A. Pengertian Al-hadist, As-sunnah, Atsar, dan Hadist Qudsi
1. Pengertian Al-hadist
Kata hadis atau al hadis menurut bahasa, berarti al- jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata Hadis juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya ialah al- ahadis. Secara Istilah para Ahli Hadis berbeda beda pendapatnya dalam mendefenisikan al-hadis, ada yang mendefenisikan secara terbatas da nada yang mendefenisikannya secara luas.
 Defenisi hadis secara terbatas, sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur muhaddtsin, ialah:
"Ialah sesuatu yang dasandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir) dan sebagainya.
Defenisi ini mengandung empat macam unsur, yakni perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir) dan sifat-sifat atau keadaan-keadan Nabi Muhammad saw yang lain yang semuanya hanya disandarkan kepada beliau saja, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin.
a. Perkataan (Qaul)
   Yang dimaksud dengan perkataan (qauli) Nabi Muhammad saw. Ialah segala bentuk perkataan atau ucapan yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang yang berisi tuntutan dan petunjuk syara', peristiwa-peristiwa, dan kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, akhlaq, syari'ah, pendididikan dan sebagainya. Contoh perkataan beliau yang mengandung hukum syari'at, misalnya sabda beliau:
Â
"Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa vang ia niatkan." (HR. Bukhari-Muslim).
Â
Hukum yang terkandung di dalam sabda nabi tersebut ialah kewajiban niat dalam segala amal perbuatanuntuk mendapat pengakuan sah dari syara"Â
b. Perbuatan
   Yang dimaksud dengan perbuatan (Fi'li), adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Saw. Yang merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari'atyang belum jelas cara pelaksanaannya.
Di antara contoh perbuatan Nabi ialah sebuah hadis tentang cara salat nabi di atas kendaraan, yang berbunyi:
 ( (    Â
"Nabi Saw salat di atas tunggangannya, kemana saja tunggangannya itu menghadap" (HR. Muttafaq 'alaih)
      Â
c. Ketetapan (taqrir)
         Arti ialah keadaan taqrir Nabi, mendiamkan, tidak mengadakan beliau sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diucapkan oleh para sahabat dihadapan beliau.
 Contoh taqrir Nabi saw. Tentang perbuatan sahabat yang dilakukan di hadapannya, ialah tindakan seorang sahabat yang bernama Khalid bin Walid, salah satu jamuan makan, yang menyajikan makanan daging biawak dan mempersilakan kepada Nabi untuk menikmatinya bersama para undangan. Beliau menjawab:"Tidak (maaf). Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampong kaumku, aku jijik padanya! "Kata Khalid: "Segera aku memotongnya dan memakannya sedang Rasulullah saw melihat kepadaku."
    Tindakan Khalid dan para sahabat yang pada menikmati daging biawak tersebut, disaksikan oleh Nabi, dan beliau tidak menyanggahnya. Keenggannan beliau memakannya disebabkan karena jijik. Contoh lain tentang taqrir Nabi ialah sikap beliau membiarkan para sahabat dalam menfsirkan sabdanya tentang salat pada suatu peperangan, yang berbunyi:
                                                                                                     Â
"janganlah seorangpun salat asar kecuali nanti di Bani Quraidhah)" (HR. Muttafaq 'alaih)
    Sebagian sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut, sehingga menreka terlambat dalam melaksanakan salat Asar. Sedangkan segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut dengan perlunya segera menuju bani Quraidhah dan serius dalam peperangan dan perjalannya, sehingga bisa salat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi saw tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.
2. Pengertian As-sunnah
Yang dimaksud sunnah  adalah segala sesuatu yang datangnya dari Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan atau juga penetapannya. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh pakar hadis, fiqih ataupun ushul fiqh. Bukan sunnah yang berarti Sesuatu yang mendapat pahala dalam mengerjakannya dan tidak mendapat dosa apabila ditinggalkan, sebagaimana konsep dalam bab fiqih tentang wajib, sunnah, makruh dan lain sebagainya.
