dan kepastian. Terkadang pula, justru pertimbangan kemanfaatanlah yang harus didahulukan, sehingga keadilan dan kepastian menjadi prioritas selanjutnya. Bahkan, kepastian yang merupakan prioritas terakhir dari ajaran prioritas baku dapat menjadi yang paling mendesak untuk dipenuhi sehingga menempatkannya sebagai prioritas utama sebelum keadilan dan kemanfaatan. Situasi seperti ini merupakan alasan munculnya ajaran yang paling maju yakni ajaran prioritas kasuistis.
BAB V: Tipe-Tipe Hukum Di Dalam Masyarakat
Pembahasan mengenai tipe-tipe hukum di dalam masyarakat adalah salah satu hal pokok yang dipersoalkan oleh sosiologi hukum. Sub-bahasan ini akan menjelaskan beberapa tipe hukum yang diperkenalkan oleh ahli hukum seperti Nonet & Selznick, Gunter Teubner, Satjipto Rahardjo, Soetandyo Wignjosoebroto, Romli Atmasasmita, Hans Kelsen, dan John Austin. Masing- masing dari tipe-tipe hukum tersebut memperlihatkan karakteristik-karakteristik tertentu yang ada pada hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
Tipe hukum menurut Nonet & Selznick
Dalam bukunya yang berjudul Law and Society in Transition: toward Responsive law, Nonet & Selznick memperkenalkan tiga tipe hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Ketiga tipe hukum tersebut adalah hukum represif (progressive law), hukum otonom (autonomous law), hukum responsif (responsive law). Menurutnya tipe-tipe hukum tersebut merupakan tahapan-tahapan evolusi dari satu tipe ke tipe yang lainnya. Tahapan- tahapan evolusi tersebut selanjutnya disebut sebagai model perkembangan (developmental model). Ketiga tahapan evolusi hukum itu diuraikan oleh Teubner yaitu sebagai berikut:
1) Hukum represif merupakan pelayan kekuasaan represif.
2) Hukum otonom merupakan institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya.
3) Hukum responsif merupakan fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial.
Tipe hukum menurut Satjipto Rahardjo
Dalam kaitannya dengan pembahasan ini, beliau memperkenalkan salah satu tipe hukum yakni hukum progresif. Hukum progresif secara sederhana dapat diartikan sebagai serangkaian tindakan radikal yang dapat mengubah sistem hukum. Termasuk juga mengubah peraturan-peraturan yang ada pada hukum jika diperlukan. Tujuannya yaitu agar peraturan hukum dapat lebih berguna atau bermanfaat terutama untuk mengangkat harga diri dan juga menjamin kebahagiaan.
Satjipto Rahardjo sendiri menjelaskan pengertian hukum progresif itu melalui sebuah tulisannya bahwa hukum progresif adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praktik hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa hukum untuk manusia dan bukan untuk sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, yaitu untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.
Tipe Hukum Menurut Romli Atmasasmita
Tipe hukum yang beraliran sosiologis selanjutnya diperkenalkan oleh Romli Atmasasmita yakni hukum integratif. Syamsuddin Pasamai menuliskan bahwa hukum integratif tersebut merupakan gabungan dari teori hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja dan teori hukum progresif yang telah kita bicarakan di atas. Hukum integratif tersebut memandang perlunya mengharmoniskan tiga hakikat hukum yakni norma (system of norm), perilaku (system of behavior), dan nilai (system of value). Sitem norma merujuk pada hukum pembangunan dan sistem perilaku merujuk pada hukum progresif.
Tipe Hukum Menurut Gunther Teubner
Tipe hukum selanjutnya dikemukakan oleh Gunter Teubner. Beliau memperkenalkan hukum refleksif, sebagai respons dan kelanjutan dari tipis refleksi hukum Nonet & Selznick. Beate Sjafjell & Benjamin J. Richardson mengatakan bahwa hukum refleksif dari Teubner merupakan salah satu dari sistem yang tidak mencari arah kebijakan koersif tetapi membatasi dirinya pada peraturan organisasi, prosedur, dan redistribusi kompetensi.
Teubner melandaskan teori hukum refleksifnya atas keyakinanannya bahwa hukum belum mampu menjalankan fungsinya sebagai salah satu instrumen utama dari negara kesejahteraan, dimana ia mengemban tugas yang sangat besar yakni mengatur secara langsung bidang sosial yang luas dan beragam dan harus memadukan secara masif badan-badan sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan ke dalam sistem hukum.