 Sebagaimana yang telah disematkan didalam Al-Quran "nabi Muhammad tidak akan berkata kecuali perkataannya merupakan wahyu yang datangnya dari Allah SWT" (AnNajm : 3-4). Dikisahkan bahwa pada suatu saat Abdullah ibn Umar menulis segala sesuatu yang muncul dari Rasulullah SAW untuk diingat dan dihafalnya. Kemudian ada sebagian dari kaum Quraiys yang melihatnya dan berkata kepadanya " mengapa engkau menulis segala sesuatu yang datangnya dari Rasulullah SAW, beliau adalah seorang manusia sebagaimana kita? Yang terkadang beliau juga bisa marah sebagaimana kita. Maka berhentilah ibn Umar, kemudian disampaikanlah peristiwa ini kepada Rasulullah SAW, beliau menjawab. "tulislah apa yang engkau dengar dariku, demi Dzat yang diriku dalam kekuasaannya, sesungguhnya tidaklah terucap dari diriku kecuali yang hak.
Dalam hal ini imam Ahmad berkata "mencari hukum dalam Al-Quran haruslah melalui al-Hadits, demikan pula halnya mencari agama. Jalan yang telah dibentang untuk mempelajari fiqhi Islam dan syariatnya ialah melalui al-Hadits atau sunnah.
Dungan ajaran Islam yang termuat didalam maupun diluar alQuran. Oleh sebab itu, menurut jumhur al-Ulama Sunnah memiliki posisi sangat dominan dan peran yang sangat urgent dalam perkembangan wacana Islam, wabil khusus perihal yang berkaitan dengan hukum, sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam Sunan Ibn Majah "Ingatlah, dan sesungguhnya apa yang diharamkan Rasulullah adalah sama seperti apa yang diharamkan Allah" .
Jumhur Ulama (mayoritas ulama) berpandangan bahwa Sunnah merupakan perangkat yang dapat menjelaskan hukumhukum Allah yang masih bersifat Mujmal (Global). Oleh karenanya dalam rangka mengungkap kandungan firman Tuhan, mereka terlebih dahulu merujuk kepada Hadis/Sunnah, seperti dalam kasus pelaksanaan shalat. Didalam al-Quran, pembahasan tentang shalat hanya berkisar pada kewajiban dan waktu-waktunya saja. Namun, pembahasan yang lebih detail mengenai tatacara pelaksanaan maka harus merujuk kepada ajaran Rasul dalam hal ini beliau bersabda "Shalluu kama Raaitumuny ushally" (shalatlah kalian sebagaimana aku melaksanakaannya).
Selanjutnya Jumhur Ulama kembali menegaskan bahwa Sunnah merupakan Hujjah yang menempati posisi kedua setelah alQuran dalam rangka beristidlal (penyandaran dalil dalam masalah hukum), penegasan tersebut menjadi tampak setelah adanya konsensus (Ijma) atas keharusan merealisasikan hukum yang muncul.
Dari sabda Rasulullah SAW. Â Seperti dalam sebuah riwayat yang menceritakan tentang seorang wanita yang datang kepada Abdullah ibn Masud. "Aku beritahu bahwa engkau melarang menyambung rambut ?. beliau menjawab, "benar", dia bertanya lagi, "adakah larangan tersebut engkau temukan didalam kitabullah atau engkau mendengarnya dari Rasulullah SAW.? "Aku menemukannya didalam kitabullah dan telah dari Rasulullah SAW tentang larangan tersebut". Ia berkata "demi Allah saya telah membolak-balik setiap lembar mushaf, tetapi saya tidak menemukan didalamnya apa yang engkau katakana itu. Beliau berkata "apakah engkau menemukan didalamnya ? apa yang diberi Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa-apa yang telah dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Ia menjawab "benar", lalu beliau berkata "sesungguhnya saya mendengar Rasulullah SAW melarang al-Namisyah, alWasyirah, al-Washilah, dan al-Wasyimah, kecuali karena penyakit.Â
3. Pengertian Atsar
Atsar menurut bahasa ialah sesuatu atau sisa sesuatu, dan berarti juga nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do'a umpamanya dinukilkan dari nabi dinamai do'a ma'tsur.
Sedangkan menurut istilah ada dua pendapat, atsar sinonim hadis, kedua, atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat (mauquf) dan tabi'in (maqthu') baik perkataan maupun perbuatan.
Sebagian ulama mendefenisikan:
Sesuatu yang datang dari selain nabi dan dari pada sahabat, tabi'in dan atau orang-orang setelahnya.
4. Hadist qudsi
Â
Hadist qudsi adalah salah satu jenis hadist dimana perkataan nabi Muhammad di sandarkan untuk allah atau dengan kata lain nabi Muhammad meriwayatkan perkataan Allah. Secara bahasa (etimologis) alqudsiyi di nisbahkan untuk alqudsi (suci) artinya hadist yang di nisbahkan untuk dzat yang maha suci yaitu Allah SWT. Secara istilah (terminologis) yaitu sesuatu hadist yang di nukil untuk kita dari nabi Muhammad saw yang di sandarkan untuk tuhannya. Jadi secara sederhana hadist qudsi adalah perkataan Nabi Muhammad tentang wahyu tuhan yang di terimanya secara langsung tanpa perantara malaikat jibril.
Secara bahasa hadits qudsi berasal dari kata qadusa, yaqdusu, qudsan, artinya suci atau bersih.
Disebut hadis Qudsi karena redaksinya disusun sendiri oleh nabi saw. Dan disebut qudsi karena hadits ini suci dan bersih (ath-thaharah wa at-tanzih) dan datangnya dari dzat yang mahasuci.
Hadits qudsi ini juga sering disebut dengan hadits ilahiyah atau hadits
rabbaniah. Disebut ilahi atau rabbani karena hadits ini datang dari Allah raab al-'alamin.
Dijelaskan berikutnya bahwa para ulama menyebutkan bahwa kadang Rasulullah Saw menyampaikan kepada para sahabat nasehat nasehat dalam bentuk wahyu, akan tetapi wahyu tersebut bukanlah bagian dari ayat Al Quran, itulah yang biasa disebut dengan hadis Qudsi atau hadis Ilahi atau hadis Rabbani. Dijelaskan oleh ulama lain bahwa hadis Qudsi ini adalah setiap hadis yang Rasul menyandarkan perkataannya kepada Allah Azza Wajalla.
Jumlah hadis Qudsi ini menurut Syihab Al Din ibn Hajar Al Haytami dalam kitab
Syarah Arba'in Al Nawawiyah tidak cukup banyak, yaitu berjumlah lebih dari seratus Hadis.
Hadis Qudsi ini bercirikan :
a. ada redaksi hadis qala/ yaqulu Allahu
b. ada redaksi fi ma rawa/ yarwihi 'anillahi tabaraka wa ta'ala.
c. dengan redaksi lain yang semakna dengan redaksi di atas
setelah selesai penyebutan rawi yang menjadi sumber pertamanya, yakni sahabat, bila tidak ada tanda tanda demikian, biasanya termasuk hadis nabawi. Sebagai contoh:
" Dari Abi Dzaar, dari Nabi Saw, Allah Saw berfirman, wahai hamba hambaku sungguh
aku mengharamkan kezaliman pada diriku, oleh karena itu aku menjadikannya di antara kamu sekalian hal hal yang di haramkan, maka dari itu janganlah kalian pada berbuat zalim ( H.R. Muslim).
B. Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran
Al-Quran dan Hadis sebagai pedoman hidup sumber hukum dan ajaran Islam, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Al-Quran sebagai sumber pertama memuat ajaran-ajaran yang bersifat mujmal atau umum dan global sedangkan Hadits sebagai sumber yang kedua berfungsi sebagai pemberi penjelasan atas keumuman isi Al-Quran tersebut.
Â
Hal ini sesuai dengan Q.S An-Nahl ayat 44:
Â
 Artinya: "(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan".
Allah menurunkan Az-Zikr (Al-Quran) bagi umat manusia agar dapat dipahami, oleh karena itu maka Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk menjelaskannya. Dalam menetapkan hukum, umat Islam mengambil hukum hukum Islam dari Al-Quran yang diterima dari Rasul saw, yang dalam hal ini Al-Quran membawa keterangan keterangan yang bersifat mujmal atau keterangan yang bersifat mutlaq.
Karena sifatnya yang mujmal, maka banyak hukum dalam Al-Quran yang tidak dapat dijalankan bila tidak diperoleh syarah atau penjelas yang terkait dengan syaratsyarat, rukun-rukun, batal-batalnya dan lain-lain dari hadis Rasulullah saw. Dalam hal ini banyak juga kejadian yang tidak ada nash yang menashkan hukumnya dalam Al-Qur'an secara tegas dan jelas. Oleh karena itu diperlukan ketetapan dan penjelasan Nabi yang telah diakui utusan Allah untuk menyampaikan syariat dan undang undang kepada umat.