Tipe Hukum Menurut Soetandyo Wignjosoebroto
Soetandyo Wignjosoebroto adalah salah seorang begawan Indonesia yang paling terkemuka di bidang sosiologi hukum. Berbeda dengan ilmuwan yang lain, Soetandyo melakukan kajian sosiologi hukum dari perspektif ilmu sosial atau sosiologi. Artinya, sosiologi hukum menurutnya adalah bagian dari ilmu sosial sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ilmu sosial bukan pendekatan ilmu hukum.
Soetandyo mengemukakan beberapa karakter yang menjadi ciri khasnya. Pertama, hukum harus tertulis. Keharusan ini diperlukan untuk melegitimasi hukum sebagai hal yang formal atau resmi sehingga dapat ditegakkan secara formal oleh aparat penegak hukum nasional. Kedua, undang-undang, dalam hal ini hukum tertulis harus diterima sebagai norma tertinggi di dalam masyarakat. Terhadap karakter ini, doktrin supremasi hukum harus dikemukakan sehingga norma-norma sosial yang lain harus berada di bawah norma hukum. Ketiga, hukum adalah hasil karya manusia peru berada danya melekat karakter tertentu, yakni karakter "historiasangan nasional lahir dan dilatarbelakangi oleh sejarah tertentu termasuk perkembangangaruhan masyarakat yang terus berubah sehingga kemampuan hukum untuk memberi kepastian pada masyarakat dari masa ke masa justru menjadi tidak pasti. Artinya, mana hukum juga tidak lepas dari karakter relativitas. Keempat, hukum harus ditegakkan kaji hu oleh aparat penegak hukum yang bekerja secara profesional. Profesionalisme penegak hukum ditunjukkan dengan tindakan mereka yang senantiasa dikontrol oleh norma-norma yang dirumuskan dalam kode etik profesi hukum. Profesionlisme penegak hukum dalam menjalankan tugasnya berbanding lurus dengan meningkatnya wibawa hukum di mata masyarakat sehingga pada akhirnya memudahkan untuk terwujudnya supremasi hukum.
Tipe Hukum Menurut Hans Kelsen
Hans Kelsen adalah tokoh positivisme hukum yang paling utama. Pandangan Hans Kelsen yang kontradiktif dengan tokoh-tokoh beraliran sosiologis adalah bahwa hukum itu tidak dipengaruhi oleh unsur-unsur nonhukum seperti sejarah, moral, sosiologis, dan politik. Bagi Kelsen, pembicaraan tentang keadilan substantif sebagaimana selalu dipersoalkan kaum sosiologis adalah irasional. Oleh karena itu, hukum menurutnya tidak lain dari pada hukum tertulis yang dibuat oleh negara.
Tipe Hukum Menurut John Austin
Sementara itu, John Austin memiliki cara pandang yang hampir sama dengan Hans Kelsen terhadap hukum. Bagi Austin, hukum tidak lain adalah perintah pihak yang berdaulat, dalam hal ini negara. Hukum ada dalam wujudnya yang positif berupa norma-norma atau perundang-undangan yang dibuat oleh negara dan bebas dari pengaruh-pengaruh nonhukum sebagaimana juga diyakini oleh Hans Kelsen. Pemikiran hukum Austin dikenal sebagai analytical jurisprudence, yang inti ajarannya yaitu hukum merupakan perintah dari penguasa. Perintah tersebut disertai dengan sanksi, dan penguasa adalah pihak yang dipatuhi karena kebiasaan.
BAB VI: Efektivitas Hukum Di Dalam Masyarakat
Lawrence M. Friedman mengatakan bahwa terdapat tiga unsur pokok dari sistem hukum yakni Struktur Hukum (legal structure), Substansi Hukum (legal substance), dan Kultur Hukum (legal culture). Ketiga struktur hukum efektivit ini merupakan elemen yang sangat menentukan dalam mewujudkan hukum yang efektif. Artinya, apabila ketiga unsur ini bekerja dengan baik di dalam masyarakat maka pelaksanaan hukum akan berjalan dengan baik pula.