Hadis adalah sumber kedua bagi hukum-hukum Islam, menerangkan segala yang dikehendaki Al-Quran, sebagai penjelas, pensyarah, penafsir, pentahsis, pentaqyid dan yang mempertanggungkan kepada yang bukan zahirnya. Para ulama sepakat menetapkan bahwa Hadis berkedudukan dan berfungsi untuk menjelaskan Al-Quran. Â
Sehubungan dengan hadits sebagai bayan Al-Quran, maka hadis memiliki 4 macam fungsi terhadap Al-Quran yaitu:
 1. Bayanul Taqrir.
Dalam hal ini posisi hadis sebagai taqrir (penguat) yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-Quran. Fungsi hadis disini hanya memperkokoh isi kandungan Al-Quran. Seperti hadis tentang shalat, zakat, puasa dan haji, merupakan penjelasan dari ayat shalat, ayat zakat, ayat puasa dan ayat haji yang tertulis dalam Al-Quran.
2. Bayanul Tafsir
Dalam hal ini hadis berfungsi memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat ayat Al- Quran.
3. Bayanul Naskhi
Dalam hal ini hadis berfungsi sebagai penghapus hukum yang diterangkan dalam Al-Quran.
4. Bayanul Tasyri'
 Bayan at tasyri' adalah menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Quran. Hal ini berarti bahwa ketetapan hadis itu merupakan ketetapan yang bersifat tambahan hal-hal yang tidak disinggung oleh Al-Quran dan hokum-hukum itu hanya berasaskan hadis semata-mata.
Â
C. SEJARAH PEMBUKUAN HADITS
Kodifikasi dalam bahasa arab dikenal dengan al-tadwin yang memiliki pengertian codification, yaitu mengumpulkan dan menyusun. Dalam beberapa kitab ulumul hadis al-tadwin memiliki kesamaan makna dengan penulisan atau pencatatan dalam satu buku. Terkait dengan hal tersebut, Manna' al-Qathhan berpendapat bahwa,
,
Artinya : "Tadwin bukanlah menulis, yang dimaksud menulis ialah, seseorang menulis suatu lembaran atau lebih banyak dari itu, sedangkan tadwin ialah mengumpulkan sesuatu yang tertulis dari lembaranlembaran dan hafalan dalam dada, kemudian menyusunnya hingga menjadi satu kitab".
Â
Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa proses kodifikasi hadis dilakukan secara bertahap. Tahapan tersebut dimulai dengan pengumpulan lembaran-lembaran yang sudah tertulis dan yang dihafal di dalam dada, lalu kemudian mengumpulkan lembaran tersebut ke dalam satu buku.
Â
Rasulullah SAW menghimbau umatnya untuk senantiasa menyampaikan ilmu, mengarahkan pada metode penyampaian ilmu tersebut, dan berwasiat agar menyebarkan ilmu pengetahuan. Beliau bukan hanya sebagai nabi, melainkan memiliki peran sebagai seorang pemimpin, pengajar, hakim, mufti dan pendidik. Beliau memusatkan kegiatan pada masa awal di masjid, selain sebagai tempat ibadah, proses belajar mengajar, dan tempat para sahabat untuk menimba ilmu dan fatwa yang disampaikan Nabi.
Â
Periode awal ini disebut dengan Asru al-wahyi wa takwin" yaitu masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam, yang terjadi pada masa Rasulullah Saw. Pada masa awal ini Nabi Muhammad Saw setidaknya memberikan beberapa kebijakan terkait dengan penulisan hadis, di antaranya:
Â
1. Rasulullah Saw memerintahkan kepada para sahabat untuk menghafal dan   menyampaikan/menyebarkan hadis-hadisnya.
2. Rasulullah Saw melarang para sahabatnya untuk menulis hadis, untuk menjaga kemurnian  ayat-ayat Al-Qur'an.
3. Rasulullah Saw memerintahkan sahabat untuk menulis Hadis-hadisnya.
Â
Pada masa awal Rasulullah menyampaikan hadis, beberapa sahabat membuat catatan-catatan pribadi terkait hadis yang disampaikan Nabi, catatan tersebut dituliskan di kertas, kulit binatang, dan papirus. Beberapa sahabat yang tercatat memiliki catatan-catatan hadis adalah Jabir ibn Abdillah, Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Umar.
Â
Periode kedua adalah zaman Khulafa Ar-Rasyidin, masa ini dikenal sebagai masa pembatasan hadis (kehati-hatian) dan pengurangan riwayat atau periode ;
Usaha yang dilakukan oleh para sahabat dalam membatasi periwayatan semata-mata karena kekhawatiran akan terjadinya kekeliruan, hal ini dikarenakan situasi politik yang sedang tidak kondusif, bahkan muncul fitnah di kalangan umat Islam itu sendiri. Para sahabat dalam meriwayatkan hadis menggunakan dua cara: lafdzi dan ma'nawi. Periwayatan dengan lafadz adalah kalimat yang diriwayatkan para sahabat sama persis dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw, sedangkan periwayatan dengan ma'nawi yaitu kalimat yang digunakan memiliki perbedaan dengan apa yang disampaikan oleh Nabi, akan tetapi memiliki kesamaan makna.
Keseriusan para sahabat dalam menulis, menghafal dan mengumpulkan hadis terlihat dari cara mereka untuk bertanya kepada para sahabat yang lebih tua usianya, seperti cucu yang bertanya kepada kakeknya terkait hadis-hadis yang pernah disampaikan Nabi, hal ini cukup lumrah ditemui pada masa itu. Sahabat yang paling produktif dalam mengumpulkan dan meriwayatkan hadis adalah Abu Hurairah, meskipun beliau hanya tiga tahun mengenal Nabi, namun beliau menjadi rujukan terbesar dengan 5.300 hadis yang beliau riwayatkan, kemudian ada Abdullah ibn Umar yang berusia dua puluh lima tahun ketika Nabi wafat, beliau adalah sumber terbesar kedua setelah Abu Hurairah dengan 2.600 yang beliau riwayatkan, selanjutnya ada Ibnu Abbas, beliau berusia empat belas tahun ketika Nabi wafat, tercatat beliau telah meriwayatkan 1.700 hadis.
Dari Urwahbin Az-Zubairbahwasanya Umarbin Al-Khatthab ingin menulis sunah-sunah Nabi, lalu beliau meminta fatwa dari para sahabat tentang hal itu. Mereka menyarankan untuk menulisnya. Kemudian Umar beristikharah selama sebulan. Hingga pada suatu pagi, beliau akhirnya mendapatkan kemantapan hati, lalu berkata, "Suatu ketika aku ingin *menulis sunah-sunah, dan aku ingat suatu kaum terdahulu mereka menulis buku dan meninggalkan Kitabullah. Demi Allah, aku tidak akan mengotori Kitabullah dengan suatu apa pun".
Â
Hal ini mengindikasikan bahwa keinginan Umar untuk menulis hadis dan mengumpulkan hadis ke dalam satu buku, akan tetapi beliau khawatir umat Islam akan lalai kepada al-Qur'an danlebih fokus mempelajari hadis, beliau juga khawatir akan tercampurnya hadis dengan al-Qur'an.
Dalam perjalanannya, usaha untuk mengumpulkan hadis ke dalam satu buku pertama kali dilakukan oleh Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, beliau adalah Khalifah kedelapan dari dinasti Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara'. Pada periode ketiga ini penulisan dan pembukuan hadis dilakukan secara resmi, beliau memerintahkan Gubernur Madinah kala itu Abu Bakar Muhammad Amr ibn Hazm untuk menulis dan membukukan hadis yang kemudian kebijakan beliau ditindak lanjuti oleh para ulama di beberapa daerah.
Â
Di antara upaya yang beliau lakukan oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz adalah sebagai berikut:
 Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan Al-Qur'an telah dihafal oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan dan dibukukan pada masa Utsman, sehingga dapat dibedakan secara jelas antara Al-Qur'an dengan Hadits dan tidak ada kemungkinan untuk tercampur antara keduanya. Khawatir akan hilangnya hadis, karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar di beberapa penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan wilaya kekuasaannya, dan masing-masing dari mereka mempunyai ilmu, maka diperlukan pembukuan Hadits Rasulullah untuk menjaga agar tidak hilang.