Konflik Dan Penyelesainnya
Di dalam pergaulan masyarakat, baik masyarakat sederhana ataupun masyarakat modern, fenomena konflik adalah sesuatu hal yang niscaya. Artinya masyarakat dimana pun tidak akan pernah sepenuhnya terhindar dari konflik. Interaksi yang terjalin antara individu-individu di dalam masyarakat pada dasarnya selalu berpotensi untuk memunculkan konflik. Oleh karena itu diperlukan sebuah aturan main (rule of game) yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat di dalam pergaulan keseharian mereka. Rule of game tersebut tidak lain adalah hukum. Dalam hal ini hukum berperan tidak hanya sebagai acuan berprilaku di dalam pergaulan sosial tetapi juga berfungsi sebagai sarana integrator bagi individu-individu yang terlibat di dalam konflik tertentu.
BAB VII: Konflik dan Penyelesaiannya
A. Pengertian Konflik
 Konflik dalam bahasa Latin disebut comfligere yakni berasal dari dua kata fligere dan com. Kata pertama berarti 'menyerang' dan kata kedua berarti 'bersama-sama'. Compligere juga dapat bermakna clash atau pertentangan. Dari perspektif keilmuan, konflik dapat diartikan sebagai pertentangan keinginan antara satu individu atau masyarakat dengan individu atau masyarakat lainnya.
B. Jenis dan Tipe-tipe Konflik
 Beberapa jenis dan tipe-tipe konflik sebagaimana dikemu kakan oleh pakar ilmu sosiologi. Soerjono Soekanto membedakan dua jenis konflik yaitu sebagai berikut:
Dimensi vertikal atau "konflik atas". Konflik ini terjadi antara elit dan massa (masyarakat). Elit di sini bisa para pengambil kebijaksanaan di tingkat pusat (pemerintahan) bisa pula kelompok bisnis atau aparat militer. Hal yang menonjol dalam konflik ini adalah digunakannya instrument kekerasan negara, sehingga timbul korban di kalangan massa (rakyat);
Konflik horizontal, yakni konflik yang terjadi di kalangan massa (rakyat) itu sendiri seperti konflik antaragama, khususnya antara kelompok agama Islam dan kelompok agama Nasrani (Protestan dan Katolik) selain itu konflik antarsuku.
Sedangkan tipe-tipe konflik oleh Fisher, sebagaimana diuraikan oleh Syamsuddin Pasamai, dapat dibedakan ke dalam empat tipe berikut:
1. Tanpa konflik; menggambarkan situasi yang relatif stabil, hubungan- hubungan antarkelompok bisa saling memenuhi dan damai. Tipe ini bukan berarti tidak ada konflik berarti di dalam masyarakat, akan tetapi ada beberapa kemungkinan atas situasi ini. Pertama, masyarakat mampu menciptakan struktur sosial yang bersifat mencegah ke arah konflik kekerasan. Kedua, sifat budaya yang memungkinkan anggota masyarakat menjauhi permusuhan dan kekerasan.
2. Konflik Laten, suatu keadaan yang di dalamnya terdapat banyak persoalan. sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan agar bisa dimengerti.
3. Konflik terbuka, situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
4. Konflik permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat di atasi dengan meningkatkan komunikasi (dialog terbuka).
C. Penyelesaian Konflik
 Secara umum, konflik yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan dua cara yakni; secara litigasidan non-litigasi. Penyelesaian secara litigasi yakni penyelesaian konflik yang melibatkan pengadilan dan aparat penegak hukum melalui sebuah mekanisme tertentu yang disebut sebagai mekanisme hukum acara. Sedangkan penyelesaian konflik secara non-litigasi yakni penyelesaian konflik di luar jalur pengadilan atau juga disebut sebagai alternative dispute resolution. Kedua bentuk penyelesain konflik tersebut pada dasarnya menjadikan hukum sebagai patokan mekanismenya. Oleh karena itu hukum memiliki fungsi yang sangat krusial dalam penyelaian konflik, baik secara litigasi maupun secara non-litigasi
Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan mengenai Konsep Dasar Sosiologi Hukum, dapat ditarik kesimpulan bahwasannya sosiologi hukum menekankan bahwa, hukum tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks sosialnya. Ia menganalisis bagaimana hukum berinteraksi dengan berbagai aspek kehidupan sosial, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh dinamika masyarakat. Pendekatan ini penting untuk memahami peran hukum dalam mewujudkan keadilan dan keteraturan sosial.
Sosiologi hukum juga menekankan pentingnya memahami hukum dalam konteks sosial yang lebih luas, mengakui kompleksitas interaksi antara hukum dan masyarakat, serta pentingnya mempertimbangkan faktor-faktor sosial dalam pembentukan dan penerapan hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H