Munculnya pemalsuan hadis akibat perselisihan politik dan mazhab setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan Al-Qaththan. pengikut Mu'awiyah, dan Khawarij yang keluar dari keduanya. Masingmasing golongan berusaha memperkuat mazhabnya dengan cara menakwil AlQur'an bukan yang sebenarnya, atau membuat nash-nash hadis dan menisbatkan kepada Rasulullah apa yang tidak beliau katakan untuk memperkuat pendapat mereka. Perbuatan demikian dilakukan oleh kelompok Syi'ah. Sedangkan Khawarij tidak membolehkan perbuatan dusta dan menganggap kafir bagi orang yang berbuat dosa besar, apalagi berdusta kepada Rasulullah. Diriwayatkan dari Ibnu Syihab berkata, "Kalaulah tidak karena adanya hadis-hadis yang datang dari belahan timur yang tidak kami ketahui keberadaannya, niscaya aku tidak akan menulis dan tidak mengizinkan penulisan hadis."
Akan tetapi usaha yang dilakukan oleh Umar ibn Abdul Aziz belum menyeluruh dan sempurna, hal ini dikarenakan beliau wafat sebelum Abu Bakar ibn Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadis kepadanya. Para ahli hadis memandang bahwa usaha Umar ibn Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan hadis. Mereka mengatakan, "Pembukuan hadis ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz atas perintahnya".
Â
Pada periode awal pembukuan hadis, urutan bab-bab dan pembahasan disiplin tiap ilmu belum disusun secara sistematis, upaya pembukuan secara sistematis baru dilakukan oleh Imam Muhammad ibn Syihab Az-Zuhri dengan beberapa metode yang berbeda, yang kemudian para ulama hadis menyusun buku hadis secara sistematis berdasarkan sanad dan bab.
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara lain: a) Al-Muwatha' karya Imam Malik bin Anas; b) Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin Hammam Ash-Shan'ani; c) As-Sunan karya Said bin Mansur; dan d) AlMushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah. Karya-karya tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadis-hadis Rasulullah SAW, akan tetapi bercampur antara hadis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi'in. Kemudian ulama pada periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadis Rasulullah SAW saja.
Â
Periode keempat disebut juga dengan periode pemurnian, penyehatan dan penyempurnaan, periode ini berlangsung dari abad ke III H pada masa dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah Al-Ma'mun sampai Al-Mu'tadir. Para ulama pada periode ini melakukan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadis-hadis, pada masa ini lahirlah enam buku induk hadis (kutubus sittah), di antara kitab-kitabnya adalah:
 1. Al-Jami Ash-Shahih karya Imam Al-Bukhari (194 -- 252 H)
2. Al-Jami Ash-Shahih karya Imam Muslim (204 -- 261 H)
3. Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202 -- 261 H)
4. Sunan At-Tirmidzi karya At-Tirmidzi (200 -- 279 H)
5. Sunan An-nasai karya An-Nasa'i (215 -- 302 H)
6. Sunan Ibn Majah karya Ibnu Majah (207 -- 273 H)
Â
Periode kelima adalah masa pemeliharaan, penerbitan, penambahan dan penghimpunan. Berlangsung selama dua abad, yaitu abad keempat hingga ketujuh hijriah. Para ulama pada periode ini membuat gerakan yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya, pada periode ini muncul sejumlah karya baru dalam kitab hadis seperti syarah, mustakhrij, atraf, mustadrik, dan jami'.
 Beberapa ulama hadis dan kitab yang masyhur pada periode ini di antaranya ialah:
1. Sulaiman bin Ahmad Al-Thabari. Karyanya Al-Mujam al-Kabir, AlMujam Al-Ausath, Â Â Â dan Al-Mujam Al-ShaghirÂ
2. Abd Al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Al-Daruquthni, karyanya Sunan Ad-Daruquthni.
3. Abu Awanah Ya'qub Al-Safrayani, karyanya Shahih Awanah
4. Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq, karyanya Shahih ibnu Huzaimah
5. Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqi, karyanya Sunan Al-Kubra
6. Majuddin al-Harrani, Karyanya Muntaq Al-Akbar
7. As-Syaukani, karyanya Nail Authar
8. Al-Munziri, karyanyaAt-Taqrib wa At-Taqrib
9. As-Siddiqi, karyanya Dalil Falihin
10. Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi, Karyanya Riyadhush Shalihin
D. Model Penelitian Hadits
Sebagaimana halnya dengan Al-Qur'an, Hadits pun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap Hadits lebih banyak kemungkinannya dibandingkan dengan penelitian terhadap Al- Qur'an. Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya Al-Qur'an dan Hadits berbeda.
Berikut adalah model penelitian hadits yang dipaparkan oleh beberapa ahli hadits:
1. Model H. M. Quraish Shihab
       Penelitian yang dilakukan oleh Quraish Shihab terhadap Hadits menunjukkan jumlahnya tidak banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap Al-Qur'an. Dalam bukunya yang berjudul "Membumikan Al- Qur'an", Quraish Shihab hanya meneliti dari dua sisi dari keberadaan hadits, yaitu mengenai hubungan Hadits dan Al-Qur'an, serta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir.Â
 Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al- Azhar, dalam bukunya Al- Sunnah Fi Makanatiha wa Fi Taribikha, sebagaimana dikutip H.M. Quraish Shihab, menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi dengan Al- Qur'an dan fungsi yang berhubungan dengan pembinaan hukum syara'. Dengan menunjuk kepada pendapat Imam Syafi'i dalam Ar-Risalah, Abdul Halim menegaskan bahwa dalam keterkaitannya dengan Al-Qur'an terdapat fungsi Al-Sunnah(Hadits) yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang di istilahkan oleh para ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir.
Adapun fungsi yang kedua dari Al-Sunnah(Hadits) adalah memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al Qur'an. Yaitu kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan rinciaan dan tafsiran terhadap  ayat-ayat  Al-Qur'an  yang  masih bersifat umum (mujmal), memberikan persyaratan/batasan(taqyid) ayat-ayat al-Qur'an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat al- Qur'an yang masih bersifat umum.
 Misalnya, perintah mengerjakan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji.  Di  dalam  Al-Qur'an  tidak  dijelaskan  jumlah  rakaat  dan bagaimana cara-cara melaksanakannya, tidak diperincikan nisab-nisab zakat, dan juga tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi, semua itu telah diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas- jelasnya oleh Al-Hadits.
2. Model Musthafa Al-Siba'iy
         Diantara bukunya yang berkenaan dengan Hadits adalah Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri'i al-Islami yang diterjemahkan oleh Nurcholish Madjid menjadi Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam Kaum Suni.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Musthafa Al-Siba'iy antara lain  mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadits mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan Hadits dan usaha para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah,[1] dibukukannya Ilmu Musthalah al-Hadits, Ilmu Jarh dan al-Ta'dil, Kitab- kitab tentang hadits-hadits palsu dan para pemalsu serta penyebarannya.
Kemudian, Musthafa Al-Siba'iy juga menyampaikan hasil penelitiannya mengenai   pandangan   kaum  Khawarij, Syi'ah, Mu'tazilah, dan Mutakallimin, para penulis modern dan kaum Muslimin pada umumnya terhadap Al-Sunnah (Hadits). Dilanjutkan dengan laporan tentang sejumlah kelompok di masa sekarang yang mengingkari kehujjahan Al- Sunnah(Hadits) disertai pembelaannya.
3. Model Muhammad Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazli yang menyajikan penelitiannya mengenai hadits dalam bukunya yang berjudul al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al- Fiqh wa ahl al-Hadits. Ia mendeskripsikan hasil penelitiannya sedemikian rupa, dilanjutkan menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan fiqih, sehingga terkesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran islam dari berbagai paham yang dianggapnya tidak sejalan dengan Al-Qur'an dan Al-Sunnah (Hadits) yang muttawatir.
4. Model Penelitian Lainnya
   Terdapat pula model penelitian hadits yang diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja. Misalnya, Rif'at Fauzi Abd Al-Muthallib pada tahun 1981, meneliti perkembangan al-Sunnah (Hadits) pada abad ke-2 Hijriyah. Kemudian, hasil laporannya itu dibukukan yang berjudul Tautsiq Al- Sunnah fi al-Qurn al-Tsaniy al-Hijri Ususuhu wa Itijahat. Selanjutnya, ada Mahmud Al-Thahan yang meneliti cara menyeleksi hadits serta penentuan sanad yang disampaikan dalam bukunya yang berjudul Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid. Dan masih banyak lagi model penelitian hadits lainnya.
Â
Â
Â
Â
        Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H